Ujian Nasional, Dirasakan dari Sudut yang Terpinggirkan ; 13 Apr 2013
Pagi yang hampir habis, menjelang tengah siang yang akan dijeda oleh ritual keagamaan umat Islam. Tepatnya tanggal 12 April sekitar jam 10 pagi, aku pertama kali menginjakkan kaki di sekolah yang banyak jadi pembicaraan dan pemberitaan. Lokal, nasional, maupun internasional. Sekolah itu berada di sekitar terminal Depok, berada di sudut belakang tempat pemberhentian bus besar maupun kecil dan angkutan umum. Bukan sekolah negeri yang berdinding tembok kokoh, lapangan besar, laboratorium, kantin dan sebagainya. Tapi sekolah yang dibentuk dari kontainer bekas yang dicat beragam gambar dengan warna-warni. Sekolah Master, sekolah yang katanya untuk anak-anak yang hidupnya kurang beruntung; anak-anak jalanan, ataupun anak dari keluarga miskin. Sekolah sederhana dari tingkat usia dini hingga SMA terbuka.
Sebenarnya aku ditugaskan untuk melakukan liputan persiapan ujian nasional SMA 2013 yang akan dilaksanakan pekan depan. Ah, persetan dengan liputan, aku ingin mencari cerita kehidupan. Siang itu setelah merasa cukup melihat-lihat bangunan sekolah yang sederhana, aku mencari seseorang yang tepat yang kujadikan sumber informasi. Aku bertemu dengan seorang pria yang masih muda dan belum terlalu tua beranama Sugeng, ia seorang pembina relawan di sekolah Master. Dan aku mendapatkan pelajaran dari apa yang ia ucapkan.
Ia menirukan kalimat yang ia ucapkan kepada siswa-siswi Master di hadapanku. "Ujian nasional bukan segala-galanya buat masa depan kalian. Dan kalian harus yakin masa depan kalian ada di tangan kalian, bukan di ujian nasional," ia bersuara sangat lantang. Pria yang berbadan gempal ini menilai bahwa sekolah bukanlah satu-satunya penentu kehidupan di masa datang. Dia memiliki pemikiran tentang kehidupan dunia nyata yang lebih mirip rimba belantara, setiap orang harus bisa survive untuk tetap bisa bertahan hidup. Yang bukan tergantung dengan sekolah. Tapi pada keyakinan dan kepribadian seseorang untuk selalu bertahan dalam berusaha. Ia menekankan pada anak-anak didiknya bahwa tak ada yang istimewa dengan ujian nasional. UN hanya sebatas formalitas pendidikan untuk mendapatkan selembar kertas ijazah. Bukan sebuah kesalahan fatal jika nanti menjumpai kegagalan dalam ujian nasional.
Ia mengatakan sekolah Master bukanlah pencetak manusia-manusia pintar nan cerdas yang apabila lulus dan menghadapi rimba kehidupan kemudian menjadi pesaing yang menyikut semua orang. Evaluasi pembelajaran yang berada di sekolah Master bukanlah semata-mata nilai akademis, tetapi bagaimana membentuk nilai-nilai dan karakter pribadi seseorang. Sejenak aku berpikir, ah, apakah itu inti dari pembelajaran seseorang terhadap ilmu pengetahuan? Dan, bukankah itu yang harusnya ditirukan oleh semua sekolah? Coba pikirkan.
Obrolan kami sempat dua kali terputus oleh seorang anak kecil bertubuh besar yang sepertinya berketerbalakangan mental. Ia meminjam motor, Sugeng memberikan karena tak mau membuat pembicaraan kami terganggu. Namun di waktu selanjutnya, anak itu kembali dengan mengendarai sepeda motor "laki" di tengah-tengah bocah yang berlarian di lapangan. Ia dimarahi oleh Sugeng, lalu takut dan menurut. Menuntun sepeda motornya ke tempat di mana tadi diparkir. Aku tersenyum kecil melihatnya.
Sugeng juga menceritakan, ketika siswa-siswi sekolah lain sibuk mempersiapkan ujian nasional dengan belajar mati-matian di bimbingan belajar, siswa Master sibuk memikirkan ongkos berangkat ke sekolah tempat di mana mereka menumpang ujian. Setelah selesai dengan obrolan kami, aku beralih pada enam orang siswa kelas tiga yang terlihat sibuk dengan map berisi berkas-berkas. Aku lupa siapa saja namanya, yang hanya kuingat seorang anak perempuan berkerudung dan beralis tebal bernama Tika. Mereka sedang menyiapkan berkas untuk pengajuan beasiswa. Anak-anak itu, ah, lagi-lagi semangat mereka menyindirku. Mereka sibuk mempersiapkan beasiswa untuk masuk UI, semuanya ingin masuk UI. Meski aku sedikit melihat kecemasan di raut-raut wajahnya.
"Niatnya kamu mau ambil jurusan apa, Tika?" tanyaku.
"Sastra Indonesia, kak."
"Suka menulis kah? Menulis apa?"
"Iya aku suka nulis. Nulis puisi, cerpen, macem-macem."
"Memang cita-cita Tika apa?"
"Penulis, kak. Atau Jurnalis."
Hatiku tersenyum mendengarnya. Wajah-wajah mereka terlihat kelelahan karena kelebihan belajar. Memporsir waktu belajarnya di mana saja. Demi lulus ujian nasional. Mereka sadar, dan aku pun menyadari, latar belakang keadaan mereka tak seberuntung siswa di sekolah negeri lain. Aku melihat pesimistis ada pada keadaan mereka, tapi tidak pada jiwanya yang optimsitis. Semangatnya menyala terang menutupi lubang putus asa.
Ah, ilmu pengetahuan. Seharusnya semakin tinggi seseorang memilikimu, semakin rendah ia mempunyai hati. Bukan semakin tinggi ia berlimu, semakin jadi ia merendahkan diri orang lain.
Bersyukurlah orang-orang sepertiku yang menelan ilmu pengetahuan hingga perguruan tinggi. Dan kumohon sadarlah engkau yang bersekolah tinggi tapi menyianyiakannya.
Labels: Hanya Berbagi