Mencumbu Mahameru (bag. 1) ; 4 Nov 2012

Semua yang mendaki Mahameru pasti sempat terpikir akan kematian.
Aku mengiyakan kalimat itu.


Jauh hari sebelum pernyataan itu terlahir, ada sesuatu yang menggebu di dalam dada seorang yang mengucapkannya. Mamet, perantau dari ranah Minang Kabau itu begitu uring-uringan menahan rindu untuk segera bertemu Semeru. Ia rela bolak-balik warnet hanya untuk mencari berbagai informasi tentang pendakian. Lewat forum-forum, informasi ringan yang berseliweran di linimasa, sampai beberapa info kadaluarsa dari tetua kami di asrama yang terakhir mendaki tahun 90an. Namun usahanya hanya mendapatkan sedikit hasil. Pasalnya, ia belum mendapatkan kawan sejalan menuju puncak Mahameru. Sedangkan Mahameru, adalah raja dari segala gunung di tanah Jawa, bukan sembarang gunung biasa. Di asrama baru Rival, anak muda yang baru saja lulus SMA di Bengkulu, yang mengiyakan ajakannya. Jika tak mendapat teman sama sekali terpaksa harus jalan sendiri, pikir Mamet dalam benaknya. Saat itu, rencanaku untuk berkemah di suatu pantai di Tulungagung batal. Kuajukan diriku bergabung dalam tim kecil Mamet. Lalu Faquh, sarjana baru dari UGM, turut menyertakan diri untuk ikut mendaki. Disusul Deny, anak laki-laki seusia Rival dari Samarinda, ingin menyalurkan keingintahuannya yang membeludak tentang hal baru. Dan kami berlima, berdaya upaya memaksa Aan untuk ikut. Mahasiswa dari kota Solo itu sebenarnya berpikir ribuan kali untuk ikut. Tapi 5 lawan 1 tentu menang 5. Esoknya, Jumat, 21 September 2012, kami bertolak ke Malang dengan modal nekat.

Mr Obama, Deny, Father, Rival, Mr Azam, Faquh, Mamet, Ali
Aan, @rigeladitya, Ucit

Kami berangkat bersama dua teman lain yang kebetulan ingin pulang ke kampung halaman. Langkah pertama menuju gunung tertinggi pula Jawa itu sudah menantang. Dari Pare kami berdelapan harus naik colt untuk mencapai stasiun Kediri dengan penumpang melebihi muatan. Angkutan itu diisi 16 orang! Empat orang di belakang, delapan orang berhadap-hadapan di tengah, dan empat orang di depan termasuk supir. Alamak, si supir menyetir miring-miring seperti kepiting tersangkut karang.



Kutaksir jantung kami berdelapan berdetak lebih cepat dari biasanya. Kereta Panataran tujuan Malang  itu berangkat pukul 15.00, sedangkan colt sarden yang kami tumpangi masih berada di tengah jalan pukul tiga tepat. Beruntung jadwal sebenarnya lebih 15 menit. Hanya beberapa menit setelah kaki-kaki kami menjejak gerbong Panataran, kereta itu mulai melaju perlahan. Rintangan pertama selesai. Kami bisa duduk lega bahkan tidur tenang di dalam kereta.

Perjalanan 5 jam menuju Malang sebagian kugunakan untuk mencari informasi tentang pendakian dan perlengkapan. Modal nekat yang kumaksud tadi adalah tak adanya persiapan di antara kami. Dari enam orang itu hanya aku dan Mamet yang membawa carrier, dan hanya aku seorang yang membawa sleeping bag. Keempat yang lain hanya bermodal diri, uang, dan ransel daypack dengan isi baju ganti. Sesampainya di Malang pukul 8, setelah makan malam, tim nekat mendapat bantuan perlengkapan dari saudara Deny yang tinggal di Malang: satu sleeping bag dan satu carrier 60 liter. Tentu masih kurang, karena itu Mamet dan Aan berkeliling seputaran stasiun Kota Baru mencari tempat penyewaan perlengkapan. Dua jam lebih menghasilkan beberapa perlengkapan penting: sebuah tenda dome isi 4 orang, satu sleeping bag, kompor, dan nesting. Tak buang banyak waktu, malam itu juga kami meluncur menuju Tumpang untuk menyambung jalan ke garis start pendakian: Ranu Pane.

Di Tumpang, tepatnya di depan sebuah minimarket 24 jam, kehidupan tak nampak mati walau sudah hampir setengah 12 malam. Ada beberapa kelompok orang yang berbicara dengan suara tidak pelan.Salah satu di antaranya menghampiri kami yang baru saja ditipu oleh supir angkot yang kami tumpangi: kembaliannya kurang 10 ribu. Sembari kami menggerutu dan sedikit menyumpah serapah, orang itu tak hentinya berbicara seperti pemandu. Ya, memang pemandu. Ia memberi saran kepada kami yang hendak mendaki. Tak banyak ocehannya yang kami dengar. Kata-katanya beralalu sementara kami lebih memilih membeli bermacam perbekalan di dalam minimarket. Berliter-liter air mineral, roti, coklat, gula merah, permen, rokok, kopi, susu, mie instan, mie instan, mie instan, mie instan, 2 kaleng sarden, 5 liter beras, dan empat kaleng gas. Bekal yang kurang sehat, memang.

"Air gak usah bawa banyak-banyak, nanti ambil air di Ranu Kumbolo aja. Kalo mau naik sekarang, Jeep itu 450 ribu. Kalau gak mau, ya nunggu rombongan lain sampai 15 orang. Nanti buat surat keterangan sehat dulu di klinik sebelum naik."

Tentu pilihan kami adalah menunggu. Uang 450 ribu lebih baik dibelikan perlengkapan camping ketimbang untuk membayar Jeep. Jika menunggu 9 orang lainnya, masing-masing dari kami hanya perlu membayar 30 ribu. Tapi tengah malam begini, sedikit kemungkinan pendaki lain datang dengan tujuan sama seperti kami. Hanya ada beberapa pendaki lain namun mereka baru saja turun dari Ranu Pane, bukan sebaliknya. Waktu menunggu sempat kugunakan untuk pergi sholat Isya-Magrhib bersama Faquh. Dan sekembalinya kami, untunglah sudah ada sekelompok pendaki lain yang ingin menuju Ranu Pane malam ini. Pas 9 orang. Ternyata, sedikit kemungkinan itu tidak mustahil.

Setelah semua barang bawaan diikat kuat di atap jeep, giliran orang-orangnya yang naik dan hanya bisa berdiri selama perjalanan. Meluncurlah Jeep dengan ratusan tenaga kuda menghempas malam, melawan dingin malam di Tumpang. Jeep ngebut, tak perduli jalan berliku. Jalan Tumpang yang berkelok-kelok menghempaskan orang-orang yang berdiri di atas Jeep. Terutama rombongan kami yang berada di bagian belakang, rawan kecelakaan. Jeep dipagari sebatang besi di bagian belakang. Semua yang berada di dalam lingkaran besi tersebut, InsyaAllah aman. Lebih aman 9 pendaki lain, mereka terkurung oleh tubuh-tubuh kami yang harus rela terjepit tubuh mereka dan besi. Sedangkan dua orang teman kami, Faquh dan Aan, mereka berkawan bahaya. Hanya mereka yang tak kebagian tempat di dalam lingkaran besi. Faquh dan Aan harus berdiri dengan hanya berpegangan dengan besi. Jika melemah saja pegangannya, terjatuhlah mereka. Tantangan mereka dipersulit lagi dengan dinginnya angin yang menggigit, jalan berlubang setengah perjalanan, berkelok-kelok sepanjang jalan, dan harus bertahan selama satu jam lebih. Medan seperti itu dilalui oleh Jeep dengan kecepatan tinggi. Di sebelahku, Mamet berteriak kesakitan setiap kali Jeep berguncang menghantam lubang. "Pantat gua sakit banget kesodok besi." Posisinya memang terhimpit dan harus duduk di atas besi yang menonjol. Mamet sudah tak perjaka lagi dikerjai oleh besi. Karena alasan itu di setengah perjalanan ia memilih ikut bergelantungan bersama Faquh dan Aan. Namun rintangan kedua ini tak melulu tentang kesakitan. Di atas langit sana, tak jarang bintang gemintang muncul di balik gelapnya daun-daun pepohonan. Bintang bertabur bak menjamur. Bahkan beberapa di antara kami ada yang beruntung melihat bintang jatuh. Aku salah satunya. Semua berteriak kegirangan ketika Jeep menghempas tubuh kami sangat kencang, juga ketika melihat langit bertabur jutaan bintang. Mamet berteriak kencang, lalu tersenyum sebelum berbicara, "Setiap kali perjalanan gua selalu mengesankan!"

Hari itu sudah berganti jadi Sabtu, 22 September 2012. Berangkat dari Tumpang pukul 1.00, sampai di Ranu Pane hampir setengah tiga. Dingin semakin menikam di Ranu Pane ini. Bahkan tiap napas yang dihembuskan akan berubah menjadi asap. Niat kami yang ingin mendaki dini hari itu juga harus ditekan ketika melihat loket pendaftaran tutup. Lagipula siapa yang mau jaga pukul 2.30 pagi? Terpaksa harus menginap semalam di sini. Meski nyatanya malam hanya tinggal sepertiga lagi. Sembilan pendaki lain bermukim di salah satu pondok pendaki yang gelap. Kami mengurungkan niat untuk bergabung dan memilih mushola yang terang dan sepertinya hangat. Tak buang waktu, ketiga sleeping bag segera dibuka. Kami merebahkan diri di atas karpet sajadah musola yang tak lagi hangat, paling tidak tak sedingin lantai. Satu sleeping bag dijadikan selimut untuk dua orang. Mamet dengan Aan, Rival dan Deny, aku bersama Faquh yang malang karena di tengah tidur tubuhnya berpindah ke lantai.

***

Suara kasak-kususk, takbir, dan ayat-ayat Quran membangunkanku. Kubuka kelopak mata dan sleeping bag yang menghalangi pandanganku perlahan, rupanya sudah subuh. Beberapa orang sedang sholat subuh berjamaah, dan beberapa wanita yang bersiap-siap sholat memperhatikan kami yang mulai bergerak. Kubangunkan yang lain agar tak mengganggu yang sedang beribadah. Tetapi bangun pagi kali itu tak semudah biasanya, dingin belum lepas menyelimuti tubuh. Rahangku gemetar hebat, kulitku seluruhnya seperti dilumuri salju. Teman-teman yang lain langsung bangun menghormati jamaah. Aku pun tanpa perhitungan lagi langsung mengambil air wudhu. Namun tiba-tiba... kulitku serasa disetrum! Ini ritual wudhu paling menyiksa seumur hidupku. Setiap air menyentuh kulit serasa ditusuki ratusan jarum. Dingin pun membekas lama setelah bersentuhan dengan airnya. Di dalam sholat tubuhku bergetar parah. Mamet yang masbuk di sebelahku ternyata merasakan hal yang sama. Telunjuknya gemetar tak karuan ketika menyebut syahadat di dalam duduk atahiyat. Subuh itu, di dalam sholat tubuh ini bergetar bukan karena Allah.

Selepas sholat tubuhku tetap merasa dingin. Asap masih keluar tiap kali aku menghembuskan napas. Di luar mushola sudah banyak pengunjung lain yang mulai berdatangan. Rival dan Faquh tampak bersidekap, Deny menggosok-gosokkan telapak tangan, sementara Aan menggerak-gerakkan tubuhnya mencoba menghasilkan panas. Tak hanya napas kami yang berasap, Ranu Pane pagi itu pun kedinginan seperti kami. Berasap seperti kulkas.




Sambil menunggu loket dibuka kami berusaha mencari sumber panas. Ada sebuah perapian yang nampaknya sangat nikmat dan hangat. Hanya dikelilingi beberapa wanita. Awalnya kami abaikan saja, karena beku di kaki tak kunjung hilang aku dan Aan memutuskan untuk meminta kehangatan. Namun urung karena api mengecil dan wanita-wanita itu berganti laki-laki seorang diri. Matahari muncul, kami semua minus Mamet berjemur bak turis. Ucapkan selamat datang kembali pada jempol kaki dan jari-jari kaki lainnya, berkat matahari.

Kami mendaftar sekalian bertanya-tanya mengenai tempat penyewaan perlengkapan. Beruntung bapak penjaga loket dengan baik hati menyewakan perlengkapannya. Tiga matras, tiga sleeping bag, dan satu senter dengan bohlam 5 watt warna kuning kami hargai 100 ribu. Tak terbayang apa jadinya kami di atas sana jika tidur seperti dini hari tadi.

Ditinggal matahari sebentar, jempol dan jari-jemari kami kembali dingin lagi. Beruntung warung satu-satunya di Ranu Pane sudah buka. Kami menumpang menghangatkan diri di depan tungku ibu penjual nasi sambil menunggu pesanan kami. Ajaib, 5 cm dari api kulit kami tak terasa panas. Hangat dan nikmat. Rasa-rasanya tak ada api senikmat ini di Jakarta.

Selama di warung nasi tersebut ada rombongan turis yang di antar oleh orang Indonesia. Mereka mendapat makan lebih dulu karena memesan lebih dahulu. Sebagai anak Pare, kami berbincang sedikit dengan mereka.  Beberapa dari Finlandia dan sebagian lain dari Amerika. Ada hal lucu tentang turis-turis ini. Saat pesanan mereka datang, ada salah seorang dari mereka yang bertubuh lumayan besar hanya memesan nasi putih tok disirami sambal kacang, sudah. Sedangkan teman-teman lainnya berlauk pauk sayur-sayuran pecel, sayur lodeh, tempe, dan telur ceplok. Heran tentu saja. Pada awalnya kupikir Si Besar ini tidak selera dengan kuliner Indonesia. Ternyata tidak, ia hanya mengirit jajan saja alias bokek! Ketika temannya melihat ia makan tanpa lauk apapun, ditawarinya lah setengah telur ceplok dan sayur-sayuran miliknya untuk Si Besar. Dan ternyata Si Besar menerimanya dengan senang hati, lalu dimakannya lahap. Ampun, ternyata Bule Kere.

Selesai makan, kami packing ulang barang-barang. Tenda, kompor, gas, nesting, perbekalan, air sudah siap. Matras cukup tiga dan sleeping sudah enam. Satu orang satu untuk menghindari dingin macam tadi pagi. Pukul 9 sekitar lewat 30 kami berdoa dan siap mendaki gunung tertinggi pulau Jawa; Semeru.


Mamet, Faquh, Rival, Aan, @rigeladitya, Deny

Mahameru, tunggu para pemuda penuntut ilmu ini!

Labels: , ,

permalink | 0 comments (+)

« BACK FORWARD »