Mencumbu Mahameru (bag. 3) ; 6 Nov 2012
Beku. Hampir beku.
Selepas maghrib di Kalimati dingin mulai merambati pori-pori. Setelah tenda selesai didirikan, aku langsung masuk dan tak pernah keluar lagi. Baju penuh keringat kuganti dengan lengan panjang plus jaket tipis, celana pendek kudobel dengan jeans panjang, kaki sudah terbungkus, telapak dan punggung tangan tertutup sarung, dan leher terlilit oleh syal. Begitu juga yang lain, hampir semua mengganti pakaian dan menambalnya dengan yang lebih tebal. Sama halnya denganku, teman-teman memilih mengeram di dalam tenda sepanjang malam.
Briefing pendakian ke tanah tertinggi pulau Jawa kini dimulai. Mamet sudah pasti naik. Ia yang paling rindu ingin mencumbu Mahameru. Rival dengan lantang menyuarakan keinginannya. Kemudian disusul oleh Deny yang juga penasaran dengan puncak. Di dalam dadaku sebenarnya sudah berdebar ingin memuncaki Mahameru. Tapi pikiran-pikiran lain menghalangiku. Aku teringat pesan seorang teman di Surabaya yang menginfokan ada badai di puncak Mahameru beberapa hari belakangan. Lebih lagi persiapan kami yang sangat kurang membuatku berpikir berkali-kali. Senter hanya sebuah dipegang Mamet, itu pun dengan bohlam 5 watt. Dua buah penerangan lagi dari power bank milik Faquh dan Deny dengan lampu putih nan kecil, namun cukup terang. Selain itu tak ada. Terpaksa aku memilih menunggu tenda bersama Faquh dan Aan. Sebenarnya alasan terkuatku adalah pesan dari ibuku yang kudapat tadi siang. Aku tak mau perjalanan menuju Kawah Ijen terulang lagi.
Sebelum tidur, kami menghangatkan tubuh dan mengisi perut terlebih dulu. Beberapa gelas kopi susu hangat yang sangat nikmat, sekotak nasi, dan beberapa bungkus mie rebus. Kami tak bawa gelas, sendok, atau apapun. Botol minum dipotong untuk dijadikan gelas kopi, sebagian sisanya dibentuk menjadi sendok dan garpu. Sebuah sendok lagi hasil meminjam dari tenda pendaki sebelah. Berenam kami duduk membentuk lingkaran, menggilir nesting berisi mie rebus hampir hambar ternikmat yang pernah kumakan. Pukul 8 malam, kami berenam tidur berhimpit-himpitan saling menghangatkan. Hangat. Itulah keuntungan tenda 4 diisi 6 orang.
Hari tiba-tiba pagi. Kukeluarkan kepalaku dari dalam sleeping bag dan tenda, ternyata matahari sudah tinggi. Perkemahan sudah sepi. Rencanaku memotret bintang tengah malam dan memotret sunrise hilang sudah. Aku sedikit sadar ketika Faquh dan Aan memgbangunkanku ketika Mamet, Rival dan Deny hendak mendaki puncak. Aku mendengar kasak-kusuk mereka. Namun mata lebih senang terpejam ketimbang melihat bintang. Meski begitu, pagi di Kalimati tak kami sia-siakan untuk bermain-main setelah sarapan pagi.
Sekitar pukul 9.30, satu persatu pendaki sudah ada yang kembali. Yang pertama kembali adalah Deny. Ia berjalan lemah dan pelan dengan wajah penuh debu. Pakaiannya kotor seperti habis guling-guling di atas pasir. "Gak sampe puncak gua, cuma sampe tengah doang. Kaki gua keram." Sungguh sayang. Padahal sudah setengah perjalanan, tapi Deny tak sampai puncak Swarga Loka para Dewa. Mamet dan Rival meninggalkannya, kata Deny. Mamet pasti berhasil sampai puncak. Kami menunggunya.
Tak seberapa lama, Mamet datang sambil berteriak kegirangan dengan wajah seperti habis turun dari surga. Ia mengacungkan jempolnya kepada kami dan memberikan ekspresi seyakin ia percaya kepada Tuhan. "Weh, di tengah jalan kaki gua keram, sakit banget. Tapi gua paksa aja naek. Nanjaknya curam banget, pasir sama batu-batu. Selangkah naek, dua langkah merosot. Batu-batunya pada jatohan lagi. Gua ga berani liat ke bawah. Sempet gua ngerasa gua gak bakal balik lagi." Di leher Mahameru, Mamet merasakan kematian berada sangat dekat dengannya.
Juga tak lama berselang, Rival kembali dengan tubuh berselimut pasir. Sekonyong-konyong ia datang mengejek Deny yang tak berhasil muncak. Mereka membawa oleh-oleh yang istimewa untuk kami.
 |
Kawah Jongring Saloka |
 |
Sunrise yang terlambat. |
 |
Puncak para dewa. |
 |
Rest in peace, conquerors! |
 |
Dua pejuang Minang yang berhasil
menaklukkan dirinya sendiri. |
 |
Rival berhasil sampai puncak pukul 8.00 |
 |
Perantau tangguh. |
 |
Mencumbu Mahameru. |
 |
Merah Putih tertinggi di Pulau Jawa. |
 |
Pasir dan batu, kemiringan hampir 70 derajat. |
 |
Mereka mendakinya dengan merangkak
dan menuruninya dengan berlari. |
 |
Kalimati pada latar belakang. |
Pada saat berada di Ranu Kumbolo, kami sempat mendapati perbincangan dengan beberapa pendaki dan seorang porter. Mamet mendapatkan pertanyaan dari porter tersebut, "Apa sih yang kamu cari di sini?"
Saat itu Mamet hanya diam dan tersenyum tanpa mengatakan apa-apa. Aku tahu, ia diam bukan karena tak mengetahui jawabannya. Tapi tak menemukan kata-kemata yang sanggup untuk mengatakan alasan mengapa ia berada di sana, dan mengapa ia mendaki sampai di puncak. Memang tak ada jawaban untuk seseorang yang bertanya pertanyaan seperti itu. Tak ada. Jawabannya bukan oleh kata-kata. Salah satu jawaban yang paling pasti adalah; 'Pergilah. Datangi sendiri apa yang kau rasa saat mencapai puncak.'
Pukul 10 pagi, Mamet, Rival dan Deny disuguhkan sarapan mie instan. Jangan protes, hanya ada itu. Sekitar pukul 11 kami selesai beres-beres, berfoto, lalu mengucapkan sampai jumpa lagi seraya melambaikan tangan pada si gagah Mahameru.
Perjalanan menuruni gunung terasa lebih cepat. Ya, pasti. Tanpa diberitahu pun nenekku yang tinggal di Jogja pasti sudah tahu. Dari Kalimati kami bertolak pukul setengah dua belas, sampai di Ranu Kumbolo hampir setengah dua siang. Tak ada rintangan yang terlalu berarti di perjalanan pulang, kecuali matahari yang membakar kulit kami sangat hitam.
Tak berapa lama setelah sampai di Ranu Kumbolo, selepas istirahat beberapa menit, ada penjaga pos yang menawari kami sepiring besar sisa sarden, semangkuk sayur sop, dan dua gelas puding. Semua kami lahap tanpa ampun! Sisa sarden tak sampai semenit sudah habis dilahap tanpa nasi, puding dimakan tanpa sendok; menggunakan tangan. Semangkuk sayur sop dipanaskan untuk dimakan dengan nasi setelah tenda jadi. Siang itu, kami istirahat di tepi Ranu Kumbolo, berjemur di bawah matahari. Sunbathing, man.
Mulai sore, para pendaki semakin banyak berdatangan untuk menggelar tenda. Suasana mulai ramai dengan riuh tawa, canda, dan bahagia. Hubungan yang tak terikat sesama pendaki memang terkenal erat. Meski tak mengenal satu sama lain. Sore itu kami bersantai dan bermain-main di tepian Kumbolo. Menyesap dalam-dalam udara segar, menghirup kopi panas, merasakan sejuknya air Ranu Kumbolo, menikmati dinginnya angin lembah, dan menanti senja.
Selepas senja, kelima tubuh itu sudah kembali seperti kepompong. Makan malam yang diniatkan dimasak pukul delapan tak dihiraukan karena sore tadi perut sudah diisi dengan beberapa potong roti dan susu. Semua terlelap pukul tujuh.
Jam 3 pagi alarmku berbunyi. Sedikit lagi, biarkan aku tidur sedikit lagi. Hingga akhirnya pukul 4.00 alarmku berbunyi lagi, aku segera bangun. Pertama membuka retsleting tenda, hawa dingin Ranu Kumbolo menerpa wajahku. Kupersiapkan kamera dan tripot, tidak lupa menutupi tubuh siapa saja dengan sleeping bag nganggur milikku, lalu menutup kembali retsleting tenda. Di luar, Ranu Kumbolo dan para bintang menyambutku lapang. Bintang berhamburan di langit. Beberapa aku mengenal mereka, sebagian banyak tidak. Pleiades, Jupiter, Rigel, Sirius, dan pada saat aku melihat pada Orion, sebuah bintang terjatuh dari tempatnya. Indah bukan main.
 |
Jupiter menjadi pangeran tercerlang malam itu. |
 |
Subuh menjelang fajar. |
 |
Fajar. |
 |
Pagi. |
Pukul 8 pagi kami turun menuruni Semeru, sampai Ranu Pane pukul 11.00. Dengan berbagai hambatan di perjalanan kami selamat kembali lagi di Pare jam 9 malam. Semua istirahat, kecuali Aan dan Mamet. Mereka gila. Malah ikut bermain futsal dengan teman-teman satu asrama male 3. Gila!
Pelajaran, tak selamanya harus dijelaskan, sesekali kita yang harus memahaminya sendiri. Bumi, langit dan apapun yang ada di antara keduanya, mereka memberikan segalanya bagi orang yang mau dan pandai menerima.
Engkau begitu menakjubkan Mahameru
Engkau dipancangkan hanya untuk orang-orang yang berani menaklukkan dirinya sendiri
Engkau diindahkan agar orang-orang mengenal siapa mereka
Engkaulah yang tertinggi di tanah Jawa,
Agar orang-orang mengerti seberapa kecil dirinya, betapa angkuhnya mereka
Dari aku, yang senang berlama-lama berada dalam pelukanmu, angin yang dingin
Ranu Kumbolo,
23 September 2012
Labels: Catatan Perjalanan, Hanya Berbagi, Satu Bulan di Timur Jawa