Kita Akan Melepaskan ; 19 Sept 2021

Suatu saat 

Esok nanti 

Mungkin lusa

Dua tahun lagi

Atau dasawarsa mendatang


Kita akan melepaskan


Cuma

Apakah kita adalah randa tapak yang jabang bayinya terbang tertiup angin

Atau kita adalah doa pukul dua malam yang melangit bersama air mata jatuh ditarik bumi

Labels:

permalink | 0 comments (+)

Dua Muda (3) ; 10 Sept 2021

 Kamu masih ingat dulu?

.

Waktu kita kecil?

.

Ya

.

Kita selalu berbagi bekal?

.

Yang lain?

.

Kamu selalu butuh bantuanku di sekolah?

.

Sekarang pun

.

Nanti?

.

Kalau aku bilang iya, kamu percaya?

.

Memang tidak ada orang lain yang bisa bantu?

.

Aku cuma mau kamu

Labels:

permalink | 0 comments (+)

Dua Muda (2) ;

Lampu temaram dan hujan, kesukaanmu kan

Melihat daun-daun basah, dan air hujan sesekali menjahilimu

Yang kamu bilang, kamu bisa tidur di teras semalaman jika hujan berjanji tetap turun sampai pagi

Jika itu yang terjadi, aku akan terjaga semalaman 

Untuk memastikan bulan yang iri itu tidak mencuri kamu dari aku

Labels:

permalink | 0 comments (+)

Dua Muda ;

Cuma lampu taman

Dan daun pinus yang jatuh berserakan

Dikumpulkan oleh semut beriring

Di pojok sana, di balik semak-semak, jangkrik sedang gembira

Di atas sana, bulan sedang sempurna

Tapi yang paling kurasa adalah

Hembus nafasmu, wangi rambutmu, dan ceritamu yang selalu sama tapi aku tak bosan mendengarkannya








Labels:

permalink | 0 comments (+)

Aku Hanya Ingin Pulang ; 23 Oct 2014

Waktu yang semu itu pasti tahu,
Dulu, ketika aku kembali pulang pada suatu perjalanan, aku selalu merindukan tempat yang baru saja kukunjungi

Tapi tidak kali ini,
Aku selalu merindukan rumah ke mana pun aku pergi;
Kedua lenganmu yang menjatuhkanku pada dekapan paling utuh

Waktu yang tak pernah mau kompromi itu juga mengerti,
Pada masanya saat geloraku selalu ingin pergi, hal yang membuatku paling bahagia adalah memeluk alam bebas

Tapi tidak kali ini,
Sesuatu paling membahagiakan dalam perjalanan ke negeri impian sekalipun
Adalah waktu untuk pulang

Waktu yang tak pernah berhenti itu pun memahami kerinduan ini,
Ia berlalu dua jam lebih cepat di atas awan antara Narita dan Soekarno-Hatta

Ketika roda-roda burung besi menyentuh lagi tanah di bawah langit khatulistiwa, seisi pesawat ini mengeluh dan menolak kembali pada kenyataan;
Pada Indonesia yang belum lebih maju dari Jepang, tapi mereka lupa ini tanah kelahirannya

Barangkali hanya aku yang tersenyum dan paling bahagia kembali ke bumi Indonesia, kembali menemukan napasku seutuhnya
Karena manusia lain tak akan pernah mengerti,
Aku menahan pedih merindukanmu,
Setelah kekucup keningmu pada hari kepergianku

Labels:

permalink | 1 comments (+)

Kisah Barang Bekas di Mall Rongsok ; 28 Aug 2014

Mall itu terletak di Jalan Bungur Raya nomor 1, Kelurahan Kukusan, Kecamatan Beji, Kota Depok, Jawa Barat. Berlantai dua, seluas 800 meter persegi, berdiri tak terlalu kokoh dengan material bangungan kayu dan bambu. Mall yang tak memiliki sifat megah, sejuk, dan barang dagangan mewah seperti mall kebanyakan. Karena ia bernama Mall Rongsok.

Ya, semua yang mengisi tiap sudut mall ini adalah barang bekas, alias rongsokan. Mulai dari  onderdil motor bekas, alat elektronik rumah tangga, buku bekas, furnitur, kaset dan vcd, kereta roda bayi, boneka, foto, hingga mobil dan kotak amal ada di sini untuk dijjajakan kepada pembeli. Dari pemiliknya masing-masing yang menjualnya di Mall Rongsok ini.

Siapa saja bisa menjual barang bekas miliknya di sini. Pemilik Mall Rongsok, Nurcholis Agi, akan membelinya tanpa terkecuali. Sejak pertama berdiri pada 2010 hingga kini, barang rongsok di sini diyakini mencapai 30 ribu macam oleh pemiliknya.

Jika dilihat seksama, barang-barang ronsok ini merupakan milik pribadi orang yang bermacam-macam. Yang pastinya memiliki cerita sendiri dan kenangan-kenangan pribadi di waktu yang lalu. Dan kini semua barang itu terkumpul menjadi satu bersama kenangan-kenangannya.

Mereka meninggalkan ceritanya yang lama bersama pemiliknya yang lalu. Berganti nasib tersimpan di Mall Rongsok yang dihuni oleh keluarga sederhana Nurcholis Agi. Dan menanti memiliki cerita baru lagi bersama para pembeli.














Labels:

permalink | 1 comments (+)

Saling Menyebrang, Antara Istiqlal dan Katredal ; 10 Jun 2014

Ketika itu saya mendapat tugas untuk mewawancarai seorang tokoh yang dipilih secara acak. Nama yang tersimpan di gulungan, persis seperti penentuan pemenang arisan, saya ambil dan keluarlah nama: Pastor Kepala Paroki Gereja Katedral Jakarta.

Romo Stefanus Bratakartana namanya, dialah pastor kepala di gereja yang bertetangaan dengan masjid besar di Jakarta: Istiqlal. Saya harus menemuinya dan mesti pulang membawa informasi yang menarik untuk ditulis. 

Saat itu Romo Bratakartana sedang berbincang dengan seorang laki-laki di dalam ruangan sekretariat kepala gereja paroki. Tak berapa lama, laki-laki lanjut usia itu menghampiri saya dan teman saya yang duduk menunggunya. Ramah dan hangat, sikapnya seperti kebanyakan pemimpin agama. Dan perbincangan itu dimulailah dengan soal klasik antara Gereja Katredal dengan tetangganya Masjid Istiqlal.

Kedua tempat ibadah itu memang dikenal memiliki hubungan toleransi beragama yang saling menghormati. Juga sudah jadi pengetahuan publik bahwa jemaah kedua tempat ibadah itu kadang berbagi lahan parkir. Ketika Masjid Istiqlal merayakan hari besar, jamaahnya memarkir kendaraan di Gereja Katredal. Begitu pula ketika Katredal mengadakan misa, jemaatnya terkadang meminjam lahan parkir di Istiqlal.

Tapi ternyata hubungan Istiqlal dan Katredal tak hanya sebatas itu. Romo Bratakartana mengaku beberapa kali mengunjungi Imam Besar Masjid Istiqlal Ali Musthafa. Menyebrang jalan dari Katredal ke Istiqlal.

"Saya pernah kok ke Istiqlal. Waktu itu antar tamu saya ke sana menemui imam besar," katanya.

Ia bercerita, setiap Katredal akan melangsungkan acara, dirinya selalu menyebrang ke Istiqlal untuk mengunjungi imam besar. "Ya seperti halnya bertetangga. Kalau di rumah kita ada hajatan kan kita harus memberi tahu tetangga kita, karena kita tidak hidup sendirian."

"Tapi kita tidak mengharuskan tetangga untuk ikut acara keluarga kita, ndak toh," demikian Romo Bratakartana menganalogikan Katredal dan Istiqlal bagai rumah.

Demikian pula halnya yang dilakukan imam besar Ali Musthafa apabila Istiqlal akan mengadakan acara keagamaan. Imam besar juga berkunjung ke Katredal untuk bersilaturahmi dan memberi tahu akan diselenggarakannya sebuah acara di Istiqlal. Kedua pemimpin tempat ibadah itu saling mengunjungi satu sama lain.

Kendati begitu, kunjungan kedua pemimpin itu tak kerap terjadi. Hanya pada acara besar yang akan dilaksanakan. Barangkali untuk menjaga pandangan orang lain agar tak terjadi omongan.

"Ya ndak sering, hanya sebatas menjaga hubungan baik," kata Pastor Kepala Paroki Katredal Jakarta menggambarkan hubungannya dengan Imam Besar Masjid Istiqlal.

Labels:

permalink | 1 comments (+)

Profesi Penerus Tugas Mulia Para Nabi ; 6 May 2014

Tak ada beda antara tugas nabi yang diutus Tuhan dengan tugas para wartawan. Keduanya mengemban misi yang sama; yaitu menyampaikan kabar gembira dan memberi peringatan. Kira-kira seperti itu keseimpulan teori Jurnalisme Kenabian yang dikembangkan oleh salah satu wartawan senior Indonesia; Parni Hadi.

Menurut pria yang pernah menjabat sebagai Pemimpin Umum LKBN Antara tersebut, tugas para jurnalis memiliki kesamaan dengan tugas para nabi dan rasul. Menyampaikan kabar gembira disetarakan dengan menulis berita yang memberikan informasi, mengedukasi, menghibur, memberi advokasi, pemberdayaan, dan mencerahkan. Sementara memberi peringatan disamakan dengan fungsi kontrol sosial yang menjadi tugas para wartawan.

Jurnalisme Kenabian, lanjut Parni Hadi, bukan berarti lemah, justru jurnalisme yang kritis dengan melakukan laporan investigasi yang berani mengungkap kejahatan dengan maksud mencintai sesama. Prophetic Journalism mengharuskan para jurnalis untuk peka pada lingkungan sekitar, sensitif terhadap kejadian, dan adil pada orang yang dizhalimi.

Wartawan yang mendirikan Surat Kabar Republika ini mengatakan, seorang jurnalis harus melakukan olah raga, olah pikir, olah rasa, dan olah hati untuk mencapai kepekaan serta rasa sensitifitas yang tinggi terhadap keadilan atau ketidakadilan yang berada di hadapannya.

Dengan begitu seorang wartawan tak hanya jadi pandai menulis karya jurnalistik dengan susunan kata-kata yang indah, tapi juga penuh makna. “Semua itu dibingkai dengan kata indah, cinta,” kata Parni Hadi mengatakan bahwa tugas jurnalis meniru hal-hal yang dilakukan para nabi, yakni cinta pada kemanusiaan.

Labels:

permalink | 1 comments (+)

Cerita Cinta di Balik Wallpaper Windows XP ; 12 Apr 2014

Januari 1996, di California ketika itu adalah pertengahan musim dingin, saat di mana hujan deras mulai mengguyur menggantikan salju yang meleleh. Seorang pemuda berselimut cinta mengendari mobilnya hendak menuju rumah wanita yang ia cintai, melewati perbukitan hijau, langit biru, dan gumpalan awan putih nan menggugah hati.

Pemuda itu adalah Charles O'Rear, seorang fotografer. Wanita itu adalah Daphne, gadis yang kelak menjadi istrinya. Pemandangan bukit hijau, langit biru, serta gumpalan awan putih itu adalah Bliss, gambar yang selalu tampak pada wallpaper komputer Windows XP. Inilah kisahnya.

"Ini semua karena dia, kita bisa melihat foto tersebut," kata Charles O'Rear yang lebih senang dipanggil Chuck saat diwawancari, mengutip laporan CNet. Chuck mengungkap salah satu alasan terciptanya karya foto terpopuler sepanjang masa OS Microsoft adalah karena cinta, cinta pada calon kekasih yang kemudian menjadi istrinya, Daphne.

"Itu adalah suatu waktu di pertengahan musim dingin, pada Januari, ketika kita mulai diberi hujan. Rerumputan menjadi demikian hijau. Badai terkadang datang bersama hujan dan awan-awan. Bahkan ketika saya mengendarai mobil membelah jalan untuk menuju Daphne, ya Tuhan, badai telah pergi dan menyisakan awan gemawan putih. Saya kira saya harus keluar dari mobil dan mengambil beberapa foto," kenang Chuck.

Cinta kepada Daphne tidak hilang, namun hanya disisihkan sekejap, atau bahkan diubah, untuk memotret sebuah karya. Chuck keluar dari mobilnya, lantas mengeluarkan kamera analog Mamiya RZ67. Memotret beberapa jepret, kemudian jadilah Bliss.

Bliss
Tempat Chuck memotret Bliss berada di Napa Valley, Amerika Serikat. Sebuah tempat yang dikelilingi ladang anggur nan berbukit-bukit. Berwarna hijau, berlangit biru, berawan putih, dan sedikit pepohonan tidak besar. Itu adalah tempat di mana pria kelahiran 1941 ini tinggal.

"Tempat itu, atau wilayah perkebunan anggur, dikenal sebagai perbukitan yang menggulung-gulung. Saya telah lama memotretnya, dengan kamera film. Warna yang keluar tak pernah sebagus Kodachrome 64, film terbaik yang bisa Anda dapatkan. Tak pernah menghasilkan hijau yang berlebihan," kata Chuck menceritakan kamera dan film analog favoritnya.

Bliss di akhir musim, pepohonan anggurnya menguning
Setelah mencetaknya, foto tersebut diunggah oleh Chuck ke situs penyedia dan penyimpan foto bernama Corbis. Situs stock foto yang dibuat oleh Bill Gates pada 1989. Pada 1996 itu, Corbis hanya memiliki 50 fotografer saja. Namun kini, ratusan juta foto menjejalinya.

Entah bagaimana caranya, Bliss ditemukan oleh Microsoft yang kemudian menghubungi Chuck untuk membelinya. Sang fotografer dan Microsoft menandatangani perjanjian jual beli yang tak disebutkan jumlahnya. Namun perjanjian tersebut hanya berlaku satu kali pembayaran. Hal yang membuat Chuck menyesal karena apabila ia tahu jutaan komputer bakal menampakkan fotonya, ia akan meminta royalti tiap foto di tiap komputer.

Bukan olah Photoshop
Beberapa tahun setelah Windows XP dirilis, sebuah email datang ke kotak masuk milik Chuck. Orang dari Microsoft. Mereka adalah teknisi yang penasaran bagaimana bisa Bliss sedemikian hijau dan biru. Chuck bercerita, seolah ia adalah karyawan Microsoft yang mengirimi email, "Kebanyakan dari kami mengira itu pasti hasil olah Photoshop. Sebagian dari kami mengira itu diambil tak jauh dari markas Microsoft di Washington."

Dengan percaya dirinya Chuck membalas email tersebut, "Maaf kawan, kalian semua salah." Sekejap mengambil napas, dan Chuck kembali bercerita, "Itu foto asli, diambil di dekat tempat tinggal saya, dan apa yang kalian lihat adalah apa yang kalian dapatkan. Foto itu tak pernah diolah." Namun pihak Microsoft melakukan sedikit olahan pada Bliss, yakni pemotongan atau croping, serta sedikit menaikkan warna hijau dari rumput.

Setelah Windows XP meledak, Chuck melihat hasil karyanya di mana-mana, di komputer tiap orang. Pria renta yang sudah berusia 73 tahun itu bercerita, bahwa setelahnya ia mengirimkan nomor telefonnya kepada pihak Microsoft, berharap raksasa teknologi itu kembali membeli fotonya. Tapi hingga saat ini, telefon Chuck tak pernah berdering.

Fotografer yang dilupakan
Pernah di suatu ketika, saat Chuck berplesir ke Queensland, Australia, menggunakan kapal ferry, ia melihat seluruh komputer yang digunakan kapal tersebut menjalankan Windows XP. Kemudian ia mengatakan kepada salah seorang wanita yang bekerja di depan komputer, "Itu foto saya." Wanita tersebut membalas, "Lalu kenapa?"

Charles O'Rear sekali lagi adalah seseorang di balik wallpaper populer yang selalu mengingatkan kita pada Windows XP. Namun ia tak mendapatkan penghargaan lebih atas karyanya karena perjanjian jual-beli yang disesalkan.

Namun dalam sebuah rumah Chuck, ada sebuah komputer yang sudah lebih modern dari komputer tahun 1996. Komputer itu milik Daphne, selalu digunakan oleh Daphne. Dan wallpaper dari komputer itu adalah pemandangan bukit hijau yang bergulung-gulung, langit biru, serta awan gemawan putih melayang; Bliss. Yang tak pernah diganti oleh Daphne.

Chuck dan Daphne

Labels:

permalink | 1 comments (+)

Balada Wartawan Bayaran; Mafia Media Massa ; 5 Mar 2014

Suatu ketika di negeri para koruptor, tersebutlah tiga orang pekerja media yang sedang senang-senang berbincang di sebuah meja kafe tempat ngopi para eksekutif. Boy, ia seorang reporter dari salah satu harian ternama di negeri para koruptor, mengumpat para anggota dewan yang telah akrab menjadi kawan. “Anjing itu anggota dewan. Korupsinya gila-gilaan, rumah mewah tiga, mobil balapnya dua puluh,” cerca Boy kepada asap rokok yang dilontarkannya ke udara di depan wajah. Boy meminum kopi hitam pahit; espresso.

“Terus, lo tulis itu koruptor?” tanya Joko, seorang kordinator lapangan (korlap) khusus mengurus perkara suap menyuap. Siapa yang disuap? Wartawan! Ia menghirup capuccino yang choco granule di atas krim bergambar pistol. Ia juga seorang wartawan, yang tak jelas apa medianya. Di negeri para koruptor, seorang diri pun mendirikan media itu sah-sah saja. Asal berpihak pada uang haram.

“Ya enggaklah. Kan gue dijamin sama doi,” Boy melepas tawanya membumbung ke udara. Bersama asap rokok kretek dan aroma kopi pahit. Jaminan koruptor itu kepada Boy, sebagian kecilnya digunakan untuk mentraktir dua orang temannya minum kopi di kedai kopi mahal.

“Lo ngapain sih, bos? Sibuk amat.” Boy gemas seorang kawan seperjuangannya, seperjuangan mencari uang suap, tak ikut tertawa dengan hal tak lucu yang baru saja ia tertawakan. Rosi, ia memesan kopi tubruk. Tapi belum disentuh sepinggir cangkir pun karena dirinya masih sibuk dengan BlackBerry di tangannya.

“Bentar, ini anak buah gua bego banget. Gua suruh dateng liputan peluncuran henpon dia malah alesan sakit, gua lagi marah-marahin dia,” kata Rosi sang redaktur sebuah media online di negeri para koruptor.

“Berapaan sih itu jaleannya? Sampe satu ton?” tanya Joko kepada Rosi.

“Nggak lah, cuma lima literan aja.”

“Alah cuma segitu, masih aja lo mainin? Itu mah kelasnya recehan.”

“Lumayan, bos. Selain lima liter masuk rekening gua, plus dikasih hape yang dilaunching buat gua.”

Bagi Kau yang tak paham pembicaraan dua wartawan sogokan di atas, biar aku berikan kamusnya. Liter yang dimaksud adalah bilangan dalam ratusan ribu. Dan satuan ton berarti juta. Semua dalam rupiah. Mata uang negeri tetangga yang sangat berarti dipergunakan di negeri para koruptor. Dan yang dibicarakan di sini adalah Jale, atau plesetan dari kata Jelas, yang memiliki arti sebagai kejelasan sebuah nominal rupiah yang dijanjikan apabila sebuah isu dinaikkan ke suatu media massa. Ya, di negeri para koruptor, yang kebanyakan orang-orang hidup hanya untuk uang, semua orang bisa dibayar. Termasuk media massa yang katanya merupakan salah satu pilar demokrasi, dan katanya sebagai tempat yang berpihak kepada masyarakat banyak, yang berpihak kepada kebenaran. Di negeri para koruptor, pekerja media massa mudah dibayar untuk menaikkan isu yang tak berisi namun berarti bagi perusahaan bisnis untuk menjatuhkan para rivalnya.

Rosi, adalah wartawan sogokan yang memiliki kekuasaan lebih sebagai redaktur. Dengan posisinya sebagai atasan para reporter, ia bebas menugaskan wartawan bawahannya untuk meliput acara-acara perusahaan yang mau memberikan bayaran asal beritanya naik di media. Simpelnya, Rosi hanya tinggal perintah, bersantai-santai di kantor sementara reporternya turun ke jalan melakukan liputan hingga membuat berita, setelah berita naik Rosi hanya tinggal menikmati uang haram mengalir ke rekeningnya tanpa ia bersusah payah. Sekali naik satu berita Rosi biasa mendapat lima liter, alias lima ratus ribu rupiah. Sementara dalam satu minggu ia bisa mendapat pesanan empat berita dengan masing-masing berita dihargai lima liter. Coba hitung berapa yang akan ia dapat jika sebulan ada empat minggu, yang di tiap minggunya Rosi mendapat pesanan empat berita masing-masing seharga lima liter. Delapan ton, alias delapan juta. Bagi Rosi yang hanya mendapat gaji sebesar tiga jutaan di kantornya, jumlah itu sudah lebih dari lumayan untuk menambah biaya untuk membeli beras untuk keluarga, membeli susu untuk anak-anaknya, dan sebagian disisihkan untuk orang tua. Jangan anggap Aku berbohong. Ini nyata di negeri para koruptor.

Sedangkan Joko, adalah koordinator lapangan khusus membagi-bagikan uang jale kepada wartawan lain. Ia kerap jadi tangan kananya Rosi untuk bertugas mencari uang di lapangan. Jika ada liputan yang sudah jelas kejelasannya, Joko pasti dicari-cari oleh wartawan lain. Karena uang dari liputan berbayar itu terkumpul di genggamannya.

“Boy, ada acara nih, diskusi tentang anti politik uang jelang pemilu. Dateng aja lu, nanti gua suruh reporter gua juga dateng deh,” kata Rosi tiba-tiba.

“A1 gak?”

“Tenang, udah di-listing. Lu masuk dalam list,” Rosi dengan gaya bossy menghirup kopi tubruknya dengan ketentraman akan banyak uang. Uang sogokan.

“Gue sekarang cuma mau liputan A1, atau gak listing yang ada nama gue. Males kalo A3,” Boy tak menghirup kopinya. Karena hanya tinggal cangkir yang sekarang ia jadikan asbak abu rokok.

Kode apalagi ini? Barangkali Kau bertanya. Biar kujelaskan, A1 itu tentang kepastian, A3 itu melulu tanda tanya, dan Listing adalah daftar khusus nama penerima bayaran.

“Isu pesenan dari perusahaan telko itu udah lo mainin belom, bos?” tanya Joko setelah menghirup capuccino-nya.

“Udah, itu gua running terus beritanya. Paketan dia itu mintanya dua minggu, bener-bener ngancurin pesaingnya itu,” jawab sang redaktur pencari kejelasan. Aku percaya, jika saja ia memiliki kuasa lebih besar dan lebih tinggi, sebagai wakil rakyat misalnya, ia pasti sudah korupsi besar-besaran.

“Pimred lo gak tau kan?”

“Pimred gua kan tolol, anak buahnya pada naikin isu pesenan yang bayarannya gede, doi gak tau.”

Joko tertawa hingga kepalanya menengadah ke langit-langit. “Pimred lo itu, di mana-mana isu pesenan yang dinaikin ke media itu dipegang sama pimred. Ini malah sama lo, redaktur doang, dan lebih parahnya lagi pimred lo gatau lo maen kotor.”

“Gua maen kotor, sama juga kaya lu.”

Boy menyulut batang rokok ke dua. Dalam mulut yang terselip gulungan tembakau itu, ia berbicara seperti sedang berkumur-kumur. “Ngomong-ngomong, kisah Jilbab Hitam yang menyeruak di media itu lo pada percaya gak?”

Kini Rosi yang terbahak. Tawa khas penguasa berperut buncit karena memakan uang sogokan. “Lah lu bukannya sosok yang diceritain Jilbab Hitam? Wartawan bayaran, cuma lu main recehan dan gak pake jilbab.”

“Jing, apalagi elo. Redaktur yang ngibulin pimred dan orang satu negeri lewat berita bayaran. Dan parahnya lagi tuh duit haram lo kasih makan buat anak bini serta nyokap lo.”

***
Di sebuah rumah sederhana yang diisi oleh nenek, mantu, dan cucu, yang tak tahu menahu sebuah perkara apa-apa, tiba-tiba terkejut pada kejadian. Si cucu yang tengah ikut-ikutan sang mantu mengiris daun kangkung, tangannya terluka oleh pisau. Bukan darah yang keluar dari jarinya yang tergores pisau dapur. Tapi uang kertas rupiah yang berlumut dan berjamur. Yang kemudian uang tersebut menjadi panas dan terbakar.

Labels:

permalink | 1 comments (+)

Untuk Soe, Tentang Pekerja Media Sogokan ; 4 Dec 2013

Soe, kau tentu akrab dengan dunia pewartaan. Surat kabar, adalah salah satu tempat dimana namamu melambung dikenal banyak orang. Artikel-artikelmu yang pedas dan menusuk selalu membuat para penentang kebenaran ketar-ketir. Tapi kali ini aku ingin cerita tentang kebobrokan media dan orang-orang di dalamnya. Media sebagai alat, di tangan pemilik kuasa yang hanya memikirkan uang.

Belakangan tersiar isu panas tentang orang yang menulis di media bebas tempat menuangkan segala opini, perihal kebobrokan media dan orang-orang di dalamnya. Ya, para wartawan (tapi tak semua wartawan turut mengikuti perilaku bobrok). Mungkin kau ingin sekali membalas tulisan orang tersebut, yang mengaku sebagai wanita, yang membocorkan mafia-mafia isu dan jual beli informasi di media. Terlepas fakta yang dilontarkannya belum tentu benar, aku mengiyakan praktik jual beli berita yang dilakukan oleh para penguasa media, ya minimal orang-orang yang punya satu kuasa (meski kecil) di media.

Aku belum benar-benar muak jika bukan aku sendiri yang mengalaminya. Aku sudah tahu banyak wartawan culas yang hanya memikirkan uang, mengambil dan bahkan meminta uang pada narasumber atau sesuatu yang diliput agar tulisan bisa di angkat ke publik. Aku sudah tahu itu sebelumnya. Namun kini aku merasakan kotornya praktik seperti itu, dan munafiknya orang-orang yang sok bersih tapi ternyata juga memakan uang sogokan para pemilik modal.

"Jelas kan? Ini udah jelas kan ya, ngerti ya?" kata seorang yang mengaku sebagai fotografer dari media tempatku bekerja, Joko namanya. Yang kepergok denganku telah memanfaatkan nama besar media untuk mengambil jatah 'jelas' yang disediakan oleh humas sebuah acara di hotel Shangrila. Setelah bilang seperti itu, ia kemudian melipat beberapa lembar uang lima puluh ribuan, dan memberikannya secara sembunyi-sembunyi kepadaku. Aku hanya tersenyum dan bilang, "Nggak." Hah, uang sogokan. Tak akan mau aku memberi uang seperti itu untuk orang tuaku.

Setelah aku menolaknya, wajahnya berubah senang. Ya, jatahmu tak berkurang kawan. Ambil saja uang sogokanmu itu. Beri makan anak istrimu dengan uang itu, nantinya kau akan dibakar di neraka! Ya, dia seorang laki-laki paruh baya yang tak memiliki gaya seperti seorang fotografer. Lebih kepada penjilat, atau pencari uang sogokan yang berkeliaran dari perusahaan yang produknya ingin dijadikan berita di media nasional. Pastinya memiliki anak dan istri yang menjadi tanggung jawabnya, tapi diberi makan dengan uang sogokan. Apa kurang menyedihkan?

Aku tahu, praktik seperti itu tak hanya dilakukan oleh para wartawan yang pergi liputan di lapangan. Tapi juga para wartawan kantoran yang kerjanya cukup tinggal perintah. Istilahnya, para atasan inilah yang bernegosiasi dengan para klien (perusahaan yang ingin produk atau isunya diangkat ke media), dan kemudian menyuruh orang lain (bawahan) untuk melakukan tugas kotornya. Ya, tak ada penjahat punya kuasa yang ingin melakukan tugas kotor dengan tangannya sendiri. Kecuali mereka penjahat kelas teri.

Memuakkan bukan, Soe? Mereka yang ada di atas diloby dan bernego dengan klien, sedang yang di bawah tak tahu apa-apa disuruh bekerja keras untuk melakukan pekerjaan kotor, yang uangnya dinikmati para kaum tinggi. Ini media massa, Soe! Betapa menjijikan, seperti politik yang kau bilang terbuat dari lumpur yang paling kotor. Dan orang-orang media yang senang dengan uang itu pun, tak ubah seperti politikus yang senang disuapi uang ke dalam mulutnya. Aku yakin, jika mereka punya kuasa di DPR atau badan pemerintahan negara lainnya, mereka akan menjadi koruptor.

Aku berharap aku tak pernah mengalami seperti ini, aku tak ingin jadi bawahan yang diperintah untuk mengerjakan hal kotor untuk menyuapi para petinggi media. Namun jika itu terjadi, aku tak sungkan untuk membunuh sosoknya dalam tulisanku. Melawan pada ketidakbenaran, aku akan senang melakukannya dengan rela hati. Selamat malam, kawan. Kembalilah tidur.

Labels:

permalink | 1 comments (+)

Media Massa, Off The Record ; 23 Nov 2013

"Kau tahu tentang tulisan jilbab hitam yang menyerang Tempo?"

"Hhh... lugu kau, begitu saja termakan bualan. Itu palsu... eh, ini bukan berarti aku mendukung Tempo loh ya. Tulisan itu memang bohong untuk Tempo. Tapi tidak dengan kebiasaan para media." Perkataan Dion ini sangat menarik untuk disimak. Tulisan itu memang bohong untuk Tempo, tapi tidak dengan kebiasaan para media. Aku ingin tahu lebih lanjut.

"Maksudmu?"

"Ya, yang dibilang wartawan sering mendapat 'uang receh' yang dimasukkan ke dalam amplop di beberapa liputan, dan isu memihak juga mendukung sebelah pihak. Itu benar adanya. Dan wartawan-wartawan yang suka menerima gaji tambahan, itu memang ada. Atasanku contohnya."

"Coba jelaskan," aku meminta Dion. Dan langsung saja dia bicara tanpa ada sesuatu yang menahannya.

"Si jilbab hitam yang menulis di dunia maya itu cuma mengada-ada, tapi inti dari ceritanya itu benar adanya. Bukan soal jual beli isu, tapi setahuku, 'penyerangan' yang dilakukan media itu memang ada. Dan juga pembelaan media untuk sebelah pihak juga bukan rahasia."

Lanjutkan Dion! Seruku dalam hati.

"Aku ditugaskan menulis sebuah artikel tentang baik dan buruk seperangkat alat. Simpel, cuma menuliskan baik dan buruk. Sebulan setelahnya, aku ditelpon oleh humas perusahaan tersebut, katanya ingin bertemu denganku karena ada sebuah hadiah untukku karena sudah menyempatkan waktu menulis tentang artikel itu. Itu hadiah, diberikan setelah tulisanku selesai. Bukan sogokan yang diberikan sebelum aku menulis, agar aku menulis yang baik-baik,"

"Tapi si humas itu batal bertemu denganku, kawan. Humas perusahaan itu adalah teman dari dua orang atasanku, dan atasanku melarang si humas untuk memberikan hadiah perangkat tersebut untukku. Tapi diambil dan dibagi rata untuk mereka berdua, lucu ya? Tapi tak hanya itu."

"Apa lagi?" Dion menghela napas sebentar. Mengambil sebatang rokok terakhir di bungkus Marlboro putih, menyelipkan di bibirnya, dan membakarnya. Aku amat menunggu kisah lanjutannya.

"Media tempatku bekerja juga menyerang beberapa pihak yang tak disukainya, 'menghajarnya' lewat artikel-artikel pedas. Yang tentu saja merugikan si pihak yang diserang. Tujuannya? Kata bosku, supaya mereka sadar, dan mereka meminta maaf kepada media kami. Meminta maafnya bagaimana? Baik-baiklah kepada media kami, beri barang yang mereka miliki, atau ajak wartawan kami ke luar negeri untuk 'liputan jalan-jalan' sebagai permintaan maaf. Masalah beres. Kalau belum seperti itu, ya kami akan terus menyerang mereka. Atau memboikot pihak mereka dari tulisan kami. Seperti itu."

"Sama saja seperti kau ditilang oknum polisi, lalu kau baik-baiki oknum tersebut dengan sejumlah uang, lalu masalah beres. Begitu, Dion?"

"Pintar."

"Dan lebih lagi," Dion menghisap rokoknya hanya sebentar, lalu melanjutkan, "atasanku ini tak bercermin diri setelah membaca tulisan si jilbab hitam yang menyebar di dunia maya. Ia mengirim tautan kepada anak buahnya, lau berkata 'Buka link ini deh. Kalian wartawan, jangan kayak gini ya. hehehe...' persis penjilat bukan?"

Ini. Cerita Dion ini sangat menarik sekali untuk kutulis lalu kusebarkan secara luas. Ah tapi, apa semua yang dikatakan Dion ini benar adanya? "Hei Dion, semua yang kau katakan ini, benar kan? Fakta?"

"Hahahaha...." Dion malah terbahak-bahak, membuang rokoknya yang masih setengah, lalu menginjaknya agar bara api padam. "Ya tidaklah, semua yang kucertikan itu fiksi. Jangan mau otakmu disetir oleh orang-orang yang punya kepentingan, jangan mau disetir oleh media!"

nb: hei Kevin Carter, apa foto anak kecil yang hendak dimakan burung pemakan bangkai itu benar adanya? apa setelah kau pergi burung itu benar-benar memakan si anak?

15 November 2013
di pengasingan kebenaran



Aku meremas kertas kuning berisi tulisan percakapan yang masih saja diketik pakai mesin tik itu. Sudah 2013, mesin tik  masih saja dipakai. Lagi-lagi bualan kelas teri. Jauh lebih baik aku menulis puisi. Tentang cinta yang tak ada habisnya. Karena aku terkadang berpikir, Cinta dan Tuhan adalah satu zat yang sama.

Labels:

permalink | 1 comments (+)

Edukasi Wisata dan Pelarian Sementara ; 4 Aug 2013


Ada suatu tempat di mana orang dari berbagai usia dari penjuru Indonesia berkumpul, belajar, dan hidup bersama. Dari remaja SMP, SMA, dan pemuda-pemudi mahasiswa. Bahkan seorang dosen berumur hampir empat puluh, awak kapal barang, staf penerbangan berusia tiga puluhan, juga ibu satu anak yang sedang gendut perutnya karena mengandung putra kedua, berkumpul bersama di sana. Mereka berasal dari Jakarta, Padang, Palembang, Bengkulu, Bogor, Surabaya, Samarinda, Makasar, Malang, dan kota-kota di Indonesia lainnya yang tak cukup disebutkan satu-satu. Berpusat pada satu desa sederhana di satu kota kecil yang kata mereka memiliki banyak kenangan di dalamnya; Kota Pare.

Pare, sebenarnya adalah nama kecamatan dalam Kota Kediri. Namun anak-anak nusantara yang tinggal di sana lebih suka menyebutnya dengan kota kecil, dengan sebuah desa sederhana bernama Tulungrejo di tengah-tengahnya. Tempat berkumpulnya mereka yang berbeda usia dan dari berbagai penjuru Indonesia dengan satu tujuan yang sama; belajar Bahasa Inggris. Desa itu lebih terkenal dengan sebutan Kampung Inggris Pare. Dan mereka yang berasal dari berbagai penjuru Indonesia berbondong-bondong datang ke sana untuk mendalami Bahasa Inggris. Mereka lebih memilih datang jauh-jauh ke Kota Kediri di Jawa Timur, lebih dalam lagi ke kota kecil Pare, ke suatu desa sederhana bernama Tulungrejo, ketimbang belajar Bahasa Inggris di lembaga-lembaga kursus nan bonafit di kota-kota besar tempat mereka tinggal. Sebut saja lembaga kursus Bahasa Inggris yang sudah terkenal namanya seperti LIA, English First, atau Wallstreet yang bisa menjamin siswanya bercas-cis-cus dalam Bahasa Inggris. Namun ternyata Kampung Inggris Pare bukan hanya soal belajar dan mendalami kemampuan berbahasa Inggris. Kampung sederhana ini bisa disebut sebagai destinasi wisata, atau lebih mendalam lagi, pelarian sementara dari kehidupan nyata.

Kisah terciptanya sebuah desa dengan sebutan Kampung Inggris ini berawal dari seorang laki-laki bernama Kalend Osen. Pria kelahiran 4 Pebruari 1945 ini berguru pada seorang uztad bernama KH Ahmad Yazid yang menguasai delapan bahasa asing di Pare. Kalend muda berguru dan tinggal di Pesantren Darul Falah di Desa Singgahan guna menguasai Bahasa Inggris. Hingga akhirnya satu hari yang membuat banyak perubahan di masa depan itu tiba, Kalend didatangi oleh dua orang mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya yang datang ke Pondok Pesantren Darul Falah untuk mencari Uztad Yazid dengan tujuan yang sama seperti Kalend. Sayangnya KH Ahmad Yazid sedang keluar kota, dan dua mahasiswa tersebut diserahkan kepada Kalend Osen.

Pria pendiri Kampung Inggris itu diberikan soal dan mengajari dua orang mahasiswa yang akan mengikuti ujian negara dalam dua pekan kedepan. Dan dua mahasiswa Surabaya itu merasa puas mendapat pengajaran dari Kalend. Alhasil, satu bulan kemudian dua mahasiswa tersebut kembali dan mengabarkan berhasil lulus ujian. Di sinilah awal mulanya ketika mahasiswa-mahasiswa itu menjadi pengiklan dari mulut ke mulut hingga tersohornya kemampuan Kalend Osen. Pada 15 Juni 1977, Kalend mendirikan lembaga kursus pertama di Pare dengan nama Basic English Course (BEC). Lembaga kursus Bahasa Inggris yang tak hanya mengajarkan materi Bahasa Inggris, tapi juga nilai-nilai agama dan kecakapan akhlak. Yang akhirnya diikuti oleh lembaga-lembaga kursus lain yang mulai bermunculan hingga terbentuk satu desa dengan sebutan Kampung Bahasa.

Jalan yang tidak besar, tak sering dilalui kendaran bermotor. Lebih banyak orang-orang berkendara menggunakan sepeda bermacam gaya. Sepeda kumbang tua, fixie, sepeda balap, atau sepeda warna-warni dengan bel dan keranjang di depannya. Di kiri kanan jalan berderet rumah-rumah sederhana, atau tempat-tempat kursus Bahasa Inggris dengan bermacam nama, masih sama sederhananya. Tak ada bangunan mewah dan tinggi seperti di kota.

Di beberapa lokasi yang letaknya agak jauh dari pemukiman, kebun dan ladang jadi pemandangan yang bisa dinikmati untuk bersepeda pada pagi atau sore hari. Tentu saja dengan aktivitas penduduk desa Tulungrejo dengan segala kesibukannya. Di satu jalan yang menjadi jantung Desa Tulungrejo, Jalan Anyelir namanya, kiri kanan jalan berderet lembaga-lembaga kursus dan tempat kos atau asrama. Jika bersepeda atau berjalan kaki di jalan itu, akan terdengar koor pelajar yang bersuara dalam bahasa Inggris. Atau, hanya sunyi yang dapat dilihat dengan ketekunan pelajar mendengarkan tentor yang mengajar di bawah pohon rindang. Ya di bawah pohon rindang. Lembaga kursus di Pare memang tak menyediakan kelas seperti adanya di kota-kota. Tetapi ‘kelas’ dengan bermacam adanya, ‘kelas’ yang bisa berbentuk apa saja. Bisa di bawah pohon rindang, gazebo, bale, ruang tamu rumah, atau di pinggir sawah dengan menghirup udara desa pagi-pagi.

Di Kampung Inggris, setiap waktu selalu berbeda aromanya. Pukul tujuh pagi akan selalu dihiasi dengan para pelajar yang serentak berlalu lalang menggunakan sepeda dengan wajah-wajah segarnya. Mereka baru ‘keluar kandang’ dan menuju kelas pertamanya hari itu. Agak siang, jalan-jalan di Desa Tulungrejo sedikit sepi karena matahari Kota Kediri lebih menyengat dari Matahari Jakarta. Hanya ada beberapa pelajar yang bersepeda seusai kelas atau hendak mencari makan siang. Para pelajar lebih senang mendekam di kamar kos atau asrama atau bahkan belajar di ‘kelas’ untuk menghindari sengatan matahari. Dan udara sore hari memang diciptakan untuk bermain.

Sore di Pare para pelajar itu kembali keluar dari kandangnya lagi untuk mengikuti kelas tambahan. Bersepeda dengan suasana desa yang ramah. Di kanan kiri berderet bermacam kuliner dari berbagai daerah dan murah-murah. Misalnya saja untuk satu porsi mie ayam seharga Rp 4000, Soto Lamongan plus nasi yang dibandrol Rp 5000, atau nasi seharga Rp 3000 dengan lauk sayur, tempe atau tahu, dan tumisan kerang. Ada juga prasmanan yang bisa mengambil nasi dan sayur sepuasnya ditambah ayam bakar seharga Rp 5000. Jika ingin tetap sehat, harga jus bermacam buah di sini juga mulai Rp 4000 hingga paling mahal Rp 8000. Kehidupan di Kampung Inggris tak berhenti sampai di sore hari, selepas maghrib, setelah para pelajar bebersih diri di asrama atau kos masing-masing, mereka kembali lagi ke tempat kursus untuk berkumpul mematangkan pelajaran yang didalaminya sesiang tadi. Padat memang, tapi bukan berarti tak menyenangkan.

Lebih dari 180 lembaga kursus yang tersedia di dalam Kampung Inggris, juga dengan berbagai macam harga yang membuat tangan tak perlu merogoh kocek terlalu dalam. Biasanya, lembaga kursus menyediakan kelas per mata pelajaran atau program yang akan diambil. Kelas ini berdurasi selama dua minggu dengan waktu belajar Senin sampai Jumat. Kisaran harga bermula dari yang paling murah Rp35.000 sampai Rp125.000. Namun rata-rata lembaga kursus memasang tarif per kelas berkisar antara Rp80.000 sampai Rp100.000. Ada juga lembaga kursus yang sudah menyediakan paket bagi pelajar agar tidak perlu bingung-bingung memilih kelas yang diinginkannya. Dan biasanya lembaga kursus menyediakan opsi paket program beserta fasilitas asrama. Di salah satu lembaga kursus ada yang menyediakan paket tiga kelas reguler Bahasa Inggris dengan dua tambahan program di asrama seharga Rp400.000 untuk dua minggu masa belajar. Sedangkan bagi yang memiliki waktu satu bulan penuh disediakan paket dengan lima kelas reguler, dua program tambahan di asrama, dan fasilitas asrama itu sendiri seharga Rp600.000.

Gunanya asrama di sini adalah untuk membantu pelajar dalam mematangkan kemampuan berbahasa Inggrisnya. Betapa tidak, di setiap asrama diberikan aturan untuk menggunakan Bahasa Inggris dalam bercengkrama sesama penghuni asrama lain selama setiap hari. Bila ada yang berani melanggarnya, hukuman siap dijatuhkan bagi mereka yang menggunakan bahasa lain selain Bahasa Inggris di English Area. Mereka yang memilih asrama sebagai tempat tinggalnya mau tak mau harus hidup bersama dengan pelajar lain di asrama tersebut. Tidur satu kasur bertiga sampai berlima, mandi dalam kamar mandi bersekat berbarengan yang juga harus antri, dan segala hal yang dilakukan di rumah harus bersama-sama. Selain itu, setiap pelajar yang tinggal di asrama harus siap bangun subuh-subuh untuk belajar bersama selepas melaksanakan solat subuh berjamaah. Kegiatan belajar non-reguler tersebut juga dilakukan selepas maghrib di aula lembaga kursus masing-masing. Tujuannya masih belajar bersama, namun kali ini dengan mempertemukan beberapa asrama pria dan wanita dalam satu lembaga kursus. Yang paling sering dilatih dalam acara yang disebut Gathering ini adalah percakapan dan tampil ke depan alias melatih kepercayaan diri. Ya, berpidato.

Kota Pare yang berada di provinsi Jawa Timur juga tak kalah religius dibanding kota-kota Jawa Timur lainnya. Pondok pesantren juga banyak tersebar di desa Tulungrejo ini. Meski tak lebih besar dan seterkenal Gontor serta Tebu Ireng, penduduk Pare bisa dibilang patuh terhadap aturan-aturan agama Islam. Hal tersebut juga diterapkan dalam lembaga kursus di Pare. Global English adalah salah satu lembaga kursus di Pare yang mewajibkan pelajar muslim untuk menghadiri Gathering untuk Yasinan bersama-sama di tiap malam Jumat. Setelah mengaji bersama, satu orang perwakilan dari asrama membagikan pengalamannya untuk berdiskusi. Dan keesokan di pagi harinya seluruh pelajar tersebut diharuskan bangun subuh-subuh untuk ‘berolahraga pagi’ dengan berjalan santai mengelilingi desa Tulungrejo secara keseluruhan. Jauh memang, tapi udara segar yang belum tercemar ditambah pemandangan sawah-sawah berlatarkan pegunungan dan hutan tak akan bisa didapati di kota-kota besar.

Akhir pekan adalah masanya para pelajar untuk libur. Lembaga-lembaga kursus memberikan Sabtu dan Minggu bagi siswanya untuk meregangkan otot otak setelah belajar penuh pagi sampai malam. Biasanya Sabtu Minggu adalah harinya para pelajar untuk jalan-jalan. Jawa Timur adalah gudangnya destinasi wisata-wisata indah. Dari alam, budaya, hingga sejarah. Di sekitar Tulungrejo ada tempat wisata bernama Candi dan Gua Surowono. Candi Hindu peninggalan Majapahit ini hanya 15 menit ditempuh dengan bersepeda dari Kampung Inggris. Para pelajar biasanya datang berbondong-bondong ke Surowono dengan teman-teman satu asrama atau satu kelas. Melihat-lihat relief indah di candi atau memasuki gua kecil nan gelap dan berair setinggi pinggang.

Lain lagi kalau bermain ke Kota Kediri, di sana bisa lebih banyak lagi menemukan objek wisata seperti Gua Maria, Gunung Kelud, dan Gumul Simpang Lima. Yang terakhir adalah monumen yang mirip seperti L'arch D' Triomphe di Paris. Yang pergi berwisata keluar kota juga tak sedikit. Gunung Bromo, Pulau Sempu, Kota Batu, dan objek-objek wisata di Jawa Timur tak terlalu sulit untuk dikunjungi dari Pare. Bahkan adapula pelajar yang memilih mendaki Gunung Semeru untuk memuncaki Puncak Mahameru di akhir pekan masa belajarnya. Atau ingin yang murah dan tak beranjak dari Kampung Inggris, karaoke bisa menjadi pilihan untuk bernyanyi bersama teman asrama. Tempat karaoke satu-satunya dan seadanya seharga Rp 25.000 per jam. Sungguh sangat efektif untuk menciptakan tawa di antara teman satu asrama.

Tak heran banyak pelajar yang merasa kerasan dan tak ingin pulang bila sudah menetap di Kampung Inggris. Menjalani kehidupan bersama, tertawa, mandi, bercanda, belajar, tidur, beribadah, dan makan bersama membuat ikatan antara satu dengan yang lain semakin erat. Dalam salah satu desain kaos khas Pare yang tersebar di berbagai distro di Kampung Inggris, bertuliskan: Pare, Kota Kecil Penuh Kenangan. Sebuah ukuran memang tak membatasi seberapa besar sebuah rasa bisa tersimpan.

Labels:

permalink | 1 comments (+)

Orang Tak Bersekolah yang Mendirikan Sekolah ; 11 Jul 2013

Bocah berusia enam tahun itu angkat kaki dari rumahnya, pergi dari ibu, bapak, dan kekesalannya yang ia tinggalkan di rumah. Kekesalan atas apa yang ia terima tak sesuai dengan keinginan; tak lebih, hanya sebatas ilmu pengetahuan.

Bocah seusia itu berjalan menapaki kesendiriannya dari terminal ke terminal, dari satu pasar ke pasar lain. Mencicipi aroma sayur mayur segar dan busuk di kota yang berbeda, membaui asap-asap knalpot bis jurusan Karawang, Cikampek, Cianjur yang sama saja sesaknya. Sesekali ia berhenti untuk merenungi kehidupan jalanan yang ia rintis dari kecil. Merenungi laki-laki seorang tentara berpangkat rendah beristri dua yang tak mampu mencukupi semua kebutuhan anak-istri. Yakni ayahnya, yang melemparkan dirinya berkilo-kilometer jauh dari rumah. Bertahan hidup dengan cari makan sendiri, dengan menjalani apa saja pekerjaan yang bisa menghasilkan uang. Menyemir sepatu kulit laki-laki paruh baya, mencuci mobil angkutan umum, ojek payung, sampai menghibur penumpang bis seadanya dengan nyanyian.

“Ah, pokoknya keras,” ucap lelaki itu, “hidup saya keras dari kecil.”

Laki-laki berusia lima puluhan dengan kumis tebal dan uban yang mulai meretas di sela-sela rambut hitamnya, dialah Agus, bocah kecil yang sudah meninggalkan rumah sejak usia enam tahun. Bayangan tentang masa lalunya terbuyar tiba-tiba karena bising suara knalpot bis tua di terminal Depok. Namun saya mencoba mengembalikan kenangan hidupnya dengan pertanyaan-pertanyaan yang berlanjut, meski di salah satu ruangan tak besar tempat kami duduk, bising suara knalpot itu tetap masuk.

Hidup di jalan, pindah dari satu kota ke kota, bekerja apa saja, hingga akhirnya ia berhenti melangkahkan kakinya di suatu kota pinggir Jakarta; Depok. Haji Agus Kurnia, atau yang biasa disapa dengan sebutan Abah Agus oleh kebanyakan warga terminal Depok, tak sungkan bercerita tentang masa lalunya yang pahit seperti kopi dan keras layaknya batu. Abah Agus, sebelum berlabuh di Kota Depok ia lebih dulu melanglang buana Indonesia, bahkan luar negeri. Tetapi bukan berpelesir seperti kebanyakan orang berada, melainkan menyambung napas agar bisa terus hidup.

‘Karir’ Agus tak jauh-jauh dari depan kemudi. Pekerjaannya ketika dewasa tak lain adalah supir. Entah itu supir angkutan umum, bis kota, bis malam, atau supir pribadi seperti yang ia lakukan dari tahun 1984 hingga 1989. Segala penjuru Jakarta dijelajahinya dengan kendaraan roda empat yang mengangkut penumpang. “Pulogadung, Tanah Abang, Kampung Rambutan… ah, semuanya deh kalau Jakarta,” tuturnya enggan menyebutkan satu persatu nama terminal di Jakarta.

“Sempat juga jadi supir bis malam, jurusan Kampung Rambutan-Yogyakarta. Dulu saya nyupir bis Jakarta-Jogja bawa anak dua orang, anak saya dari istri pertama. Mereka ikut saya narik dari Jakarta sampai Jogja, dari Jogja sampai Jakarta lagi,” ia berujar dengan sedikit kenangan tersirat pada air mukanya. Tahun 1987 Agus pernah menikah di Bandung dan dikaruniai dua orang anak perempuan. Tetapi bahtera rumah tangganya tak berlayar dengan tenang, Agus bercerai, dengan kedua anak perempuan kecil-kecil yang lebih memilih ikut dirinya. Mereka tidak ingin jauh sampai-sampai turut menyertai sang ayah memacu bus malam-malam melintasi jalan Jakarta-Yogya. Agus begitu mengenang bagian di mana ia bekerja sekaligus harus merawat anak. Dia tertawa kecil menceritakan saat harus memandikan dan menyuapi anak di pangkalan sehabis pulang narik, sementara teman-teman seprofesinya menikmati tawa bersama dengan pisang goreng dan segelas kopi hitam pengusir lelah. Dan di Depok pula ia menikah dengan wanita pribumi dan dikaruniai lagi dua orang putri.

Agus Kurnia bukan orang yang berpendidikan. Kehidupan jalanan nan keras yang ia lakukan sejak umur enam tahun memaksanya tak pernah mengecap pendidikan formal sekalipun. “Tidak, saya tidak sekolah. SD pun tak pernah. Tapi Alhamdulillah bisa membaca, berkat pergaulan,” ucapnya getir.  Namun dari situlah semua hal besar yang ia lakukan bermula. Termasuk mendirikan sekolah gratis bagi anak-anak jalanan dan anak-anak yang kurang mampu. Ya, sekolah yang terkenal sepenjuru Indonesia, bahkan sampai ke luar negeri; Sekolah Terbuka Master.

“Sebenarnya ini dendam saya sewaktu kecil, dendam pribadi karena saya bodoh dan tidak bersekolah. Saya memiliki cita-cita saat itu, apabila saya dewasa nanti ada di suatu tempat dan memiliki kapasitas saya akan merangkul anak-anak yang nasibnya seperti saya dulu, dan diberikan pendidikan,” katanya tegas tanpa ada keraguan.

Semua bermula saat ia datang ke Kota Depok tahun 1997. Trayek bis kota yang ia kemudikan memaksanya harus lebih sering berkunjung ke terminal Depok dan menjatuhkan pilihannya untuk menetap di sana. Ada keprihatinan dalam dirinya tentang kondisi terminal Depok yang berpetugas namun kejahatan masih sering ditemukan. Warga terminal dan setiap orang yang berada di terminal tidak mendapatkan kenyamanan dan rasa aman. Maka muncul suatu gagasan untuk membentuk satu organisasi yang menaungi seluruh kegiatan di terminal Depok serta mengorganisirnya dengan baik. Tujuannya untuk memberantas premanisme dan membersihkan terminal dari segala bentuk tindak kejahatan. Sapu Jagad namanya, kependekan dari Silaturahmi Antar Penduduk Jalankan Gerakan Demokrasi. Berdiri tahun 1997, dan tidak berlangsung lama nama itu diganti menjadi Paguyuban Terminal alias Panter. “Ada satu perguruan bela diri di Jakarta yang sudah punya nama itu lebih dulu,” Agus mengungkapkan alasan pergantian nama.

Premanisme tak mudah diusir begitu saja. Selama enam tahun Agus harus memiliki banyak musuh dan diberi julukan sok pahlawan karena ingin mengusir para preman di terminal. Enam tahun yang setiap  minggunya minimal ada dua keributan yang ia dapatkan. Hingga akhirnya terminal benar-benar bersih dari premanisme dibawah gerakan Panter yang kemudian berbadan hukum pada tahun 2004. Dari situlah Agus Kurnia mendapat gelar penghormatan dari warga terminal dengan sebutan Abah Agus. Seseorang yang dituakan dan disegani oleh penduduk Terminal Terpadu Depok.

Hal yang ia lakukan tak berhenti hanya dalam memberantas premanisme. Kini ia mulai bergerak membalas dendam masa lalu yang pernah ia cita-citakan. Di tahun 2000, anak jalanan yang berkeliaran di terminal Depok saat itu sedang banyak-banyaknya. Mereka anak-anak dengan usia yang seharusnya sedang berada di kelas untuk menerima pelajaran, bukan di jalanan untuk mencari makan seperti yang sedang mereka lakukan. Ini persis apa yang pernah ia alami sewaktu kecil. Kemudian dikumpulkannya anak-anak jalanan itu yang berjumlah 60 orang. Diberi makan, dibuatkan rumah tempat bernaung walau hanya terbuat dari kardus di dalam salah satu ruangan tak terpakai di terminal, dan tentu saja yang tak terlupakan; pendidikan. Sadar dirinya tak bisa memberikan pelajaran, Agus meminta bantuan Nur Rohim, sekertaris Panter, untuk mendidik mereka dan mendirikan sekolah gratis bernama Sekolah Terbuka Master. Nama Master merupakan kependekan dari Masjid Terminal, awal mula tempat belajar mengajar sekolah Master sebelum memiliki bangunan dan kelas sendiri.

Pada tahun 2004, sekolah Master mulai aktif memberikan pendidikan gratis kepada anak-anak jalanan yang kurang mampu. Sekolah bertempat di terminal dan siswanya diisi anak-anak jalanan, bukan berarti kualitas orang-orang di dalamnya juga rendahan. Tak sedikit siswa lulusan sekolah Master yang mendapatkan beasiswa di perguruan tinggi negeri maupun swasta, termasuk Universitas Indonesia, bahkan juga perguruan tinggi Afrika Selatan dan Arab Saudi. Keterbatasan yang membuat mereka melampaui batas kemampuan. Tak heran sekolah ini begitu terkenal di media-media lokal maupun nasional, dan bahkan Al Jazeera TV pernah membawa kabar sekolah ini ke ranah internasional.


Sekalipun kita susah, kita harus bermanfaat untuk orang banyak. ~Abah Agus

Saat itu yang ada di benak Agus tidak cukup hanya merawat anak-anak jalanan dan memberikannya pendidikan gratis. Ia sadar selain pendidikan yang diajarkan langsung, mereka juga butuh pengetahuan lebih yang didapat dari buku. Ya, taman bacaan. Agus menginginkan segudang buku berada di terminal untuk bebas dibaca oleh siapa saja. Taman baca di terminal kala itu sudah membenam di benak Agus sejak 2004, namun baru terlaksana diwujudkan di ujung tahun 2011.

Kali ini Andi Malewa, sarjana Teknik lulusan Universitas Pancasila Jakarta, yang menjadi tangan kanan Agus untuk membangun taman baca di terminal. Andi yang semenjak masih menjadi mahasiswa sudah bergabung dalam kepengurusan Panter, membuat taman baca bernama Rumah Baca Panter di salah satu kios di deretan terminal Depok. Pemuda itu gencar menyuarakan dan mengiklankan rumah baca yang ia rintis bersama beberapa orang rekannya lewat media sosial. Dan usahanya berbuah manis, kios itu kini sudah berubah menjadi gudang berbagai macam buku yang boleh dibaca oleh siapa saja. Tempat yang menjadi perbincangan antara Abah Agus dengan saya kala itu.

Pengunjung taman baca berasal tak jauh-jauh, yakni warga terminal dan pengamen-pengamen cilik. Anak-anak kecil yang biasa mengamen di lampu merah dan bis-bis kota itu memiliki hasrat belajar yang menjulang. Tak sedikit dan tak jarang mereka datang ke Rumah Baca Panter untuk mengikuti kelas belajar. Benar, selain menyediakan buku yang bebas dibaca siapa saja, Rumah Baca Panter menggaet para relawan yang kebanyakan mahasiswa untuk berbagi pengetahuan dengan anak-anak jalanan. Kelas belajar itu tak hanya ilmu alam, ilmu sosial, atau ilmu bahasa. Tapi juga mengajarkan seni bermain biola, seni drama dalam teater, dan diskusi. Jika Rumah Baca Panter mengadakan suatu acara, para seniman cilik ini akan berunjuk kemampuan yang selama ini dilatihnya.

“Karena sangat terasa menjadi orang bodoh itu selalu dibodohi orang lain. Tetapi saya prihatin banyak orang pintar yang membodohi orang. Dan ternyata kepintaran tidak menjamin meluruskan karakter orang itu sendiri,” kata-kata itu keluar dari ‘orang yang tidak bersekolah’ di depan saya. Matanya menerawang dengan kekhawatiran membayangkan orang-orang semacam itu yang banyak hidup di negeri ini.

Pria 50 tahunan itu tertawa seraya mengakui dirinya sebagai ROMUSA, Rombongan Muka Susah. Romusa yang ia maksud adalah dirinya bersama kawan-kawan seperjuangannya yang hidup di terminal. Yang hidupnya tidak jauh berbeda dengan dirinya. “Kita sebagai Romusa jangan mau kalah dengan rombongan orang-orang senang. Bagi saya, sekalipun kita susah, tapi harus bisa berbuat yang manfaatnya bisa dirasakan orang banyak.”

Pembicaraan kami terhenti di situ. Ketika kopi susu di hadapan kami berdua hampir habis, dan waktu sudah banyak bergulir entah kemana.

Labels:

permalink | 1 comments (+)

Menahan Mati Merindumu ; 30 Jun 2013

Aku baru saja menemukan lagi, masa di mana aku begitu mencintaimu, sayangku
Ialah saat engkau ribuan kilo jauh dariku, dan aku menahan mati karena begitu merindumu


~
Tiba-tiba saja rindu dan kesepian datang ke kamarku
Membawa ingatan-ingatan tentang senyuman manis,
Dan tatapan mata yang teduh

Ingatan yang kemudian hilang oleh pohon-pohon yang bergoyang,
Pohon-pohon yang ditinggalkan burung terbang

Pohon yang selalu rela dalam mencintai apa saja
Dan mengajariku cara tulus mencinta 

Ia mengajarkanku untuk merelakanmu
Seperti pohon yang tak pernah menahan kepak sayap burung setiap kali ia ingin pergi

Ia mengajarkanku untuk menunggumu
Seperti pohon  yang tetap setia menanti burung kembali pulang tanpa bertanya kapan


Yang tak beranjak satu sentimeter pun, dari tempat ketika pohon melepas burung pergi
Seperti rasaku yang tak berubah sebentukpun, ketika aku melepasmu pergi

Seumpama itulah, sayangku, cara aku mencintaimu

Labels:

permalink | 1 comments (+)

Surat Untuk Soe; Media yang Mengendalikan Orang-Orang ;

Soe, kemarin lusa baru saja ada seorang perwakilan organisasi agama yang menyiram muka seorang sosiolog dari Universitas Indonesia. Dalam acara televisi nasional yang sedang live di pagi hari. Tentu kau tertarik untuk mendengarkan, maka akan aku ceritakan.

Organisasi itu bernama Front Pembela Islam (FPI). Organisasi agama Islam yang bagi sebagian orang Islam di Indonesia justru tak ingin mengakuinya, dan sebagian umat Islam lain mendukungnya. Lantaran sikapnya yang terlampau keras dalam bertindak di mata masyarakat Indonesia. Di acara televisi tersebut, perwakilan FPI menyiram wajah dari sosiolog UI karena dia muak dengan sikap diskusi sang sosiolog yang memotong pembicaraannya. Meski ada latar belakang lain yang lebih kuat yang membuat sang wakil lebih ingin menyiramnya wajahnya dengan air teh, barangkali ia berharap itu air keras.

Terlepas sang sosiolog pernah membuat masalah dengan pernyataan-pernyataannya yang merusak nilai Islam di masa lalu, aku tak bermaksud membelanya. Juga terlepas wakil FPI yang meyiram wajah lawan diskusinya karena dia menilai tak beretikat dalam berdiskusi, padahal dia sendiri tak memiliki etika dalam menghargai orang, aku tidak bermaksud menyerangnya. Justru aku ingin bertepuk tangan pada televisi swasta  nasional yang keluar menjadi pemenangnya. Ya, sekali lagi tv itu berhasil mengadu domba orang. Dan berhasil menciptakan kebencian baru sebagian masyarakat Indonesia kepada FPI. Pemimpinnya pasti tertawa, dan mungkin berkata "Kita berhasil membuat masyarakat tambah benci kepada FPI!", atau "Persetan orang-orang membicarakan kejadian tadi pagi, masa bodo FPI dan sosiolog UI, yang penting tv kita dibicarakan banyak orang, rating naik!" dan macam-macam kalimat lain yang bisa kau ciptakan sendiri, sesuai kemungkinan-kemungkinan apa yang diagendakan tv tersebut. Dan juga barangkali sang pemimpin berkata kepada presenter yang ngotot mengadu domba mereka hingga terjadi penyiraman tersebut, "Kerja bagus, boy!"

Media tersebut sukses mengarahkan opini publik sesuai dengan wacana yang ingin mereka angkat, yang ingin mereka buat, yang ingin mereka tanam di pikiran masing-masing tiap orang. Yang orang-orang itu sendiri tidak sadar mereka sedang ditanamkan pola pikir yang sama dengan pola pikir media, lebih tepatnya pembesar-pembesar media tersebut. Indoktrinasi secara halus. Apa kepentingannya? Bisa jadi perkembangan bisnis media mereka, atau kepentingan politik media mereka, atau dendam pribadi pembesar media itu.

Dua hari kemarin, banyak sekali orang yang mencemooh, mengatai, mengolok-olok, mengutuk wakil FPI tersebut lewat media sosial. Aku tidak menyalahkan mereka, karena memang sikap wakil FPI tersebut tidak pantas dihargai, tapi yang ada dalam pikiranku, Soe. Betapa kebanyakan bangsa Indonesia ini mudah sekali diadu-domba.

Ada suara yang berkata dalam jiwaku ketika aku sedang menyendiri, Soe. Dia bilang; dalam pertengkaran, siapa yang bisa mengendalikan amarah dan tetap tenang, dialah pemenang.

Sekian dulu. Lanjutkan tidurmu, Soe.

Labels: ,

permalink | 1 comments (+)

Pohon yang Setia Mencintai Udara ; 19 Jun 2013

Aku ingin jatuh cinta, seperti pohon yang setia mencintai udara
Dia akan tetap di sana, meski cuaca dan musim berubah-ubah

Aku akan tetap di sini, di sebelah kanan tubuhmu
Saat kau senang, sedih, bahagia, dan marah
Aku tak akan pergi, seperti pohon yang setia mencintai udara

Labels:

permalink | 0 comments (+)

Sebab Terlahirnya Sebuah Telaga ; 18 Apr 2013

Ada gadis kecil yang menggenggam pensil warna di tangan kananya
Matanya berair, habis ditangisi oleh bocah laki sekolah sebelah
Lalu perlahan-lahan telaga terlahir di bola matanya

Ada angin yang tak sengaja berjalan melewatinya
Pelan-pelan mengusap pipinya dingin
Kemudian tercipta pohon-pohon cemara berdaun lebat
Dahan daunnya menadah dan menjuntai sampai ke bawah
Sampai ke bibirnya
Jika ia tersenyum, teduhlah itu neraka

Labels:

permalink | 1 comments (+)

Surat Untuk Soe; Pencitraan (Busuk) Pegawai Berseragam Khaki ;

Apa kabar, Soe? Aku pernah berjanji kepadamu untuk bercerita tentang suatu hal ketika aku menelusup ke dalam sebuah gedung pemerintahan. Balai kota Depok tepatnya, Soe.

Singkat saja, aku diminta oleh seseorang untuk membantu memberikan kontribusi lewat tulisan untuk majalah   milik pemerintah kota Depok, Warta Depok namanya. Ya, kau lebih tahu  dari aku, Soe, tiap media memiliki tujuan dan kepentingannya sendiri untuk dibuat opini publik. Majalah resmi milik pemkot Depok, tentu saja isinya melulu tentang hal-hal positif Kota Depok.

Suatu waktu aku diundang rapat di balai kota, Soe. "Pak wali ingin ketemu dengan semua reporter Warta Depok," begitu bunyi pesan singkat yang dikirim ke telepon genggamku. Awalnya aku sungguh tak ingin datang, namun aku memilih untuk menghadiri meeting itu. Tujuanku satu; ingin tahu bagaimana isi kepala para pegawai berseragam khaki itu di dalam istananya sana. Dan benar saja, aku mendapatkan apa yang aku inginkan. Seorang kepala dinas pendidikan membuka rapat sebelum wali kota Depok datang. Ia mengutarakan tentang visi misi majalah Warta Depok yang harus menginfokan banyak hal-hal positif yang dilakukan Depok, dan bagaimana cara membuat majalah pemkot itu dibaca orang, yang kenyataannya hanya dijadikan kipas di saat kegerahan di bawah tenda mendengarkan wali kota berpidato.

Dan satu hal yang sangat mengusik kemanusiaanku, ia berbicara tentang Sekolah Master yang beberapa hari sebelum rapat itu baru saja diliput Al Jazeera TV. "Di Depok ini yang terkenal bukan Disdiknya, bukan pemkotnya, bukan sekolah-sekolah negerinya, tapi malah Sekolah Master. Nah sekarang tugas kita bagaimana supaya yang dilihat banyak orang itu program-program kita, bukan Sekolah Master. Kedepannya  jangan sampai ada lagi hal seperti ini." Tahu kau Soe, aku tersenyum getir mendengarnya. Dan tentu saja mengumpat tanpa suara.

Sekolah Master itu sekolah terbuka yang sama sekali tak meminta bayaran sepeserpun untuk murid-muridnya, Soe. Dari tingkat PAUD hingga SMA. Kebanyakan yang bersekolah di situ adalah anak-anak dengan latar belakang ekonomi rendah dan anak jalanan. Namun tak sedikit lulusan Sekolah Master yang sudah menjadi orang. Meski tak muluk, minimal mereka berhasil mengubah hidup mereka sendiri sebelum mengubah negeri ini. Banyak lulusan Master yang diterima beasiswa kuliah di perguruan tinggi negeri. Di Universitas Indonesia pun, Soe. Alamamatermu. Dan kepala Disdik Depok tak menginginkan ada lagi sekolah macam ini? Busuk. Kau setuju denganku, Soe?

Jelas-jelas Sekolah Master Depok adalah kritik gamblang terhadap pemerintah kota maupun pemerintah pusat yang tak becus memelihara anak jalanan seperti yang tertera di undang-undang. Juga tentang pemerintahan yang belum sepenuhnya menjamin pendidikan bagi masyarakat dalam level yang serendah-rendahnya.

Kau tahu, Soe, orang-orang ini sangat senang berdandan di hadapan masyarakat. Selalu ingin mencitrakan diri mereka yang baik-baik. Lebih lagi kepada warga biasa yang menelan mentah-mentah tiap informasi yang masuk ke kepala mereka. Mereka sangat narsis di depan kamera wartawan. Tersenyum sambil berpose sedang turun ke jalan melakukan sesuatu untuk masyarakat. Padahal hanya simbolis sekadarnya agar dilihat orang banyak. Dan gambar mereka di dalam kamera dijadikan bukti bahwa mereka telah peduli. Jika saja orang-orang melihat secara keseluruhan apa saja yang telah mereka lakukan. Barangkali akan berpikiran lain. Apa yang kaupikirkan jika melihat pembetulan jalan dilakukan siang-siang dan dihadiri oleh wali kota yang berlagak sedang membantu perbaikan jalan, Soe? Tak lain ia ingin dicitrakan oleh media.

Tetap tidurlah yang tenang, aku masih memiliki banyak cerita untukmu, Soe. Semoga kau tak kesepian di dalam sana.

Labels:

permalink | 1 comments (+)

Ujian Nasional, Dirasakan dari Sudut yang Terpinggirkan ; 13 Apr 2013

Pagi yang hampir habis, menjelang tengah siang yang akan dijeda oleh ritual keagamaan umat Islam. Tepatnya tanggal 12 April sekitar jam 10 pagi, aku pertama kali menginjakkan kaki di sekolah yang banyak jadi pembicaraan dan pemberitaan. Lokal, nasional, maupun internasional. Sekolah itu berada di sekitar terminal Depok, berada di sudut belakang tempat pemberhentian bus besar maupun kecil dan angkutan umum. Bukan sekolah negeri yang berdinding tembok kokoh, lapangan besar, laboratorium, kantin dan sebagainya. Tapi sekolah yang dibentuk dari kontainer bekas yang dicat beragam gambar dengan warna-warni. Sekolah Master, sekolah yang katanya untuk anak-anak yang hidupnya kurang beruntung; anak-anak jalanan, ataupun anak dari keluarga miskin. Sekolah sederhana dari tingkat usia dini hingga SMA terbuka.

Sebenarnya aku ditugaskan untuk melakukan liputan persiapan ujian nasional SMA 2013 yang akan dilaksanakan pekan depan. Ah, persetan dengan liputan, aku ingin mencari cerita kehidupan. Siang itu setelah merasa cukup melihat-lihat bangunan sekolah yang sederhana, aku mencari seseorang yang tepat yang kujadikan sumber informasi. Aku bertemu dengan seorang pria yang masih muda dan belum terlalu tua beranama Sugeng, ia seorang pembina relawan di sekolah Master. Dan aku mendapatkan pelajaran dari apa yang ia ucapkan.

Ia menirukan kalimat yang ia ucapkan kepada siswa-siswi Master di hadapanku. "Ujian nasional bukan segala-galanya buat masa depan kalian. Dan kalian harus yakin masa depan kalian ada di tangan kalian, bukan di ujian nasional," ia bersuara sangat lantang. Pria yang berbadan gempal ini menilai bahwa sekolah bukanlah satu-satunya penentu kehidupan di masa datang. Dia memiliki pemikiran tentang kehidupan dunia nyata yang lebih mirip rimba belantara, setiap orang harus bisa survive untuk tetap bisa bertahan hidup. Yang bukan tergantung dengan sekolah. Tapi pada keyakinan dan kepribadian seseorang untuk selalu bertahan dalam berusaha. Ia menekankan pada anak-anak didiknya bahwa tak ada yang istimewa dengan ujian nasional. UN hanya sebatas formalitas pendidikan untuk mendapatkan selembar kertas ijazah. Bukan sebuah kesalahan fatal jika nanti menjumpai kegagalan dalam ujian nasional.

Ia mengatakan sekolah Master bukanlah pencetak manusia-manusia pintar nan cerdas yang apabila lulus dan menghadapi rimba kehidupan kemudian menjadi pesaing yang menyikut semua orang. Evaluasi pembelajaran yang berada di sekolah Master bukanlah semata-mata nilai akademis, tetapi bagaimana membentuk nilai-nilai dan karakter pribadi seseorang. Sejenak aku berpikir, ah, apakah itu inti dari pembelajaran seseorang terhadap ilmu pengetahuan? Dan, bukankah itu yang harusnya ditirukan oleh semua sekolah? Coba pikirkan.

Obrolan kami sempat dua kali terputus oleh seorang anak kecil bertubuh besar yang sepertinya berketerbalakangan mental. Ia meminjam motor, Sugeng memberikan karena tak mau membuat pembicaraan kami terganggu. Namun di waktu selanjutnya, anak itu kembali dengan mengendarai sepeda motor "laki" di tengah-tengah bocah yang berlarian di lapangan. Ia dimarahi oleh Sugeng, lalu takut dan menurut. Menuntun sepeda motornya ke tempat di mana tadi diparkir. Aku tersenyum kecil melihatnya.

Sugeng juga menceritakan, ketika siswa-siswi sekolah lain sibuk mempersiapkan ujian nasional dengan belajar mati-matian di bimbingan belajar, siswa Master sibuk memikirkan ongkos berangkat ke sekolah tempat di mana mereka menumpang ujian. Setelah selesai dengan obrolan kami, aku beralih pada enam orang siswa kelas tiga yang terlihat sibuk dengan map berisi berkas-berkas. Aku lupa siapa saja namanya, yang hanya kuingat seorang anak perempuan berkerudung dan beralis tebal bernama Tika. Mereka sedang menyiapkan berkas untuk pengajuan beasiswa. Anak-anak itu, ah, lagi-lagi semangat mereka menyindirku. Mereka sibuk mempersiapkan beasiswa untuk masuk UI, semuanya ingin masuk UI. Meski aku sedikit melihat kecemasan di raut-raut wajahnya.

"Niatnya kamu mau ambil jurusan apa, Tika?" tanyaku.
"Sastra Indonesia, kak."
"Suka menulis kah? Menulis apa?"
"Iya aku suka nulis. Nulis puisi, cerpen, macem-macem."
"Memang cita-cita Tika apa?"
"Penulis, kak. Atau Jurnalis."

Hatiku tersenyum mendengarnya. Wajah-wajah mereka terlihat kelelahan karena kelebihan belajar. Memporsir waktu belajarnya di mana saja. Demi lulus ujian nasional. Mereka sadar, dan aku pun menyadari, latar belakang keadaan mereka tak seberuntung siswa di sekolah negeri lain. Aku melihat pesimistis ada pada keadaan mereka, tapi tidak pada jiwanya yang optimsitis. Semangatnya menyala terang menutupi lubang putus asa.

Ah, ilmu pengetahuan. Seharusnya semakin tinggi seseorang memilikimu, semakin rendah ia mempunyai hati. Bukan semakin tinggi ia berlimu, semakin jadi ia merendahkan diri orang lain.

Bersyukurlah orang-orang sepertiku yang menelan ilmu pengetahuan hingga perguruan tinggi. Dan kumohon sadarlah engkau yang bersekolah tinggi tapi menyianyiakannya.

Labels:

permalink | 1 comments (+)

Belantara Cinta ; 4 Apr 2013

Ketika mereka yang jatuh cinta menghabiskan waktunya di gemerlap kota,
Kau dan aku sibuk mengeja rasa di kegelapan-kegelapan rimba

Ketika mereka yang jatuh cinta tertawa disinari cahaya lampu kota,
Kita berdua dengan rela dihujani pijar purnama, Kejora, dan juga Bintang Utara

Ketika seorang pemuda membawakan wanitanya sekuntum mawar merah muda di atas meja makan dengan lilin warna merah, aku akan membawamu ke taman bunga keabadian di balik bukit belantara, membawamu ke ladang bintang-gemintang yang bercerita tentang semesta cinta

Dan aku akan mengucapkan cinta kepadamu, sayangku, dengan pelukan yang tak akan pernah mampu dibahasakan oleh puisi sepanjang waktu

Membumi, merebah, menumbangkan ego kita kepada Tuhan pemilik semesta

Lalu ketika kau dan aku tengah merelakan diri menyatu dengan bumi, bertukar asa kemudian menerbangkannya ke langit malam, aku akan berkata;

Tahukah kau, manisku?
Aku sungguh tak ingin menjadi tua
Aku tak ingin hidup berpuluh tahun lamanya
Tanpa engkau ada di sampingku

Labels:

permalink | 0 comments (+)

Surat Untuk Soe: Korupsi Dari Yang Terkecil ; 5 Mar 2013

Apa kabar, Soe?
Hari ini aku mendapatkan banyak cerita menarik untuk diriku sendiri, mungkin untuk orang lain, mungkin untuk negeri, dan mudah-mudahan menarik untukmu. Hari ini aku juga berkesempatan 'menyusup' ke dalam gedung pemerintahan, hanya ingin mengamati dan ingin tahu; sebobrok apa pemerintahan negeri ini. Tapi tidak kuceritakan itu semua hari ini.

Tahu kau, Soe. Pendidikan di Indonesia selalu menarik hatiku lebih deras dari hal lain. Terutama ketika melihat tawa-tawa anak kecil yang bahagia bermain voli atau kasti di lapangan sekolahnya. Mungkin di seluruh Indonesia, tawa-tawa mereka masih sama: bahagia. Tetapi di dalam kelas, di dalam sistem aparatur pendidikan, sama rusaknya dengan sekolah-sekolah ujung Indonesia yang tak terjangkau pemerintahan.

Tentang pendidikan ini, aku mendapat cerita fakta dari beberapa orang terdekatku, Soe. Orang-orang yang tidak mungkin memberikan informasi bohong, karena mereka tahu tak akan ada gunanya. Yang pertama, korupsi di Kemendikbud itu sudah seperti penyakit moral yang cepat menular. Sejak dari level yang tertinggi, hingga pegawai-pegawai kecil seperti pengawas sekolah yang minta duit untuk meluluskan akreditasi sekolah swasta.

Ibuku seorang guru, Soe. Dia punya seorang teman sesama guru yang kini sudah menjadi kepala sekolah salah satu SD di kota kelahiranku. Aku kenal orangnya. Wanita berparas cantik pada masanya, pada zamannya, dan pada usianya. Tapi belakangan kuketahui, ternyata hatinya tidak lebih baik dari wajah manusia paling buruk yang pernah ada. Dia meminjam uang di bank atas nama sekolah, dan dana pinjaman itu ia gunakan untuk membangun rumah pribadinya. Lalu SD yang ia pimpin harus memulangi uang pinjaman untuk renovasi rumahnya. Busuk. Ya, barangkali kau akan mengatakan itu. Akan aku amini di dunia yang masih hidup. Dan semua guru sekecamatan sudah tahu hal itu, Soe. Tahu kebusukan koleganya dan diam saja. Kenapa? Barangkali mereka berprinsip; jangan usik kesalahan orang lain kalau kesalahan sendiri tak mau diusik. Ya, yang lain juga sama. Meski tak seekstrim dia dalam memakan uang sekolah. Yang lebih pintar, melakukan korupsi dengan cara halus.

Cerita lain lagi di salah satu sekolah swasta yang kaya, kepala sekolah yang sama hancur kemanusiaannya. Menggunakan dana bos untuk perutnya dan pengikutnya. Pram benar, hanya angkatan tua yang korup dan mengajak korup. Kepala sekolah swasta itu korup dan mengajak korup bawahannya. Melulu memberikan bon kosong yang diminta ditandatangani guru bersangkutan untuk suatu acara. Entah berapa yang ditulis, entah berapa yang diberikan ke siswa dan entah berapa yang ia simpan untuk tabungannya di neraka. Dan jika ada bawahannya yang berani menentang dan tak sependapat, ia dan antek-anteknya siap menjadi musuh bagi kejujuran. 

Kau akan merasa jijik dengan orang-orang semacam ini yang lain lagi, Soe. Di sekolah swasta yang miskin, madrasah tepatnya, masih saja pegawai pemerintah mengeruk uang dari cita-cita para siswa. Sekolah madrasah bergenteng hancur, berdinding rapuh, dengan murid sedikit di kota pinggiran Jakarta, seorang pengawas sekolah berlagak sok wali kota dengan memberikan birokrasi yang sulit untuk akreditasi. Ya, apalagi kalau bukan meminta uang. Para koruptor seperti itu bagiku tak cukup untuk dikata maling, tapi pengemis yang memaksa, yang tak akan pergi jika tak diberi uang. Padahal sekolah itu sangat kekurangan, bahkan untuk siswa baru mereka harus bergerilya merayu ke rumah-rumah.

Dan di atas kesenangan harta rampasan negara mereka, sebagian pemberi ilmu hanya dihargai tak lebih tinggi dari pramusaji. Mereka yang biasa disebut guru honorer tak pernah mencicipi gaji di atas satu juta setiap bulannya. Selama 24 hari kerja. Berbeda-beda dari Rp700 ribu hingga Rp200 ribu. Sebulan. Di Timika, Papua, kakak dari seorang temanku yang bekerja sebagai guru honorer, hanya diupah Rp500 ribu per bulan.   Sejak ia masih perawan, menikah, hingga janda gaji itu tak pernah berubah. Tak pernah diangkat menjadi pegawai berseragam khaki. Kala ia ingin kembali mencari rezeki di Jakarta, atasannya menahan dengan alasan akan memperjuangkan. Namun janji itu tak pernah berujung kenyataan. Hingga hari ini.

Seorang wartawan senior mengatakan dinas pendidikan dan dinas kesehatan itu sudah seperti kerajaan sendiri. Mafia tersembunyi. Mengeruk uang negeri, dimakan dan dibagi-bagi. Pantas dua kementrian itu tercatat paling banyak korupsi. 

Apa kau akan terbangun dari tidur panjangmu mendengar ceritaku ini, Soe? Tetaplah tidur yang tenang. Ini sudah bukan menjadi tugasmu. Kau sudah melawan. Ini menjadi tugas generasiku.
Aku membenci politik sama sepertimu. Tapi aku juga tak bisa membiarkan ketidakadilan menari-nari dengan senang di atas penderitaan orang-orang.
Jika mereka tak kunjung diadili di pengadilan dunia, semoga Tuhan mengadili sepantas-pantasnya di alam baka.

Labels:

permalink | 1 comments (+)

Tentang Surah al Quran yang Kadang Kita 'Permainkan' ; 12 Feb 2013

Ini berawal dari penolakan hati saya terhadap apa yang saya lihat di salah satu jejaring sosial. Ya, twitter. Tentang beberapa teman yang sengaja mengungkapkan isi hatinya atau yang ia rasakan atau kondisinya saat itu, dengan meniru sebuah ayat al Quran yang ia modifikasi sendiri. Ada rasa ingin melawan saat saya melihat ini. Hati saya melawan, hati saya terusik, melakukan penolakan diam-diam. Dan ini adalah selemah-lemahnya iman ketika berhadapan dengan ketidakbenaran.

"Fabiayyi' ala irobbikuma tukadziban." "Maka nikmat Tuhan-mu mana lagi yang kamu dustakan?"

Ayat dalam surah Ar Rahman yang diulang sebanyak 31 kali. Ayat ini pula yang 'dipermainkan' oleh beberapa teman saya dengan mengubahnya mengikuti kondisi yang ia alami saat itu. Seperti, 'maka nikmat nasi goreng pinggir jalan manalagi yang kamu dustakan' atau 'maka nikmat kopi panas di pagi hari manalagi yang kamu dustakan?'. Atau ada lagi, "Allah bersama orang-orang yang udah rapi-rapi mau pergi tapi dibatalin gitu aja" atau "Tuhan bersama orang-orang yang ketinggalan kereta" dan semacamnya. Ya, saya menolaknya. Sekali lagi, itu selemah-lemahnya iman saya.

Beberapa hari setelahnya, saya menemukan jawabannya di al Quran. Tentang segala yang mengusik hati saya dan saya entah harus berbuat apa. Saya menemukannya dalam surah At Taubah ayat 64.

"Orang-orang munafik itu takut jika diturunkan suatu surah yang menerangkan apa yang tersembunyi di dalam hati mereka. Katakanlah (kepada mereka), "Teruskanlah berolok-olok (terhadap Allah dan rasulNya)." Sesungguhnya Allah akan mengungkapkan apa yang kamu takuti itu.

Katakanlah (kepada mereka), "Teruskanlah berolok-olok (terhadap Allah dan rasulNya)." Sesungguhnya Allah akan mengungkapkan apa yang kamu takuti itu.
Penggalan ayat ini menerangkan ancaman bagi orang-orang yang mengolok-olok Allah dan rasulNya. Sesungguhnya mereka yang mengubah-ubah ayat sesuai apa yang ia rasakan termasuk ke dalamnya.

Ya, saya tahu, kawan. Itu hanya bercanda. Teman saya (atau mungkin kalian) menulis seperti itu di twitternya bukan untuk ditanggapi serius. Itu hanya sebuah candaan semata. Saya sangat mengerti sekali itu bukan hal serius, dan tak pernah berpikir untuk jadi serius. Tahukah? Ada jawaban tentang candaan itu di At Taubah ayat 65.

"Dan jika kamu tanyakan kepada mereka, niscaya mereka akan menjawab, "Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja." Katakanlah, "Mengapa kepada Allah, dan ayat-ayatNya serta rasulNya kamu selalu berolok-olok?"

Saya mengambil ini sebagai pelajaran. Saya muslim, hati saya menolak ketika melihat ayat Allah 'dipermainkan', dan Allah memberikan jawabannya lewat al Quran. Dan pada surah At taubah ayat 66 dikatakan.

"Tidak perlu kamu meminta maaf, karena kamu telah kafir setelah beriman. Jika Kami memaafkan sebagian dari kamu (karena telah tobat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang (selalu) berbuat dosa."

Kawan, saya seorang muslim. Dan mengingatkan, hanya mengingatkan, menjadi kewajiban saya terhadap muslim yang lain. 
permalink | 4 comments (+)

Merangkak di Belakangmu ; 24 Jan 2013

tubuhku berlumpur dosa, hatiku gelap tertutup dari cahaya, akhlakku satu per tak terhingga darimu
shalatku tak sempurna, sunnahmu tak kujaga, puisi Allah hanya sesekali kubaca, sedekah pun aku menakarnya

aku malu, wahai laki-laki yang tak pernah melepaskan senyum dari bibirnya
aku malu kepada engkau dan Tuhan yang menciptakan semesta dari cahayamu

air mataku tak mengalir sederas dulu saat seseorang menyebut namamu
apa kau telah pergi dari hatiku?
atau aku yang telah terpikat oleh dunia kemudian melupakanmu?

di saat orang-orang bershalawat lebih banyak pada hari ini
pikiranku berputar merindukan kerinduan aku kepadamu yang dulu begitu menggebu
apa kau masih akan menyelamatkan umat sepertiku pada hari di mana air mata tak lagi berguna?


"Sungguh, telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, (dia) sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, penyantun dan penyayang terhadap orang-orang yang beriman." -At Taubah, 128.


salallahu ala Muhammad, sallahu alaihi wasalllam
aku yang merangkak mengikuti di belakangmu

Labels:

permalink | 1 comments (+)

Puisi Afrilia Utami ;

Ya Hayyu Ya Qoyyum 

aku ingin menceritakan padamu tentang satu kisah,
sangat sederharna dan pendek dalam lingkaran doa. 
hujan deras yang menggigil dengan tubuhnya

di depan nabawi, manusia bersujud begitu khusuk
memandang wajah Al-Aziz, dalam karunianya.

shubuh yang harau dipadati berkubik udara haru
seperti baru mengenal Rasull setelah hijrah panjang.
keriangan dan pertempuran saling bergantian
satu-satu jatuh, terbanting dari kuda, tumbuh pedang
yang menantang menembus batang nyali.

Laa ilaha ilallaahul ’azhiimul haliimu
laa ilaaha ilallahu rabuul ’arsyil ’azhiim,
laa ilaaha ilallaahu rabbussamaa waati
wa rabbul ardhi wa rabbal arsyil kariim


banyak dada memuntahkan getar
mengalahkan hujan dalam berandanya,
air yang tumpah karena dosa dan khilaf
akan ke manakan aku?

banyak hati mengeluarkan kata pembuka
menerima musim yang datang tiba-tiba
mendatangkan pertanyaan dan pernyataan
dengan islamku, aku merinduiMu..


Afrilia Utami, 24 Januari 2013

Labels:

permalink | 1 comments (+)

« BACK