anak kota yang tersesat di desa (bag 2) ; 17 Oct 2012
Dini
hari ini sudah masuk 8 September 2012. Suara kasak-kusuk yang membuatku terjaga saat itu. Suara-suara orang berbincang, barang-barang yang dipersiapkan,
dan langkah-langkah kaki menginjak lantai kayu. Kulihat jam, sudah lewat dari
2.30. Dengan berat aku bangkit untuk berdiri, untuk api biru yang ingin kulihat
di puncak Ijen. Ketika keluar pondok, sebagian orang sudah terjaga sembari
mempersiapkan peralatan. Kulihat pula dalam samar-samar gelap sekelompok turis
asing berangkat menuju puncak. Aku merapikan kantung tidurku, mengisi botol
air, kamera dan tripod, kemudian kembali ke pelukan dinginnya malam di luar
pondok. Dini hari lebih terang dari pukul tujuh tadi. Bulan separuh telah
keluar dari balik bumi, pijarnya membuat sebagian dari jutaan bintang
kehilangan cahayanya. Gemintang tak sebanyak malam tadi, dan di atas sana
kulihat satu rasi yang amat kukenali, Orion dengan Rigel dan Betelgeuse-nya
yang menyala.
Tepat
pukul 3 pagi kami berangkat. Aku yang tak memiliki senter menumpang cahaya
dengan senter teman. Sinar rembulan separuh cukup membantu penglihatanku, malam
jadi tak sebegitu gelap. Perjalanan 3 km terus menerus menanjak itu kami awali
dengan jalan beriringan, dan rombongan berpencar-pencar di tengah jalan sesuai
dengan stamina masing-masing. Trek menuju kawah berupa jalan besar dengan tanah
berpasir. Hanya ada satu jalur tanpa cabang yang akan membuat kita tak mudah
tersesat. Di tengah-tengah perjalanan aku terkejut dengan bunyi ponselku
beberapa kali, pertanda beberapa pesan telah masuk. Aku mendapat sinyal di
tengah-tengah perjalanan. Dari ibu yang bertanya kabar dan keberadaanku, seorang
teman yang juga bertanya kabar ditambah info kalau Banyuwangi baru saja
diguncang gempa, dan satu lagi dari Pak
Endi yang bertanya sudah sampai atau belum. Semua jam pengiriman berkisar dari
jam 19.00 sampai jam 20.00. Terbesit secuil khawatir di pikiranku dengan info
gempa tersebut. Pasalnya, beberapa minggu dari hari ini status Gunung Ijen
adalah siaga.
Pasukan
gugur satu per satu. Kelompok sedari start yang beranggotakan aku, Ita, Sugi,
Dwi, Mba Ning, dan Bli Komang hanya tersisa 2 orang di tengah perjalanan: aku
dan Mba Ning. Dan kami adalah orang yang pertama sampai di puncak pukul 5.30.
Waktu yang cukup molor karena dipakai untuk menunggu teman-teman yang
bersitirahat karena tak begitu kuat menanjak. Alhasil aku tak mendapat
kesempatan melihat sang api biru secara maksimal.
 |
Api biru hampir menghilang pada 5.30. |
Perlahan-lahan
api kebiruan di bawah jurang menghilang, diganti warna oranye kemerahan di
langit pagi ketinggian 2.368. Sudah kubilang, keindahan hanya tersedia untuk
mereka yang mau dan mampu melihatnya. Perasaan ini selalu sama, perasaan saat
tapak kaki berhasil menginjak pemberhentian akhir di keindahan tertinggi,
saat-saat ketika semua masalah lenyap seketika, ketika segala penderitaan
terlupa semua.
Danau
sulfur menghampar di hadapanku. Kuning belerang yang terbakar mengepulkan asap
tebal. Di atasnya, langit memerah kekuningan. Di sisi selatan, Gunung Raung
berdiri tegap memamerkan ketampanannya yang diselimuti awan merah muda. Inilah
saat-saat dimana hanya asma Tuhan yang keluar dari bibirku.
Sekitar
pukul 7.30 kami turun. Medan perjalanan mulai terlihat dengan jelas. Ternyata tanjakan
yang dini hari tadi lumayan curam. Dengan kemiringan seperti ini dan jalanan
tanah berpasir, terpeleset adalah bonus tambahan dari Ijen. Ita berkali-kali
harus takluk jatuh terduduk ditertawakan Ijen.
 |
@rigeladitya, Mba Ning, Ita, Dwi. |
 |
Dede, Dwi, Ita, Oki, Agip, Istri bang Imron, Bli Komang,
Mba Ning, Mba Wulan, Sugi, Bang Imron. |
 |
Gunung Raung di perjalanan turun. |
 |
Ita. |
Senang-senangnya
sudah usai. Kini saatnya aku memikirkan bagaimana caranya keluar dari gunung
ini. Sambil sarapan pagi, aku bertanya-tanya pada Bu Im dan ia bilang akan ada
truk yang mengangkut turun belerang. Meski jalan direnovasi, belerang itu akan
dioper ke truk lain yang sudah siaga menjaga di sisi lain jalan yang diperbaiki.
Pukul 8.30 mobil pick up yang membawa sayur-sayuran datang. Namun tujuannya
bukan Banyuwangi, melainkan Bondowoso, jalur lain untuk mencapai Ijen. Aku agak
bingung dibuat mobil sayur mayur itu. Ikut atau tidak. Tujuanku selanjutnya
adalah Tulungagung, temanku yang tinggal di sana menyarankan aku naik bis dari
Banyuwangi. Akhirnya kubiarkan saja mobil sayuran itu berlalu di depan mataku.
Setengah jam selanjutnya ada truk belerang yang datang. Buk Im bicara ke
supirnya bahwa aku akan ikut menumpang. Supirnya mengiyakan. Kupikir setelah
truk datang aku bisa langsung pulang, maka aku berpamitan dengan teman-teman
dari Bali. Ternyata salah. Truk itu akan turun jam 3 sore. Gila! Kataku dalam
hati. Aku harus turun dari gunung ini siang hari, mencapai kota dan sampai di
Tulungagung sore hari. Tidak mungkin aku ikut truk ini. Aku bertanya tentang
ojek oleh Bu Im, namun ia menyarankan aku ikut menumpan mobil travel yang
membawa turis asing. Berkali-kali aku mondar mandir bertanya pada supir-supir
travel, dipatahsemangati, dinasehati, di-kok-berani-sih-sendirian-dari-Jakarta,
dioper sana-sini. Sampai akhirnya ada seorang supir yang menyarankan aku
sebaiknya ikut travel ke Probolinggo. Jaraknya lebih dekat ke Tulungagung
daripada via Banyuwangi. Dan ia pula yang menyarankan aku untuk menumpang pada
supir travel bernama Pak Yos, si supir culas.

Ia
bersikap acuh tak acuh mematok harga yang cukup mahal untukku. Aku pun memelas
seperti seorang anak hilang yang sudah kehabisan uang. Alhasil, deal dicapai
dengan harga Rp 125.000 sampai Probolinggo. Aku ikut bersama 4 turis dari
Spanyol yang sangat ramah. Di perjalanan aku dengan dua orang di antaranya
banyak bercengkrama. Dengan bahasa Inggrisku yang pas-pasan tentu saja.
Barangkali ini ujian dari alam yang menguji niatku menuntut ilmu Bahasa Inggris
di Pare. Mereka sudah menghabiskan satu minggu penuh di Pulau Jawa. Tujuan
mereka selanjutnya adalah menghabiskan 7 hari dengan bersantai-santai di Bali. Kemudian
dilanjutkan bermain-main di Pulau Komodo. Aku berada di jok belakang bersama
tas-tas dan koper mereka. Tiga orang di tengah dan satu di samping supir. Dan
pasangan yang duduk di tengah ini tak habis-habisnya berciuman. Sangat ingin
aku mencuri foto dengan kamera ponselku, tapi demi atas nama kesopanan dan
Indonesia, aku menahannya.
Tiga
jam sudah namun kami tak kunjung sampai. Aku dan keempat turis ini pun tak tahu
sedang berada di kota apa. Turis itu mulai tak nyaman dengan perjalanan yang
teramat panjang ini. Si supir culas ini berjanji akan mengantarkan para turis
sampai naik bus yang akan mengantarnya sampai Bali. Namun nyatanya, si supir
tiba-tiba menghentikan mobil di tengah jalan tepat di tempat seorang bocah
lokal berbahasa Inggris sedang menolong turis lain naik bis menuju Bali. Supir
tersebut meminta bantuan pada bocah lokal berbahasa Inggris untuk mengatakan
menunggu bis ke Bali di sini. FTW! Dan terjadilah adu mulut yang sengit antara
para Turis dan Si Supir Culas. Aku turut meminta maaf pada mereka, dan di
perbincangan itulah satu kebohongan lagi terungkap. Si supir mengatakan pada
turis bahwa aku saudaranya yang ingin ikut menumpang, dan mereka sangat
menyesal mengetahui aku membayar uang pada si sopir. Bahkan, mereka ingin
mengembalikan uang yang kuberikan pada si supir culas. Sebenarnya siapa yang
menjadi tuan rumah?
 |
The angry tourists. |
Datang
seorang lain lagi yang ingin membantu dan mengatakan padaku bahwa ini
Situbondo, dan aku salah jalan bila ingin ke Probolinggo. Ijen-Tulungagung
sebenarnya hanya 5 jam perjalanan, sedangkan dari Situbondo ini aku harus
menempuh 7 jam perjalanan lagi. Dan saat itu jam 12 siang. Si Supir Culas tak
hanya menipu turis asing, tapi juga turis lokal: aku! Orang baru itu ingin
membantu para turis dengan mencarikan bis di tempat kenalannya, namun ditolak
oleh si supir culas karena ia meminta imbalan uang. Dasar orang Jawa Timur! Apa
semua yang ada dipikirannya hanya mencari keuntungan? Situasi sangat kacau.
Keempat turis itu mengamuk sampai membanting pintu mobil travel. Hingga
akhirnya kemelut itu berakhir dengan solusi: si supir mengantar para turis ke
Pelabuhan Ketapang di Banyuwangi, dan aku menumpang supir travel yang hendak
pulang ke Probolinggo dengan harga yang murah, Rp 15.000. Dengan wajah memelas
anak hilang hampir kehabisan uang, tentu saja.
Perjalanan
Situbondo-Probolinggo memakan waktu 2 jam. Di sepanjang perjalanan aku hanya
bisa diam, mengumpat kejadian sial ini di dalam hati, bersyukur masih bisa
melanjutkan perjalanan, dan berdoa di sepanjang waktu tempuh. Jalan raya yang
asing, pemandangan yang beralih dari kota-perkampungan-perkebunan-laut-kota
lagi-perkebunan lagi itu membuatku berpikir atas semua kejadian yang menimpa diriku
selama petualangan ke Ijen ini. Aku mengingat kembali dan mengurutkan tiap
kejadian yang terjadi. Dan kupikir, ini adalah akibat yang kudapat dari
menentang ibu. Ia menginginkan aku segera ke Pare, sedang tanpa izin aku
menerobos Banyuwangi dan Gunung Ijen. Ridha Allah adalah ridha orang tua. Ibuku
tidak mengizinkan, maka Allah yang bertindak untuk membebaniku dengan masalah
sepanjang perjalanan. Lagi-lagi kusebut namaNya seraya meminta ampun. Tidak
lagi-lagi aku berani melawan perintah orang tua.
 |
Perjalanan Situbondo-Probolinggo. |
 |
Dibalik pagar itu adalah laut entah apa namanya. |
 |
Ladang tembakau entah di daerah mana. |
Berbagai
pesan masuk. Hanya kubalas seperlunya pada orang-orang yang menurutku penting
di situasi lumayan genting seperti ini. Baterai ponselku melemah dan aku tak
tahu sedang berada di mana. Yang kutahu pasti aku sedang dalam perjalanan dari
Situbondo menuju Probolinggo. Dengan pemandangan yang sangat asing
berganti-ganti di luar kaca jendela. Tebing, perkebunan, persawahan,
perkampungan, pantai, pabrik, hingga hatiku bahagia bukan main ketika melihat kota
dengan gapura Probolinggo. Alhamdulillah.
Aku
segera bergerak ke musola terdekat untuk menumpang mandi dan solat. Saat aku
memasuki musola dan kamar mandi, jamaah sedang khusuk solat Ashar berjamaah.
Cukup lama aku membersihkan diri, dan setelah selesai: aku dikunci dalam tempat
wudhu! Kucari jalan keluar, nihil. Semua celah diberi tralis seperti garasi
mengurung mobil. Pintu tralis digembok. Musola sudah sepi, dikunci. Aku
berteriak meminta tolong sembari membikin suara berisik dari gembok yang
kuketuk ke pagar tralis. Tetap tak ada orang sama sekali. Sampai sebeginikah
kutukan mengarungi perjalanan tanpa ridho ibu? Barangkali ada 13 menit aku
berteriak meminta tolong sampai akhirnya ada orang yang menyelematkanku. Tentu
saja dia tertawa. Tak henti-hentinya, pula.
Di
halte pemberhentian bus, aku tak tahu bus apa yang akan mengantarkanku sampai
Tulungagung. Lamanya waktu menunggu mengubah niatku jadi berkunjung ke
Surabaya. Aku mengubah tujuan menjadi Surabaya. Menginap di kos teman, keesokan
paginya baru berangkat ke Pare, Kediri.
Mengesankan!
Atau boleh kau ubah: Mengenaskan!
9
September 2012, hari itu kuakhiri dengan sesuatu baru yang ku tak tahu,
ternyata salah satu kisah manis dalam hidupku.
Jiwa
gunung memang selalu tegas, kukuh, dan berwibawa. Siapa saja yang berani
berucap atau bertindak sembarang, jiwa gunung akan bertindak dengan kekuatan
alam.
Dan
perjalanan, adalah salah satu cara manusia untuk mengenal siapa dirinya.
Labels: Catatan Perjalanan, Hanya Berbagi, Satu Bulan di Timur Jawa