Terbit dan Terbenamnya Matahari, Papuma ; 12 Oct 2012


Segalanya tampak lebih dari siap. Dua tiket kereta Gaya Baru Malam Selatan sudah di genggaman, kantong tidur, perlengkapan dan pakaian untuk hidup sebulan sudah menyesak dalam carrier baru berwarna biru, buku catatan dan pena, kamera dan charger sudah berada di dalam tasnya, penyangga kamera berkaki tiga sudah berada dalam sarungnya. Setelah semua yang kupersiapkan hingga pukul 2 dini hari, kemata yang tepat untuk pagi itu adalah: aku siap menjelajah timur Jawa.

Kereta berangkat pukul 13 tepat dari stasiun Pasar Senen, namun jam 9 pagi Suryadi membatalkan keberangkatannya. Mau tidak mau, tanpa seorang teman aku harus bertualang dengan diri sendiri.

Sebenarnya ini adalah perjalananku selama satu bulan. Tujuan utamaku pergi adalah menuntut ilmu. Tepat tanggal 10 September, aku harus sudah berada dalam kelas yang berisikan pelajaran-pelajaran baru tentang bahasa, di Kampung Inggris, Pare, Kediri. Dan hari itu, rabu 5 September pukul 1 tidak kurang, kereta ekonomi AC membawaku dari Jakarta ke Surabaya. Sengaja aku berangkat lebih awal karena tujuanku sebelum Kediri adalah Jember dan Banyuwangi. Papuma dan Ijen, pantai dan gunung. Sudah lama aku tak pulang ke ‘rumah’ dan aku sangat merindukannya.

Di perjalanan menuju Surabaya, aku berbagi kursi dengan seorang ibu muda yang lupa kutanya namanya namun memberi sedikit banyak pelajaran hidup. Ya, karena bagiku perjalanan adalah sebuah pelajaran yang akan memberikan ilmu kehidupan, maka aku memetik sebuah ilmu yang masih kuingat sampai sekarang: Hidup itu tempatnya masalah dan kegagalan, kalau kau tidak mau mendapatkan masalah dan kegagalan, jangan hidup.

Hampir pukul 3 dini hari saat kereta tiba di stasiun Gubeng Surabaya. Pagi itu kubunuh dengan solat Isya-Magrib, memakan bekal buatan ibu dan meminum teh hangat di warung dekat mushala. Selepas subuh, saya beranjak ke stasiun Wonokromo menggunakan angkot leter F. Saat itu Kota Surabaya masih tidur. Hanya beberapa orang saja yang sudah berada di jalanan. Kata seorang bapak yang kutemui di mushala, aku harus mencapai stasiun Wonokromo lebih dulu sebelum menyambung angkutan bernama Byson untuk sampai terminal Bungur Asih. Pendapat itu berbeda dengan bapak supir angkot leter F yang kutumpangi. Dia dengan hati baiknya menyarankan aku untuk menyambung bis kota. Bahkan mengantarkan aku sampai bertemu bis tersebut, padahal itu bukan jalur angkot yang seharusnya. Ia menasehati agar tetap hati-hati dan waspada akan bahaya manusia, mengingat aku hanya seorang diri dari Jakarta.

Dengan bis kota, aku malah tidak mencapai Bungur Asih. Kernetnya menurunkan aku di pinggir jalan tol tempat para pekerja biasa menyetop bis-bis tujuan luar Surabaya. Satu jam lebih, bis Akas Asri tujuan Ambulu tak pernah muncul, bahkan hanya rodanya pun tidak. Pada saat itu salah satu temanku di Surabaya, Nopha (@supernopha), tak habis-habisnya mengirimiku pesan tidak singkat. Menelpon, bahkan meminta temannya untuk menjemputku. Tapi sayangnya saat itu aku sudah tertidur dalam bis menuju Jember. Bawel dan khawatir itu memang agak sulit dibedakan.

Berangkat pukul 6.30 dari Surabaya dan sampai 11.30 di terminal Tawang Alun, Jember. Nopha masih saja bertanya kabar dan memberikan saran. Tak hanya Nopha, tapi juga teman-teman Fiksimini daerah Surabaya dan Jember ikut memberi saran walau tidak turut serta. Aku menyempatkan makan siang di terminal sebelum melanjutkan perjalanan. Di sana aku bertanya pada ibu pemilik warung dan ‘konco-konconya’ tentang biaya ojek sampai Papuma. Namun yang kudapat malah tipu daya dari mereka yang ingin mengeruk untung sebanyak-banyaknya dari orang yang tidak tahu apa-apa di daerahnya.  Mereka para ojek terminal yang mengerubungi dan ibu pemilik warung, memberiku pelajaran bahwa: terminal sama juga dengan pasar, seburuk-buruknya tempat.

Aku melanjutkan perjalanan dengan dua kali naik lin (orang-orang di Jawa Timur biasa menyebut angkot dengan sebutan Lin) untuk mencapai Ajung. Dari Ajung, kemudian disambung colt tua dengan tujuan akhir Ambulu. Di dalam mobil colt tua nan panas itu aku bertemu seorang kakek penjual es mambo yang kepayahan namun senyum dan bahagia tak lekang di wajahnya. Walau sekali kudengar ia mengeluh dagangannya hanya laku sedikit seraya mengelus-elus termos pikulan miliknya, namun ia tetap membagi canda denganku dan adik-adik SMK yang baru pulang sekolah.

Cak Tar, si supir colt itu mencuri dengar perbincanganku dengan seorang nenek yang habis pulang dari pasar. Bahwa; aku seorang diri dari Jakarta dan hendak ke Papuma. Mereka semuah keheranan dan bertanya-tanya apa tujuanku sebenarnya ke Papuma. Ingin kujawab dengan ‘saya mau pulang ke rumah’, namun pasti mereka tak akan bisa mengerti.

“Di Papuma ada rumah sodaranya?”

“Gak ada.”

“Lha terus ke Papumanya naik apa?”

“Saya naik ojek aja, Pak.”

“Oalah, kamu nanti saya anterin ke tukang ojek kenalan saya aja biar aman. Nanti kalau ada apa-apa saya yang tanggung jawab. Kamu bilang aja Cak Tar, semua orang tau saya. Rumah saya itu di belakang polsek itu, tuh.”

“Kok kamu berani sih, lek, lek, sendirian dari Jakarta.”

“Kalau saya jadi ibu kamu, gak saya ijinin.”

“Nanti di sana hati-hati mas, gak usah ke Watu Ulo, banyak orang jahat. Tapi kalau ke Papuma gak apa-apa, sudah ada penjaganya di sana.”

Aku dikerubuti nasihat oleh Cak Tar dan beberapa ibu-ibu yang habis pulang dari Pasar. Setelah sampai di Ambulu, Cak Tar mengantarkanku sampai pangkalan ojek temannya. Perjalanan ojek dari Ambulu ke Papuma hanya sekitar 20 menit. Di tengah perjalanan, aku diberi ucapan selamat datang oleh ladang tembakau dan hutan entah yang sedang meranggas sebagian. Pemandangan yang cukup membuat bibirku tersenyum tak begitu lebar.







Dan akhirnya, inilah Tanjung Papuma.









Pantai ini indah, namun sepi pengunjung. Ombaknya besar besar memecah karang, dan lebih dari cukup kuat untuk menarik manusia ke lautan. Banyak monyet bergelantungan di pohon pinggir pantai, atau berlarian dan duduk-duduk di atas pasir. Mereka bersahabat, tidak galak apabila tak diganggu.






Maghrib tiba, aku merapat ke mushala. Shalat Maghrib-Isya dan istirahat sembari mengecek hasil jepretan pantai nan indah. Angin pantai membuat kulitku begitu lengket. Kupikir aku harus membersihkan tubuh, namun sayangnya semua tempat pemandian umum telah digembok. Aku menyusuri tempat makan dan kamar mandi umum hingga tak ada lagi bangunan yang tersisa kecuali gelap. Di rumah makan terakhir aku menghentikan langkah dan memesan segelas es teh manis.

Rumah Makan Sumber Rejeki Liana namanya, dan sepertinya seorang wanita muda yang pertama kulihat saat memasuki warung itulah si Nona Liana. Aku bertanya di mana kamar mandi umum yang masih buka, dan ia menyarankan aku untuk menumpang mandi yang di tempat yang ia sebut Lobby. “Tapi motornya lagi dipake sama bapak.” Aku tak mengerti maksud kalimatnya ini, jadi aku memutuskan untuk beristirahat di warungnya dengan ditemani segelas es teh manis. Liana wanita yang sangat ramah. Ia mengizinkan aku mencargher baterai ponsel dan kamera sementara aku beristirahat. Sama seperti kebanyakan orang sebelumnya, ia terkesiap saat aku mengatakan berasal dari Jakarta. Saat aku mulai melupakan mandi dan memesan makan malam, bapak pemilik warung menawarkan dirinya untuk mengantarku mandi di tempat yang bernama Lobby. “Taruh aja tasnya, bawa pakaian ganti aja. Alat-alat mandinya ada? Gak bawa sendal? Pakai sendal saya aja, sepatunya taruh di warung.” Dengan sepeda motor saya diantarkan menerobos gelap menuju kamar mandi umum, ditunggu sampai saya selesai mandi, kemudian kembali ke rumah makannya untuk makan malam. Bapak Jumadi namanya, seorang pria paruh baya yang baik hati.



Malam itu kuhabiskan dengan menulis dan memotret bintang sebelum akhirnya saya pamit untuk tidur di mushala. Sebenarnya saya diizinkan untuk menginap di warung Pak Jumadi. Ia memberikan kepada saya tempat tidur yang biasa ia pakai, sedangkan ia mengalah dengan tidur di kursi panjang pasangannya meja makan. Namun saya merasa tak enak dan lebih memilih tidur di mushala dengan kantong tidur. Sebelum saya benar-benar terlelap, seorang penjaga pantai yang sedang piket menghampiri mushola.

“Dari rombongan mana, mas?”

Aku bingung harus menjawab apa. Kujelaskan saja kalau aku hanya seorang diri, dari Jakarta, dengan tujuan memotret pantai Papuma. Dan benar kata Cak Tar, di Papuma sudah aman karena ada penjaganya. Aku dipersilakan untuk melanjutkan istirahat di mushala yang kesepian itu.

Paginya, matahari sudah menungguku di ufuk timur.





Aku kembali ke Rumah Makan Sumber Rejeki Liana untuk sarapan. Dan pukul 8, aku berpamitan pada Pak Jumadi untuk menuju Banyuwangi. Ojek yang kemarin mengantarkanku sampai Papuma menjemput dan mengantarkan aku sampai bertemu bis jurusan Banyuwangi.
Dan pada perjalanan menuju Ijen lah langkahku mulai tertantang.



Jiwa pantai selalu saja bersahabat.
Ia seperti seorang teman dekat
yang siap memberikan pundak.
Untuk kau jejalkan cerita, 
atau bahkan menumpahkan air mata.

Labels: , ,

permalink | 0 comments (+)

« BACK FORWARD »