Kiluan, Teluk nan Berkilauan di Sumatera Selatan ; 23 Jul 2012
Seperti apa rasanya berada tak lebih dari sehasta dengan hewan liar? Jika ia hewan buas, tentu ngeri tak akan terperi. Namun lain perkara bila hewan yang berada sangat dekat dengan kita begitu bersahabat dengan manusia. Lumba-lumba, misalnya.
Hewan mamalia itu tinggal di Samudera Hindia, tak jauh dari sebuah teluk bernama Kiluan, desa Kalumbayan kabupaten Tanggamus, Bandar Lampung, Sumatera Selatan. Barangkali tak banyak orang yang pernah mendengar, apalagi mengenal teluk Kiluan sebagai obyek wisata yang memiliki pesona luar biasa. Bahkan, penduduk kota Bandar Lampung sendiri pun tak sedikit yang tak tahu di mana gerangan Teluk Kiluan berada. Nyatanya, terpendam ‘harta karun’ di sana, di pedalaman selatan Sumatera.
Memang, Teluk Kiluan berada sangat terpendam dari kota Bandar Lampung. Dibutuhkan waktu kurang lebih 4 jam berkendara dari kota agar bisa sampai teluk terpencil tersebut. Tak hanya jauh, jalan yang harus ditempuh juga berliku. Dalam arti kiasan atau harfiah. Dari sekitar 60 kilometer jarak tempuh, sekiranya setengah perjalanan dilalui dengan jalan pedesaan yang tak mulus, dan seperempatnya jalan aspal benar-benar hancur menjadi bebatuan. Dibutuhkan ekstra kesabaran untuk melalui trek menuju harta karun terpendam itu. Walau sesekali alam menyajikan pemandangan-pemandangan indah sebagai pereda lelah di perjalanan. Dari pemandangan alam, sampai budaya masyarakat sekitar. Pesisir pantai Klara yang berpasir putih terbentang di sebagian perjalanan sebelum sampai tujuan. Bebatuan karang menghampar di bibir pantai dilanjutkan dengan gradasi hijau biru warna air laut yang sempurna. Di penghujung mata, terhambur deretan pohon yang menggunung. Perjalanan naik turun bukit juga menjadi obat penghilang kantuk paling mujarab ketika mata melihat pemandangan laut dan gugusan pulau dari dataran tinggi. Semakin dekat tempat tujuan, pemandangan berubah menjadi perkampungan dengan rumah-rumah adat Sumatera beserta kehidupan para penghuninya. Bau asam biji coklat yang dijemur di tepi jalan menyengat hidung. Buah coklat memang menjadi hasil bumi yang dijadikan mata pencaharian kebanyakan warga setempat. Uniknya lagi, ada sebuah tempat bernama Kampung Bali tepat di dalam kawasan wisata Teluk Kiluan. Tepat, kampung itu dihuni oleh masyarakat Bali yang bermigrasi ke Bandar Lampung. Pura dan teras-teras rumah yang ditaburi sesaji akan membuat kita bertanya: benarkah kita sedang berada di Bandar Lampung?
Walau mobil telah terparkir bukan berarti perjalanan berhenti melaju. Sekali transportasi laut dibutuhkan untuk menyebrang ke pulau kecil yang dulu bernama Pulau Kelapa, kini Pulau Kiluan disebutnya. Jukung, perahu sampan kecil yang mampu memuat tak lebih dari 7 orang siap mengantar menyebrang pulau. Tersedia pantai berpasir putih, laut biru kehijau-hijauan, kelapa muda nan segar dan penginapan untuk menghapus lelah perjalanan. Atau, senja memerah kekuningan Teluk Kiluan barangkali dapat melupakan sejenak bahwa di hidup ini ada hal yang bernama masalah.
Ditambah lagi dengan perlakuan dan sikap ramah dari penduduk setempat yang siap membantu saat dibutuhkan, membuat kita betah. Dari menyiapkan berbagai macam keperluan yang dibutuhkan, sampai menyiapkan barbeque laut di bawah terang bulan. Apa yang didapatkan sehari semalam itu hanyalah pemandangan selamat datang, pertunjukkan sesungguhnya baru dimulai esok pagi. Saat matahari belum merangkak naik sama sekali.
Pukul enam pagi, tepat atau lebih, perjalanan ke tujuan sebenarnya dimulai: habitat asli lumba-lumba. Perjalanan kembali menggunakan Jukung untuk sampai ke samudera lepas. Tak ada kapal besar sedang tertambat atau berlayar di teluk ini. Yang ada hanya sampan kecil sebagai transportasi air. Sekitar 30 menit perjalanan waktu yang dibutuhkan untuk memecah gelombang dari bibir pantai pulau Kiluan menuju tengah samudera. Lagi-lagi, alam menyuguhkan pemandangan pembuka sebelum kita benar-benar bertemu primadona Teluk Kiluan. Bebatuan karang nan besar sedang bermesraan dibelai-belai ombak yang juga besar. Pecahan ombak yang menumbuk karang hancur lebur menjadi buih putih bak sabun cuci. Di langit timur, berpendar cahaya biru keunguan pertanda matahari mulai bangun dari tidurnya. Setelah lama memandang hamparan air laut bergelombang tinggi, penantian panjang itu berakhir oleh kehadiran sekeluarga, atau bahkan lebih, lumba-lumba hidung botol yang menghampiri. Bukan kita yang mendekati, tapi mereka yang menghampiri. Barangkali mereka melakukan sopan santun sebagai tuan yang rumahnya dikunjungi para tamu. Mereka mendekat, dekat sekali, tak lebih dari satu meter berenang-renang di bawah jukung. Bermain-main seakan senang kedatangan teman baru. Kemudian berenang beriringan mengawal jukung yang melaju pelan.

Entah berapa total jumlah mereka semua, yang jelas mereka puluhan. Terbagi dalam beberapa kawanan dan berpencar merata menemani wisatawan yang menikmati dari atas puluhan jukung. Ada beberapa di antara mereka yang ingin pamer keahlian. Melompat dari dalam air, melintir di udara setinggi ia bisa, kemudian kembali menceburkan diri dengan bangga. Persis seperti pertunjukkan akrobat lumba-lumba di sebuah gelanggang samudera di Jakarta. Salah seorang pemilik Jukung, Syarif, tak sungkan menceritakan tentang kebiasaan lumba-lumba yang sangat bersahabat itu. “Kalau kita meniup peluit, berteriak atau menepuk-nepuk badan perahu, mereka akan tambah senang dan semakin melompat tinggi.” Ucapnya diakhiri senyum. “Kalau kita sengaja nyebur di laut, mereka akan nolongin.” Tambahnya tanpa diminta. Lumba-lumba itu juga hendak menunjukkan kedamaian dan keharmonisannya dengan melompat ke udara bersama-sama, seirama, berenang-renang santai di antara para manusia tanpa rasa takut.
Perburuan lumba-lumba itu berlangsung selama dua jam. Samudera Hindia yang bebas, langit biru keunguan dan kekuning-kuningan, serta siluet gunung anak Krakatau, menjadi ucapan sampai jumpa lagi bagi para wisatawan yang beranjak pergi mengantongi kekaguman luar biasa pada Teluk Kiluan ini.
Labels: Feature