Mencumbu Mahameru (bag. 2) ; 4 Nov 2012
Mendaki, melintas bukit. Berjalan letih menahan berat beban.
Menatap, jalan setapak. Bertanya-tanya sampai kapankah berakhir?
Lirik lagu Mahameru Dewa 19 itu benar sekali rasanya. Trek menuju Ranu Pane - Ranu Kumbolo ini memang mengitari bukit. Jalan cukup landai memang, tetapi serasa tak berujung. Sepuluh kilometer hanya jalan setapak yang terkadang dihadang oleh pohon tumbang atau dahan dan reranting yang menjuntai, sesekali batu besar. Sebelah kiri jurang penuh pohon dan rerumputan, di kanan dinding bukit tinggi menjulang. Perjalanan pertama ini tak begitu melelahkan bagi sebagian kami. Mamet salah satunya. Bocah yang dijuluki Sleeping Boy oleh teman-teman satu asrama di male 3 karena kebiasaannya yang tidur terus menerus, ternyata bak macan kumbang Ragunan di lepas ke hutan. Ia berjalan gesit dan paling depan. Tim yang di awal perjalanan berjanji untuk terus bersama-sama kini sudah saling tinggal meski tak jauh. Hanya Mamet yang memisahkan diri karena rindunya yang tak tertahan pada Mahameru. Rival dan Deny yang hanya menggendong daypack berjalan enteng di depanku. Sedang di belakang Aan terlihat berat sekali langkahnya tertahan dua buah ransel di punggung dan dadanya. Ransel berisi air berliter-liter, berbotol-botol. Dan Faquh konsisten berjalan paling lambat di belakang. Carriernya paling besar juga paling berat berisi tenda, dua sleeping bag, dua matras, dan macam-macam lainnya. Di pos dua kami bertiga sepakat beristirahat.
Di pos itu ponselku berbunyi berkali-kali. Beberapa sms masuk menerobos rimbunnya hutan lereng Semeru. Hebat. Orang-orang lain terheran-heran ponselnya masih tetap tanpa sinyal. Sebuah pesan dari teman di Pare, sebuah dari teman di Jakarta mengajak main futsal pula, sebuah dari teman di kampus, dan sebuah lagi dari ibuku. Pesan kekhawatiran tentu saja. Isinya:
Adit, jangan *larangan larangan larangan*
Nanti kalau *larangan larangan larangan*
*nasehat nasehat nasehat*
*khawatir nasehat khawatir*
Kamu harapan mama.
Kalimat terakhir dari pesan itu yang menembus dadaku. Menusuk lebih dalam ketimbang dinginnya udara pagi tadi. Aku hanya tersenyum. Minta doa.
Di pos 2 itu kami bertemu rombongan turis yang kami temui di warung nasi. Mengobrol sedikit, dalam bahasa Inggris tentu saja, dan kemudian pamit jalan duluan. Meski di luar asrama dan jauh dari Kampung Inggris, kami tetap melatih kemampuan bahasa Inggris kami. Mematuhi aturan asrama tak menggunakan bahasa Indonesia, meski tak selamanya. Beberapa saat setelah melewati Watu Rejeng, Mahameru sedikit tertangkap mata kami yang terkesima, kami dihadapi dengan tanjakan curam nan tinggi penuh debu.
 |
Watu Rejeng dan Mahameru yang terhalang awan. |
"Oh, my God!" kataku seketika melihat tanjakan melelahkan itu.
"Ya, it's a high steep path." kata salah seorang dari dua turis yang sudah lebih dulu berdiri di situ sebelum aku.
Aan menatap lama tanjakan curam itu tanpa berkata apa-apa. Tapi raut wajahnya mengucapkan hal yang sama sepertiku. Aku mendaki tanjakan curam itu lebih dulu. Debu berterbangan kemana-mana. Separuh jalan, aku melongok ke bawah dan berteriak, "Come on, what are you waiting for? Look at me, I can!" Dua bule itu tampak menatapku dan sepertinya menyangka aku sedang berbicara dengannya, padahal kusampaikan kalimat itu untuk Aan. Barangkali mereka juga heran, ada pribumi yang menggunakan bahasa Inggris dalam bicara sehari-hari.
Langkahku terasa semakin berat karena ransel berisi perlengkapan di depan dada Aan berpindah ke depan dadaku. Aku yang menawari ia menukar ranselnya dengan tas kameraku, karena wajah Aan sangat menyiratkan kelelahan dan ia sulit diajak bercanda saat kecapekan seperti itu. Setelah ranselnya berpindah ke dadaku, ia berubah ceria, tertawa-tawa, bahkan menertawakan aku yang kelelahan dengan carrier di punggung dan ransel daypack di depan dada. "Hahaha... You look so tired, man." Sialan!
'Bersama sahabat mencari damai, mengasah pribadi mengukir cinta.', lirik Mahameru Dewa 19 tak pernah salah.
Semua pendaki pasti setuju bahwa keindahan di puncak gunung adalah obat penghilang lelah seketika. Tapi ternyata tak selalu puncak, di tengah perjalanan pun terkadang lelah sudah terobati dengan keindahan lain. Ranu Kumbolo salah satunya. Walau hanya sebatas pandangan mata nun jauh di sana, bisa membuat langkah kaki menjadi kuat dan semakin cepat.
Ranu Kumbolo yang semakin dekat membuat kami bersemangat menuruni bukit untuk segera menemuinya. Khusus untukku, Ranu Kumbolo ingin berkenalan secara langsung rupanya. Di tepian Ranu, lens cap milikku terjatuh ke dasar danau tak terlalu dalam. Mau tak mau aku harus menanggalkan segala tas, kamera, sepatu dan kaus kaki. Separuh tubuhku basah oleh airnya. Kuanggap itu sebagai salam perkenalan kita, Kumbolo.






Sampai di pos Ranu Kumbolo, teman-teman lain tak menemukan Mamet. Bocah itu menghilang! Ah, tambah saja masalah pendakian ini. Perkiraan kami ia langsung melanjutkan perjalanan ke Kalimati sendirian. Dengan stamina seperti itu, Mamet masih sanggup melakukannya. Tetapi sebagian peralatan ada di tasnya. Beberapa teman lain lebih memilih menetap di Ranu Kumbolo ketimbang mengejar Mamet. Tenda ada di tas Faquh, sleeping bag dan gas ada padaku, kompor dan bahan makanan ada pada Aan. Tapi nesting dibawa Mamet. Ah, bagaimana memasak makanan kalau begini caranya. Rival masih ingin mengejar Mamet. Aku masih ingin beristirahat sambil memutar otak dan menyumpahi Mamet. Hampir setengah jam kami duduk kebingungan tanpa kejelasan menghadap Kumbolo. Dan secara tiba-tiba saja, sekonyong-konyong, Mamet berteriak sambil menghampiri kami dengan wajah bangun tidurnya. "Ooooyyy, kereen maaaaannn!"
Holyshit! Mamet baru bangun dari tidurnya di tepi danau, di bawah pohon. Ia sejam lebih dulu sampai dari kami yang menelan tiga setengah jam perjalanan. Dan selama satu jam itu, ia nyenyak tidur di pinggir danau. Mamet menghampiri kami sambil nyengir-nyengir tanpa dosa dan tanpa merasa bersalah. Kami sumpahi Mamet seketika. Berfoto-foto ria, melahap beberapa potong roti untuk makan siang, mengambil air, sholat dzuhur-ashar, lalu bertolak ke Kalimati tepat pukul tiga sore. Ohiya, melaksanakan sholat di tepi Ranu Kumbolo ini rasanya sangat menenangkan jiwa. Apalagi di puncak?
 |
Faquh, Mamet, dan Aan bermain-main dengan kabut. |
 |
Kabut menyerbu Kumbolo pukul 14.00 |
Tanjakan Cinta yang tinggi dan curam sudah menanti di depan muka. Dengan hanya dilihat saja tanjakan ini sudah sangat melelahkan. Kami berjalan dengan kecepatan sangat pelan karena menahan beban. Sungguh, meski sudah istirahat dan makan siang, tetap saja tak menolong. Sesekali aku berhenti menunggu Faquh dan Aan yang berhenti menanjak lebih banyak dari aku. Mencuri-curi napas, sesekali masih terpukau oleh pemandangan Ranu Kumbolo. Mamet masih berjalan paling depan. Konon, tanjakan curam ini diberi nama Tanjakan Cinta karena adanya sebuah mitos. Jika kita berhasil mencapai puncaknya tanpa berhenti dan menoleh ke belakang, harapan dan cinta kita akan terkabul. Kami belum mengetahuinya saat mendaki tanjakan itu.
Memang tanjakan ini sangat melelahkan, tapi bagi orang yang bersabar dan mau terus berjuang, ada keindahan sesudah dan di balik penderitaan itu. Padang rumput yang menguning menghampar berhektar-hektar. Dialah Oro-Oro Ombo.
Menuruni jalan setapak curam kembaran Tanjakan Cinta sekali lagi, setelah itu kami serasa diberi sepercik pemandangan surga. Berjalan di tengah-tengah padang ilalang yang menguning, dan sepanjang mata menjangkau hanya hamparan ilalang dengan bukit-bukit disertai ribuan cemara berbaris-baris. Aku tak henti memuji Tuhan.





Selepas hamburan savana berhektar-hektar, sampailah kami pada tepi Cemoro Kandang. Hutan cemara yang mencekam dengan jalan yang menanjak terus, terus, terus menerus. Di pintu Cemoro Kandang kami bertemu dengan dua pendaki senior yang baru saja turun. Mereka menasehati kami yang baru pertama kali mendaki Semeru. Nasehatnya lebih kami anggap menakut-nakuti karena persiapan kami yang sangat kurang. "Dari Kalimati ke Puncak masih 5 jam, yang penting air kalian cukup. Di Kalimati gak ada sumber air. Senter harus pegang satu-satu. Pasir di atas sangat tebal, hati-hati tertimpan batu. Angin di atas juga lumayan kencang. Sehabis Arcopodo hati-hati di jalan setapak dengan jurang di kanan kiri. Terpeleset sedikit aja, mati pasti. Pokonya habis Arcopodo itu hati-hati." Ya, cukup nasihatnya. Setelah merasa istirahat cukup, kami melanjutkan perjalanan menembus jantung Cemoro Kandang.
Hari semakin gelap, udara semakin dingin, jalan terus menanjak, stamina terus terkuras, air semakin habis, Mamet dan Rival meninggalkan kami. Di tengah-tengah hutan yang mencekam seperti ini rasanya nyaliku menciut kecil sekali. Jalan tak terlihat ujung rimbanya. Aku teringat cerita Father yang pernah tersesat selama satu jam di hutan ini. 'Di sana, nyalimu teruji oleh ganas cengkeraman hutan rimba.' Lagi-lagi lirik Mahameru karya Ahmad Dhani ini benar adanya. Selain banyak berhenti karena lelah, aku tak tega meninggalkan Faquh dan Aan yang nampak kelelahan dengan beban seberat itu. Mereka jauh tertinggal di belakang. Di perjalanan menuju Kalimati, aku terlalu lelah untuk menawarkan diri membawa sebagian berat beban Aan.
 |
Pintu hutan Cemoro Kandang |
 |
Cemoro Kandang (foto diambil di perjalanan pulang) |
Setelah melewati dua bukit tinggi tak henti-henti. Sampailah kami di kawasan Jambangan. Padang ilalang kembali menyapa kami dengan beberapa Edelwise yang berdiri di kanan kiri.
Setelah dua kilometer lagi, sampailah kami di Kalimati. Sang Mahameru yang tak pernah terlihat puncaknya akhirnya menampakkan diri. Gagah, perkasa, bak panglima perang berdiri sangat tangguh di depan lawan. Faquh dan Aan yang pernah berdiri di atas Merapi, mengeluh seketika.
"Buset! Masih segitu lagi sampe ke puncak?"
"Haaahhh, ini mah sama aja startnya daki Merapi!"
Sementara mereka menghampiri Mamet dan Rival di ujung jalan, aku masih terpesona dengan tampannya Mahameru. Tak pernah aku merasakan aura kharismatik begitu kuat seperti ini sebelumnya. Aura para pahlawan yang telah mati seperti bangkit lagi.
Sampai di Kalimati, langit barat sudah memerah kekuningan. Udara semakin dingin menggigit kulit. Saat itu juga kami mendirikan tenda. Mengeluarkan seluruh perbekalan, menyiapkan segala perlengkapan, mengaturnya sedemikian rupa agar 6 tubuh manusia bisa muat dalam tenda ukuran 4 orang. Maghrib itu, tubuh harus segera diistirahatkan. Perjalanan menuju tanah tertinggi tanah Jawa tinggal selangkah lagi.
Mahameru!
Labels: Catatan Perjalanan, Hanya Berbagi, Satu Bulan di Timur Jawa