Surat Untuk Soe: Korupsi Dari Yang Terkecil ; 5 Mar 2013

Apa kabar, Soe?
Hari ini aku mendapatkan banyak cerita menarik untuk diriku sendiri, mungkin untuk orang lain, mungkin untuk negeri, dan mudah-mudahan menarik untukmu. Hari ini aku juga berkesempatan 'menyusup' ke dalam gedung pemerintahan, hanya ingin mengamati dan ingin tahu; sebobrok apa pemerintahan negeri ini. Tapi tidak kuceritakan itu semua hari ini.

Tahu kau, Soe. Pendidikan di Indonesia selalu menarik hatiku lebih deras dari hal lain. Terutama ketika melihat tawa-tawa anak kecil yang bahagia bermain voli atau kasti di lapangan sekolahnya. Mungkin di seluruh Indonesia, tawa-tawa mereka masih sama: bahagia. Tetapi di dalam kelas, di dalam sistem aparatur pendidikan, sama rusaknya dengan sekolah-sekolah ujung Indonesia yang tak terjangkau pemerintahan.

Tentang pendidikan ini, aku mendapat cerita fakta dari beberapa orang terdekatku, Soe. Orang-orang yang tidak mungkin memberikan informasi bohong, karena mereka tahu tak akan ada gunanya. Yang pertama, korupsi di Kemendikbud itu sudah seperti penyakit moral yang cepat menular. Sejak dari level yang tertinggi, hingga pegawai-pegawai kecil seperti pengawas sekolah yang minta duit untuk meluluskan akreditasi sekolah swasta.

Ibuku seorang guru, Soe. Dia punya seorang teman sesama guru yang kini sudah menjadi kepala sekolah salah satu SD di kota kelahiranku. Aku kenal orangnya. Wanita berparas cantik pada masanya, pada zamannya, dan pada usianya. Tapi belakangan kuketahui, ternyata hatinya tidak lebih baik dari wajah manusia paling buruk yang pernah ada. Dia meminjam uang di bank atas nama sekolah, dan dana pinjaman itu ia gunakan untuk membangun rumah pribadinya. Lalu SD yang ia pimpin harus memulangi uang pinjaman untuk renovasi rumahnya. Busuk. Ya, barangkali kau akan mengatakan itu. Akan aku amini di dunia yang masih hidup. Dan semua guru sekecamatan sudah tahu hal itu, Soe. Tahu kebusukan koleganya dan diam saja. Kenapa? Barangkali mereka berprinsip; jangan usik kesalahan orang lain kalau kesalahan sendiri tak mau diusik. Ya, yang lain juga sama. Meski tak seekstrim dia dalam memakan uang sekolah. Yang lebih pintar, melakukan korupsi dengan cara halus.

Cerita lain lagi di salah satu sekolah swasta yang kaya, kepala sekolah yang sama hancur kemanusiaannya. Menggunakan dana bos untuk perutnya dan pengikutnya. Pram benar, hanya angkatan tua yang korup dan mengajak korup. Kepala sekolah swasta itu korup dan mengajak korup bawahannya. Melulu memberikan bon kosong yang diminta ditandatangani guru bersangkutan untuk suatu acara. Entah berapa yang ditulis, entah berapa yang diberikan ke siswa dan entah berapa yang ia simpan untuk tabungannya di neraka. Dan jika ada bawahannya yang berani menentang dan tak sependapat, ia dan antek-anteknya siap menjadi musuh bagi kejujuran. 

Kau akan merasa jijik dengan orang-orang semacam ini yang lain lagi, Soe. Di sekolah swasta yang miskin, madrasah tepatnya, masih saja pegawai pemerintah mengeruk uang dari cita-cita para siswa. Sekolah madrasah bergenteng hancur, berdinding rapuh, dengan murid sedikit di kota pinggiran Jakarta, seorang pengawas sekolah berlagak sok wali kota dengan memberikan birokrasi yang sulit untuk akreditasi. Ya, apalagi kalau bukan meminta uang. Para koruptor seperti itu bagiku tak cukup untuk dikata maling, tapi pengemis yang memaksa, yang tak akan pergi jika tak diberi uang. Padahal sekolah itu sangat kekurangan, bahkan untuk siswa baru mereka harus bergerilya merayu ke rumah-rumah.

Dan di atas kesenangan harta rampasan negara mereka, sebagian pemberi ilmu hanya dihargai tak lebih tinggi dari pramusaji. Mereka yang biasa disebut guru honorer tak pernah mencicipi gaji di atas satu juta setiap bulannya. Selama 24 hari kerja. Berbeda-beda dari Rp700 ribu hingga Rp200 ribu. Sebulan. Di Timika, Papua, kakak dari seorang temanku yang bekerja sebagai guru honorer, hanya diupah Rp500 ribu per bulan.   Sejak ia masih perawan, menikah, hingga janda gaji itu tak pernah berubah. Tak pernah diangkat menjadi pegawai berseragam khaki. Kala ia ingin kembali mencari rezeki di Jakarta, atasannya menahan dengan alasan akan memperjuangkan. Namun janji itu tak pernah berujung kenyataan. Hingga hari ini.

Seorang wartawan senior mengatakan dinas pendidikan dan dinas kesehatan itu sudah seperti kerajaan sendiri. Mafia tersembunyi. Mengeruk uang negeri, dimakan dan dibagi-bagi. Pantas dua kementrian itu tercatat paling banyak korupsi. 

Apa kau akan terbangun dari tidur panjangmu mendengar ceritaku ini, Soe? Tetaplah tidur yang tenang. Ini sudah bukan menjadi tugasmu. Kau sudah melawan. Ini menjadi tugas generasiku.
Aku membenci politik sama sepertimu. Tapi aku juga tak bisa membiarkan ketidakadilan menari-nari dengan senang di atas penderitaan orang-orang.
Jika mereka tak kunjung diadili di pengadilan dunia, semoga Tuhan mengadili sepantas-pantasnya di alam baka.

Labels:

permalink | 1 comments (+)

« BACK FORWARD »