Orang Tak Bersekolah yang Mendirikan Sekolah ; 11 Jul 2013

Bocah berusia enam tahun itu angkat kaki dari rumahnya, pergi dari ibu, bapak, dan kekesalannya yang ia tinggalkan di rumah. Kekesalan atas apa yang ia terima tak sesuai dengan keinginan; tak lebih, hanya sebatas ilmu pengetahuan.

Bocah seusia itu berjalan menapaki kesendiriannya dari terminal ke terminal, dari satu pasar ke pasar lain. Mencicipi aroma sayur mayur segar dan busuk di kota yang berbeda, membaui asap-asap knalpot bis jurusan Karawang, Cikampek, Cianjur yang sama saja sesaknya. Sesekali ia berhenti untuk merenungi kehidupan jalanan yang ia rintis dari kecil. Merenungi laki-laki seorang tentara berpangkat rendah beristri dua yang tak mampu mencukupi semua kebutuhan anak-istri. Yakni ayahnya, yang melemparkan dirinya berkilo-kilometer jauh dari rumah. Bertahan hidup dengan cari makan sendiri, dengan menjalani apa saja pekerjaan yang bisa menghasilkan uang. Menyemir sepatu kulit laki-laki paruh baya, mencuci mobil angkutan umum, ojek payung, sampai menghibur penumpang bis seadanya dengan nyanyian.

“Ah, pokoknya keras,” ucap lelaki itu, “hidup saya keras dari kecil.”

Laki-laki berusia lima puluhan dengan kumis tebal dan uban yang mulai meretas di sela-sela rambut hitamnya, dialah Agus, bocah kecil yang sudah meninggalkan rumah sejak usia enam tahun. Bayangan tentang masa lalunya terbuyar tiba-tiba karena bising suara knalpot bis tua di terminal Depok. Namun saya mencoba mengembalikan kenangan hidupnya dengan pertanyaan-pertanyaan yang berlanjut, meski di salah satu ruangan tak besar tempat kami duduk, bising suara knalpot itu tetap masuk.

Hidup di jalan, pindah dari satu kota ke kota, bekerja apa saja, hingga akhirnya ia berhenti melangkahkan kakinya di suatu kota pinggir Jakarta; Depok. Haji Agus Kurnia, atau yang biasa disapa dengan sebutan Abah Agus oleh kebanyakan warga terminal Depok, tak sungkan bercerita tentang masa lalunya yang pahit seperti kopi dan keras layaknya batu. Abah Agus, sebelum berlabuh di Kota Depok ia lebih dulu melanglang buana Indonesia, bahkan luar negeri. Tetapi bukan berpelesir seperti kebanyakan orang berada, melainkan menyambung napas agar bisa terus hidup.

‘Karir’ Agus tak jauh-jauh dari depan kemudi. Pekerjaannya ketika dewasa tak lain adalah supir. Entah itu supir angkutan umum, bis kota, bis malam, atau supir pribadi seperti yang ia lakukan dari tahun 1984 hingga 1989. Segala penjuru Jakarta dijelajahinya dengan kendaraan roda empat yang mengangkut penumpang. “Pulogadung, Tanah Abang, Kampung Rambutan… ah, semuanya deh kalau Jakarta,” tuturnya enggan menyebutkan satu persatu nama terminal di Jakarta.

“Sempat juga jadi supir bis malam, jurusan Kampung Rambutan-Yogyakarta. Dulu saya nyupir bis Jakarta-Jogja bawa anak dua orang, anak saya dari istri pertama. Mereka ikut saya narik dari Jakarta sampai Jogja, dari Jogja sampai Jakarta lagi,” ia berujar dengan sedikit kenangan tersirat pada air mukanya. Tahun 1987 Agus pernah menikah di Bandung dan dikaruniai dua orang anak perempuan. Tetapi bahtera rumah tangganya tak berlayar dengan tenang, Agus bercerai, dengan kedua anak perempuan kecil-kecil yang lebih memilih ikut dirinya. Mereka tidak ingin jauh sampai-sampai turut menyertai sang ayah memacu bus malam-malam melintasi jalan Jakarta-Yogya. Agus begitu mengenang bagian di mana ia bekerja sekaligus harus merawat anak. Dia tertawa kecil menceritakan saat harus memandikan dan menyuapi anak di pangkalan sehabis pulang narik, sementara teman-teman seprofesinya menikmati tawa bersama dengan pisang goreng dan segelas kopi hitam pengusir lelah. Dan di Depok pula ia menikah dengan wanita pribumi dan dikaruniai lagi dua orang putri.

Agus Kurnia bukan orang yang berpendidikan. Kehidupan jalanan nan keras yang ia lakukan sejak umur enam tahun memaksanya tak pernah mengecap pendidikan formal sekalipun. “Tidak, saya tidak sekolah. SD pun tak pernah. Tapi Alhamdulillah bisa membaca, berkat pergaulan,” ucapnya getir.  Namun dari situlah semua hal besar yang ia lakukan bermula. Termasuk mendirikan sekolah gratis bagi anak-anak jalanan dan anak-anak yang kurang mampu. Ya, sekolah yang terkenal sepenjuru Indonesia, bahkan sampai ke luar negeri; Sekolah Terbuka Master.

“Sebenarnya ini dendam saya sewaktu kecil, dendam pribadi karena saya bodoh dan tidak bersekolah. Saya memiliki cita-cita saat itu, apabila saya dewasa nanti ada di suatu tempat dan memiliki kapasitas saya akan merangkul anak-anak yang nasibnya seperti saya dulu, dan diberikan pendidikan,” katanya tegas tanpa ada keraguan.

Semua bermula saat ia datang ke Kota Depok tahun 1997. Trayek bis kota yang ia kemudikan memaksanya harus lebih sering berkunjung ke terminal Depok dan menjatuhkan pilihannya untuk menetap di sana. Ada keprihatinan dalam dirinya tentang kondisi terminal Depok yang berpetugas namun kejahatan masih sering ditemukan. Warga terminal dan setiap orang yang berada di terminal tidak mendapatkan kenyamanan dan rasa aman. Maka muncul suatu gagasan untuk membentuk satu organisasi yang menaungi seluruh kegiatan di terminal Depok serta mengorganisirnya dengan baik. Tujuannya untuk memberantas premanisme dan membersihkan terminal dari segala bentuk tindak kejahatan. Sapu Jagad namanya, kependekan dari Silaturahmi Antar Penduduk Jalankan Gerakan Demokrasi. Berdiri tahun 1997, dan tidak berlangsung lama nama itu diganti menjadi Paguyuban Terminal alias Panter. “Ada satu perguruan bela diri di Jakarta yang sudah punya nama itu lebih dulu,” Agus mengungkapkan alasan pergantian nama.

Premanisme tak mudah diusir begitu saja. Selama enam tahun Agus harus memiliki banyak musuh dan diberi julukan sok pahlawan karena ingin mengusir para preman di terminal. Enam tahun yang setiap  minggunya minimal ada dua keributan yang ia dapatkan. Hingga akhirnya terminal benar-benar bersih dari premanisme dibawah gerakan Panter yang kemudian berbadan hukum pada tahun 2004. Dari situlah Agus Kurnia mendapat gelar penghormatan dari warga terminal dengan sebutan Abah Agus. Seseorang yang dituakan dan disegani oleh penduduk Terminal Terpadu Depok.

Hal yang ia lakukan tak berhenti hanya dalam memberantas premanisme. Kini ia mulai bergerak membalas dendam masa lalu yang pernah ia cita-citakan. Di tahun 2000, anak jalanan yang berkeliaran di terminal Depok saat itu sedang banyak-banyaknya. Mereka anak-anak dengan usia yang seharusnya sedang berada di kelas untuk menerima pelajaran, bukan di jalanan untuk mencari makan seperti yang sedang mereka lakukan. Ini persis apa yang pernah ia alami sewaktu kecil. Kemudian dikumpulkannya anak-anak jalanan itu yang berjumlah 60 orang. Diberi makan, dibuatkan rumah tempat bernaung walau hanya terbuat dari kardus di dalam salah satu ruangan tak terpakai di terminal, dan tentu saja yang tak terlupakan; pendidikan. Sadar dirinya tak bisa memberikan pelajaran, Agus meminta bantuan Nur Rohim, sekertaris Panter, untuk mendidik mereka dan mendirikan sekolah gratis bernama Sekolah Terbuka Master. Nama Master merupakan kependekan dari Masjid Terminal, awal mula tempat belajar mengajar sekolah Master sebelum memiliki bangunan dan kelas sendiri.

Pada tahun 2004, sekolah Master mulai aktif memberikan pendidikan gratis kepada anak-anak jalanan yang kurang mampu. Sekolah bertempat di terminal dan siswanya diisi anak-anak jalanan, bukan berarti kualitas orang-orang di dalamnya juga rendahan. Tak sedikit siswa lulusan sekolah Master yang mendapatkan beasiswa di perguruan tinggi negeri maupun swasta, termasuk Universitas Indonesia, bahkan juga perguruan tinggi Afrika Selatan dan Arab Saudi. Keterbatasan yang membuat mereka melampaui batas kemampuan. Tak heran sekolah ini begitu terkenal di media-media lokal maupun nasional, dan bahkan Al Jazeera TV pernah membawa kabar sekolah ini ke ranah internasional.


Sekalipun kita susah, kita harus bermanfaat untuk orang banyak. ~Abah Agus

Saat itu yang ada di benak Agus tidak cukup hanya merawat anak-anak jalanan dan memberikannya pendidikan gratis. Ia sadar selain pendidikan yang diajarkan langsung, mereka juga butuh pengetahuan lebih yang didapat dari buku. Ya, taman bacaan. Agus menginginkan segudang buku berada di terminal untuk bebas dibaca oleh siapa saja. Taman baca di terminal kala itu sudah membenam di benak Agus sejak 2004, namun baru terlaksana diwujudkan di ujung tahun 2011.

Kali ini Andi Malewa, sarjana Teknik lulusan Universitas Pancasila Jakarta, yang menjadi tangan kanan Agus untuk membangun taman baca di terminal. Andi yang semenjak masih menjadi mahasiswa sudah bergabung dalam kepengurusan Panter, membuat taman baca bernama Rumah Baca Panter di salah satu kios di deretan terminal Depok. Pemuda itu gencar menyuarakan dan mengiklankan rumah baca yang ia rintis bersama beberapa orang rekannya lewat media sosial. Dan usahanya berbuah manis, kios itu kini sudah berubah menjadi gudang berbagai macam buku yang boleh dibaca oleh siapa saja. Tempat yang menjadi perbincangan antara Abah Agus dengan saya kala itu.

Pengunjung taman baca berasal tak jauh-jauh, yakni warga terminal dan pengamen-pengamen cilik. Anak-anak kecil yang biasa mengamen di lampu merah dan bis-bis kota itu memiliki hasrat belajar yang menjulang. Tak sedikit dan tak jarang mereka datang ke Rumah Baca Panter untuk mengikuti kelas belajar. Benar, selain menyediakan buku yang bebas dibaca siapa saja, Rumah Baca Panter menggaet para relawan yang kebanyakan mahasiswa untuk berbagi pengetahuan dengan anak-anak jalanan. Kelas belajar itu tak hanya ilmu alam, ilmu sosial, atau ilmu bahasa. Tapi juga mengajarkan seni bermain biola, seni drama dalam teater, dan diskusi. Jika Rumah Baca Panter mengadakan suatu acara, para seniman cilik ini akan berunjuk kemampuan yang selama ini dilatihnya.

“Karena sangat terasa menjadi orang bodoh itu selalu dibodohi orang lain. Tetapi saya prihatin banyak orang pintar yang membodohi orang. Dan ternyata kepintaran tidak menjamin meluruskan karakter orang itu sendiri,” kata-kata itu keluar dari ‘orang yang tidak bersekolah’ di depan saya. Matanya menerawang dengan kekhawatiran membayangkan orang-orang semacam itu yang banyak hidup di negeri ini.

Pria 50 tahunan itu tertawa seraya mengakui dirinya sebagai ROMUSA, Rombongan Muka Susah. Romusa yang ia maksud adalah dirinya bersama kawan-kawan seperjuangannya yang hidup di terminal. Yang hidupnya tidak jauh berbeda dengan dirinya. “Kita sebagai Romusa jangan mau kalah dengan rombongan orang-orang senang. Bagi saya, sekalipun kita susah, tapi harus bisa berbuat yang manfaatnya bisa dirasakan orang banyak.”

Pembicaraan kami terhenti di situ. Ketika kopi susu di hadapan kami berdua hampir habis, dan waktu sudah banyak bergulir entah kemana.

Labels:

permalink | 1 comments (+)

« BACK FORWARD »