Sempu: Barangkali Sebuah Pulau yang Jatuh dari Surga ; 22 Jul 2012


Udara pagi di Malang tak akan pernah dirasakan warga ibu kota di Jakarta. Dinginnya sangat bersahabat dengan kulit, dan oksigennya sangat nyaman untuk dihirup. Ah, sudah sejak dari udara Malang itu indah.

Sesejuk itu pukul tujuh tiga puluh pagi, dan sesejuk itu saya memulai perjalanan mengarah selatan kabupaten Malang. Terus, terus ke selatan sampai tak ada lagi ditemukan daratan. Pantai Sendang Biru namanya, pantai berpasir putih yang ditempuh selama dua jam perjalanan dari Malang Kota. Perahu-perahu tertambat di sepanjang pantai ini. Warga desa Tambakrejo Kecamatan Sumbermanjing Wetan, terlihat berseliweran mengerjakan aktivitasnya sebagai warga pesisir. Anak-anak kecil berlarian mengejar bola di pesisir pantai, para ibu berteduh di bawah bayang-bayang pohon ketapang sambil bertukar cerita dan sesekali bertukar tawa. Tak jauh dari situ beberapa laki-laki berkulit hitam sengatan matahari tengah merampungkan perahu setengah jadi. Namun kebanyakan pria –tua atau muda- berdiri di depan perahunya yang tertambat dan menawarkan jasa menyebrang selat menuju Pulau Sempu dengan perahunya. Benar, Pulau Sempu, itulah tujuan saya bersama lima teman lain: Ega, Hafidz, Ayu, Mas Nugie, dan Mas Dika.

Dibutuhkan biaya 100 ribu rupiah untuk dapat pelayanan antar jemput dari Sendang Biru ke Pulau Sempu, dan sebaliknya. Perahu lumayan besar yang berkapasitas 10 sampai 15 penumpang itu hanya membutuhkan perjalanan 10 menit untuk mencapai tepian utara Pulau Sempu yang dikelilingi pepohonan bakau. Perjalanan menuju sebuah laguna di dalam pulau ini dimulai dari Teluk Semut.  Tempat para perahu melepas penumpangnya dan membiarkan mereka memulai perjalanannya yang mengejutkan. Seperti tukik yang baru menetas dari telur, melangkahi pasir menuju pantai, dan tak pernah tahu apa yang akan dihadapinya di dalam samudera. Karena, Pulau Sempu ini adalah kawasan cagar alam. Segala hal tentang keliaran alam, hidup di sini, tumbuhan ataupun hewan.

Medan yang saya lalui kala itu ternyata termasuk mudah. Meskipun pepohonan tumbang mengahalangi jalan, akar-akar yang menyeruak dari dalam tanah malang melintang, namun kontur pijakan tak begitu menyulitkan.

“Wah, ini sih garing.” seru Mas Dika ketika menapaki kakinya di lumpur yang keras dan mengering.

Biasanya medan yang dilalui selama perjalanan di dalam hutan Pulau Sempu ini becek dan berlumpur. Banyak orang-orang yang kesulitan dan terjebak dalam lumpur yang dalam. Benar saja, selama perjalanan saya banyak menemukan sandal gunung yang putus ditinggalkan tuannya. Ada juga sepatu tak sepasang yang sudah tak berbentuk seperti sepatu. Lumpur yang keras dan mengering ini dikarenakan beberapa hari ke belakang Malang tak disiram hujan.

“Wuh, kalau lagi berlumpur dalamnya bisa sebetis.” Kata Mas Dika ketika saya bertanya seperti apa medan yang ia biasa lalui bila hujan melanda.

Tak seluruhnya lumpur mengering. Ada juga lumpur lembab yang empuk seperti adonan kue di beberapa area yang diatapi dedaunan teramat rimbun. Sinar matahari sulit masuk mencapai dasar hutan hingga lumpur tak mengering seperti yang lain. Perjalanan juga tak lempang dan tak datar. Beberapa jalan menanjak yang landai dan curam, beserta jalan menurun setelahnya menyertai medan perjalanan. Sungai kecil beserta karang-karang tajam yang harus dilalui dengan sebatang pohon tumbang tak besar, pasti ditemui di tigaperempat perjalanan. Bunyi-bunyian hutan menjadi teman saat menempuh perjalanan. Cericit berbagai macam burung, derik kumbang dan jangkrik, sampai teriakan owa yang bergaung dari kejauhan. Tak hanya suaranya, mereka nyata di depan mata kepala. Tak jauh dari jalan yang dilalui, di atas dahan-dahan pohon yang rimbun, kawanan kera membuntuti kami. Dan ketika saya tertinggal dari teman-teman karena lama memotret, seekor biawak berlari cepat di hadapan saya dan kemudian melompat ke air, BYUURRR! Pemandangan liar yang membuat bibir saya melengkung seketika. Bahkan ketika berada di Malang Kota, seorang teman bernama Haikal bercerita kepada saya. “Di Sempu semuanya memang masih liar. Pernah waktu itu aku ngeliat Puma; Macan Kumbang, warnanya item! Lagi lari di kejauhan.”

Kurang lebih dua jam perjalanan harus dilalui untuk mencapai laguna yang menjadi tujuan. Segara Anakan, sebuah pantai kecil di dalam pulau yang dihasilkan dari aliran air laut yang mengalir melalui karang bolong. Ketika sampai, yang saya temukan di sana hanyalah keindahan.  Segara Anakan berpasir putih nan halus seperti tepung dikelilingi tebing-tebing berimbun pepohonan. Air laut bening kehijauan yang memungkinkan saya melihat ikan-ikan kecil berenang hanya dari permukaan. Ombak yang sangat tenang, dasar pantai yang lembut jarang berkarang dan kadang ditumbuhi tumbuhan laut. Meskipun ada karang di bawah air laut, mereka tak tajam seperti karang-karang di atas permukaan.


Dengan kedalaman dari 1 sampai 3 meter, Segara Anakan ini seperti kolam renang alam bagi saya. Jika menyelam ke bawah permukaan, gerombolan ikan kecil dan yang besar sekali pun nampak nyaman berenang-renang tak jauh dari saya. Dari Clown Fish berwarna biru hitam, kepiting, udang, anak Baracuda, sampai ikan-ikan besar yang nampaknya lezat bila dibakar, tinggal di Segara Anakan. Dan di langit yang mengatapi kami, seekor elang melayang-layang berkeliling Segara Anakan.

“Dit, ayo ke atas!” Mas Dika meneriaki saya yang masih terkagum-kagum dengan panorama di hadapan mata.

‘Atas’ yang dimaksud Mas Dika adalah tebing karang yang apabila dinaiki sampai puncaknya, maka menghamburlah segala kebesaran Tuhan. Tebing karang itu curam. Saya sempat merasa seperti menjadi Tom Cruise di opening film Mission Impossible II saat menaiki tebing tersebut. Dan ketika sampai di puncak, keseluruhan Segara Anakan terlihat semakin indah. Berbalik badan ke belakang, hamparan Samudera Hindia membentang bersama pulau-pulau karang yang tak akan mampu kata kemata saya menjelaskan keindahannya.




“Kalo kita nginep, dari sini kita bisa ngeliat sunset dan sunrise jelas banget, dit.” Ucap Mas Dika yang menangkap rona kekaguman dari muka saya.

Namun sangat disayangkan, beberapa pengunjung yang tidak bertanggung jawab meninggalkan sampah-sampah mereka di pinggir pantai Segara Anakan. Barangkali di tiap sampah yang dibuang, harga diri mereka turut melekat bersama sampah yang dibuang sembarangan. Dan hati saya semakin tersakiti saat melihat sampah-sampah itu mulai mengambang di ujung Segara Anakan. Dengan penyesalan tidak membawa trash bag saya memunguti sampah-sampah itu dengan kedua tangan. Memungutinya demi kecantikan Segara Anakan. 


Dan saat saya berjalan di pantai sambil memeluk sampah, seekor camar terbang memasuki Segara Anakan melalui karang bolong. Saya sengaja berhenti berjalan untuk menyaksikan ia melayang-layang memutari Segara Anakan. Dan tanpa disangka, ia terbang ke arah saya. Dekat, sangat dekat. Hingga dapat saya lihat bentuk bola mata dan paruh kuningnya. Kemudian, di saat ia berada pada titik terdekat dengan saya, ia berucap: KOAK! Lalu mengelilingi Segara Anakan satu kali, dan kemudian pergi melewati karang bolong lagi.


Barangkali, sejak saat itulah saya dan Sempu saling jatuh mencinta. Lagi pula siapa yang tak mampu jatuh cinta pada Sempu dan kecantikannya?


Labels:

permalink | 0 comments (+)

« BACK FORWARD »