Anak Kota yang Tersesat di Desa (bag 1) ; 16 Oct 2012


Kamis malam 6 September 2012, aku mendapat pesan singkat dari ibu yang menanyakan kabar dan keberadaanku. Biar usiaku sudah menginjak dua puluh lebih beberapa, ia tetap mengkhawatirkan aku seperti anak laki-laki kecil. Dalam pesan singkat itu ibuku bertanya: Adit, kamu tidur di mana? Kujawab singkat juga: Di mushala, ma. Kemudian ia kembali bertanya: Sama siapa? Dan kekhawatirannya meledak ketika aku menjawab: Dari Jakarta Adit sendirian, ma.

Kau pasti punya ibu yang melahirkanmu, kawan. Dan kau pasti tahu betapa bawelnya ibumu ketika mengkhawatirkanmu. Saat itu, ibu menghujaniku dengan berbagai wejangan, saran, perintah agar aku cepat-cepat menuju Pare, lalu menunggu hingga tanggal 10. Tidak mungkin. Kujawab langsung di dalam hati. Karena tekadku sudah bulat, Kawah Ijen adalah tujuanku berikutnya. Sampai keesokan harinya, pesan singkat ibuku tak pernah kubalas.


Aku sempat beradu kata soal harga dengan bapak ojek yang mengeluarkan aku dari kawasan Pantai Papuma. Dengan sedikit memaksa, ia ingin mengantarkanku kembali ke terminal Tawang Alun dengan bayaran yang cukup tinggi. Aku bersikeras. Hingga akhirnya terjadi kesepakatan harga yang menurutku cukup masuk akal. Tapi nyatanya, ia menurunkanku di suatu pertigaan daerah Ajung (setengah perjalanan sebelum terminal Tawang Alun) untuk menunggu bus jurusan Banyuwangi. Untungnya, bus yang bernama Gunung Harta itu siap sedia untuk kutumpangi.

Oper bis di tengah perjalanan Jember-Banyuwangi.

Perjalanan Jember – Banyuwangi kurang lebih menelan waktu 3 jam. Aku diturunkan di pinggir terminal Banyuwangi dan saat itu juga banyak pria yang mengerubungiku dengan menyebut nama kota di Jawa Timur kecuali Banyuwangi. Aku cukup waspada dan tak mudah percaya. Menggelengkan kepala dan kata ‘tidak’ selalu menjadi jawaban ampuh. Sungguh aku tak mengerti harus menumpang angkutan apa dan yang mana. Jadi kualihkan kebingunganku untuk melaksanakan solat dzuhur-ashar terlebih dulu. Kuraih lagi kertas a4 printout kumpulan informasi yang kucari di internet. Kupelajari bagaimana caranya untuk mencapai Ijen. Karena hanya lembaran kertas itulah satu-satunya penuntunku sedari kemarin.

Aku bertanya kepada marbot tua yang sedang mengepel lantai musola. Namun hasilnya nihil, ia hanya bisa berbahasa Jawa. Seraya berjalan kembali ke terminal, aku bertanya pada seorang pria penjaga stand credit motor. Namun jawabannya makin membuatku bingung harus bagaimana. Menurut informasi yang kudapat di internet, ia (si pemilik blog) menumpang colt jurusan Licin dengan ongkos Rp 5.000. Dituliskan, colt itu berangkat pagi-pagi sebelum ada matahari, dan harus berbagi dengan para penjual sayuran yang mencarter colt ke Pasar Licin. Sedangkan angkutan seperti itu tak kulihat ada di terminal walau sebuahpun. Tak disangka, aku malah menemukan angkutan itu di pinggir jalan.

“Licin, Pak?”

“Ayo, naik!”

Supir colt itu berusaha ramah dengan membuka pembicaraan denganku. Membicarakan objek-objek  wisata di Banyuwangi dan pengalamannya mengantar sekelompok wisatawan lokal dan luar negeri. Aku dibawa keliling Banyuwangi mengikuti tujuan penumpang lain. Hingga yang terakhir turun persis di depan pelabuhan Ketapang, tempat orang-orang ingin menyeberangi selat Bali. Keanehan mulai kurasakan ketika penumpang hanya tinggal aku seorang menuju Licin. Si supir tak mengangkut penumpang lain lagi, entah kenapa. Dan di ¼ perjalanan tersisa, aku baru mengetahui kalau angkutan ini bersistem carter, bukan trayek. Si supir menembak harga Rp 200.000, gila! Kemudian turun Rp. 100.000, lalu Rp. 75.000. Aku tetap tidak mau. Aku meminta diturunkan di tengah perjalanan namun si supir memaksa ingin mengantar sampai Licin seraya menakut-nakuti dengan mengatakan tak ada lagi angkutan menuju Licin. Pada akhirnya, aku diturunkan di tengah perjalanan dengan membayar ongkos Rp. 30.000, harga yang sepatutnya aku bayar untuk ojek Banyuwangi – Licin.

Ini kesialan pertama. Baru pertama. Dikadali supir colt dan diturunkan di tengah jalan. Di kaki gunung Ijen, perkampungan yang sepi kendaraan dan tak ada satupun angkutan umum. Bagaimana cara aku mencapai Pasar Licin yang jauhnya masih berkilo-kilometer lagi? Ya, jempolku satu-satunya harapan: menumpang truk! Aku beridiri di pinggir jalan untuk beberapa menit, namun kendaraan jarang sekali yang melintas. Berjalan perlahan-lahan sembari sesekali menengok ke belakang menjadi pilihan. Satu per satu mobil pick up berbagai barang bawaan melintas, sayangnya tak ada yang tertarik dengan jempolku. Bagaimana tidak, seorang pemuda nampak kelelahan dengan tas besar di punggung, tas kecil menyelempang dada, serta tongkat tak begitu panjang terbungkus sarung hitam, dengan wajah hampir putus harapan, mengenaskan, supir mana yang tertarik? Sialnya malah aku menjadi bahan tontonan orang. Dua orang bocah smp yang berboncengan menunggangi sepeda motor memperhatikanku dengan wajah heran.

“Dek, Licin masih jauh ya?”

“Licin? Woa, masi jauh lah, mas. Mau jalan kaki ke sana?”

“Enggak.” Jawabku singkat sambil berlalu meningalkan mereka. Menapaki lagi jalan menanjak di kaki Gunung Ijen. Hingga akhirnya, ada sebuah truk yang berhenti melihat seorang pemuda mengenaskan mengacung-acungkan ibu jari di pinggir jalan. Alhamdulillah!

Supir truk nan baik hati itu bernama Pak Aji. Tujuan akhirnya tidak sampai Licin, hanya desa yang tak jauh dari tempat aku menumpang truknya tadi. Aku lupa namanya. Pak Aji membawaku ke perkampungan yang ternyata kampung halaman istrinya. Ia memiliki teman yang bisa mengantarkanku sampai Licin di sana. Itu seperti perkampungan di kaki gunung pada umumnya. Udara dingin, banyak jalan menanjak, tak jarang ditumbuhi pepohonan, tumpukan batu, tumpukan kayu, dan ibu-ibu juga anak kecil yang bercengkrama di sore hari. Kami sampai di rumah sederhana yang dipenuhi oleh beberapa ibu rumah tangga di terasnya. Pak Aji memperkenalkan aku pada ibu-ibu tersebut, dan tanpa dikomando mereka terkesiap bersamaan ketika mengetahui aku dari Jakarta. Pak Endi, itulah nama seseorang yang sedang kutandangi rumahnya. Aku dijamu dengan segelas kopi susu panas dan cemilan sisa lebaran. Lewat jamuan hangat itu Pak Aji menceritakan asal-usul dan keinginanku. Seperti kebanyakan orang, Pak Endi juga terperangah ketika mengetahui asal-usulku yang bertualang sendirian ini. Aku meminta ia untuk mengantarku sampai Paltuding, pos terakhir sebelum puncak Gunung Ijen, namun ia menolak dengan alasan tidak mau mengambil resiko. Trek menuju Paltuding dari Licin sangat sukar, katanya. Setengah jam berlalu, Pak Aji pamit lebih dulu untuk melanjutkan pekerjaannya. Rupanya ia mengangkut potongan-potongan kayu dari desa itu untuk dibawa entah kemana. Tak lama berselang, Pak Endi mengantarkanku dengan sepeda motornya hendak menuju Pasar Licin. Sebelum kami benar-benar pergi, ibu-ibu yang berbincang ria di teras menasehatiku dengan banyak kata ‘hati-hati’. Entahlah, aku merasa sudah dewasa namun banyak orang memperlakukanku seperti seorang remaja. Apa karena wajahku yang awet muda?

Benar kata bocah bersepeda motor tadi, Pasar Licin masih jauh dari tempat aku menggembel tadi. Pak Endi tak hanya mengantar, ia mencarikan tumpangan untuk aku melanjutkan perjalanan di beberapa rumah juga mencari informasi tentang Kawah Ijen. Kabarnya, jalan satu-satunya menuju Ijen dari Licin akan segera ditutup untuk perbaikan esok hari. Hari semakin sepi, gelap dan dingin. Di pos tempat Pak Endi bertanya informasi tersebut, aku melihat penunjuk jalan bertuliskan: Kawah Ijen 17 km. Pak Endi memutuskan untuk membawaku kembali turun meningalkan sunyi di sekitar pos. Mencarikan ojek yang ia sendiri pun tidak tahu ada atau tidak.

Kami berhenti di sekumpulan pria paruh baya yang sedang bercengkrama di atas motor-motornya. Benar saja mereka ojek. Salah satu diantaranya menawarkan diri untuk mengantarku sampai Paltuding dengan sedikit memaksa, watak yang sudah biasa kutemui dari orang-orang yang ingin mengeruk keuntungan dari seseorang tak tahu apa-apa. Ongkos ia patok Rp 60.000, lebih mahal Rp. 10.000 dari informasi yang kudapat. Di situlah aku berpisah dengan Pak Endi. Ia kubayar dengan ongkos yang kurang patut namun ia menerima dengan ikhlas. Mau bagaimana lagi, uangku tidak cukup. Dan sebelum ia benar-benar pergi, ia meminta nomor ponselku. Dia bilang, jika ada temannya yang ingin turun dari atas barangkali aku bisa menumpang. Aku berterima kasih sebanyak-banyaknya pada Pak Endi sebelum ia benar-benar pulang.

Oleh tukang ojek yang memaksa tadi, aku dibawa ke rumahnya lebih dulu sebelum berangkat ke Paltuding. Mau mengambil sepatu dan sarung tangan, katanya. Suhu di Licin memang sudah rendah dan akan lebih rendah lagi selama menanjak ke Paltuding. Aku disuruh menunggu di ruang tamu rumahnya ditemani anak bapak ojek tersebut. Ia sangat ramah, juga katanya ia seorang guide turis asing. Sementara aku mengobrol, bapak ojek tersebut bersantai sambil menikmati kopi hitamnya lebih dulu. Sungguh membuang-buang waktu, kata hatiku. Ponselku berdering.

Jangan mudah percaya sama
orang dit..kalau ada apaapa hubungin
aku dan hatihati di jalan

Pak Endi. Lagi-lagi aku menemukan orang yang begitu baik hati di perjalanan ini. Setelah membaca pesan itu, aku jadi lebih waspada pada bapak ojek yang malah mengulur-ulur waktu ini. Terlebih aku berada di rumahnya tanpa orang lain. Ditambah lagi anak lelakinya memaksa aku mencicipi makanan kecilnya, juga menyediakan air putih yang akhirnya tak kusentuh. Banyak hal macam-macam melintasi pikiranku saat itu.

Perjalanan itu, Licin – Paltuding, bagiku perjalanan tersulit menggunakan sepeda motor yang pernah kulalui. Seingatku jalur terekstrim menggunakan sepeda motor yang pernah kulalui adalah sewaktu ke Bromo saat menuruni Pananjakan. Jalan menurun lebih dari 45°, kiri jurang, kanan tebing, jalan hancur 50%, berpasir dan berbatu. Tapi jalan menuju Paltuding ini lebih mengerikan dari itu. Pernah melihat sungai yang mengering? Yang terlihat hanya batu-batu kali besar tertanam di dasar sungai? Jalan menuju Paltuding seperti itu. Jalan hanya berupa batu-batu kali besar yang tertanam secara tak beraturan, jalan menanjak 70°, berliku-liku, basah karena embun, dan sangat licin oleh oli truk belerang yang setiap hari melintas. Berkali-kali aku harus turun agar sepeda motor kuat melewati tanjakan. Napasku tersengal-sengal karena tanjakan yang begitu curam dan panjang. Tanjakan Erek-Erek, itulah nama tanjakan yang mengerikan ini. Hari yang mendekati senja semakin gelap karena aku terkurung dalam rerimbunan pohon-pohon tinggi dan besar. Udara semakin menusuk kulit karena aku semakin meninggi di atas permukaan laut. Sepi bukan main membuat keadaan makin mencekam. Sepanjang 17 km perjalanan, barangkali hanya ada 6 kendaraan yang kami temui. Beberapa menit sebelum maghrib perjalanan itu berakhir di Paltuding. Ojek yang mengantarku memaksa untuk menjemputku kembali esok hari. Dengan tegas aku menolak. Biar kucari sendiri jalan lain yang lebih aman dari niat buruknya. Dan beberapa detik setelah sampai di Paltuding, aku berkenalan dengan teman baru, rombongan dari Bali.

Dede, Bang Imron, Sugi, Ita, Dwi, Bli Komang.

Mereka sangat baik karena memperbolehkan aku bergabung bersama rombongannya, dan yang paling penting: aku diperbolehkan ikut menginap di pondok yang mereka sewa.


Senja usai, matahari menghilang digantikan dengan bintang-bintang yang mulai bermunculan. Oranye yang bersahabat dengan mata berkumpul di pelupuk langit barat. Samar-samar, gunung Raung berdiri di tengah-tengah warna senja.



Udara Ijen yang semakin dingin dibuat hangat oleh perbincangan teman-teman baruku ini. Kami bercengkrama sambil bersantap malam di dapur Warung Bu Im, warung paling tersohor di Paltuding. Pukul 19.00 listrik dari generator dipadamkan, dan langit Ijen malam itu berhasil membuatku lupa pada apa yang kualami sehari ini. Jutaan bintang memenuhi angkasa, tak ada segumpal awan pun di sana. Aku yang sedikit mengenal rasi bintang-gemintang sampai tak lagi mengenali bentuk mereka. Terlampau banyak. Bahkan satelit dan galaksi Bima Sakti terlihat dari atas sini. Di Paltuding ini aku merasa ilmu pengetahuanku tentang bintang-gemintang jadi berguna. Saat hendak melaksanakan solat Isya-Maghrib aku tidak mengetahui mana arah barat. Semua sudah tertidur dan gelap di mana-mana. Tapi di langit, aku menemukan Rasi Crux, Salib Selatan. Konstelasi itu menunjukkan arah selatan, kini aku tahu di mana arah barat.


Satelit yang melintas.


Galaksi Bima Sakti.

Semua tidur lebih cepat malam ini. Jam 21.00 semua sudah berada di atas pembaringan. Karena bangun pukul 2.30 adalah alasannya. Aku tidak tidur di dalam kamar bersama yang lain. Ruang tamu yang lumayan luas sudah lebih dari cukup untuk aku yang menumpang. Ditambah sleeping bag warisan dari Bun-Bun, tubuhku tak akan merasa kedinginan. Sebelum tidur aku mengingat-ingat semua kejadian sejak aku dari Jakarta hingga sampai pos Paltuding ini. Saat itu aku hanya bisa menghela napas, tersenyum, dan terpejam.

Pemandangan tempatku berbaring: cahaya gemintang dan lilin.


Keindahan, hanya akan mewujud untuk mereka yang mau bersusah payah menapaki  rintangan demi rintangan dalam perjalanannya mencapai ketinggian.
Begitu juga halnya dengan Mimpi.

Labels: , ,

permalink | 0 comments (+)

« BACK FORWARD »