Menjadi Sebenar-benarnya Pria ; 22 Feb 2012

Darinya aku belajar menjadi pria, perlahan-lahan, remaja dalam diriku beranjak dewasa tanpa meninggalkan muda. Pria sebenar-benarnya Pria. Bukan macam pria kebanyakan, tapi Pria berbeda yang memiliki pribadinya sendiri. Pria yang akan membuat wanita berkata "ah!" lalu hatinya luluh sudah, leleh tak berupa. Bukan, bukan semata membuai wanita macam anak muda di zaman yang sudah tua, tapi perlakuan yang sungguh untuk menyenangi hati para cucu hawa. Perlakuan yang (menurutku ia) tulus untuk menghargai, melindungi, menjaga dan muliakan wanita.

Barangkali ia mengikuti ajaran agamanya, Islam, yang mengajarkan kami untuk memuliakan wanita. Jangan kau tanyakan kenapa dan sangsikan aku tahu darimana, aku melihatnya. Aku melihat ia menggenggam erat tangan istrinya saat menyebrang jalan, memposisikan dirinya ditabrak lebih duluan. Genggaman yang mengatakan: aku tak ingin kehilangan. Genggaman yang sama ia lakukan saat membantu istrinya menyebrang sungai di lereng pegunungan. Di lain hal, aku melihat pula cara ia mencintai istrinya diam-diam. Membuat cinta jadi bahan lawakan, tertawaan, tapi tertimbun sangat dalam. Juga pada matanya, yang tak sengaja kulihat sedang mencuri waktu untuk memandang mata istrinya, meledeknya, lalu cinta berhamburan di udara. Padahal kami ada di sekitar mereka, seakan berkata: dunia itu tetap milik kau dan aku saat kita sedang dan masih jatuh cinta.

Wanita tak hanya istrinya, yang kutahu dan kukira, ia turut pula menghargai wanita lain, walau masih saja ia tutupi dengan ledekan atau canda. Ibunya, anak perempuannya, juga wanita lain yang mungkin ia anggap sahabat atau saudaranya. Bila ingin tahu cintanya yang diam-diam dan dalam-dalam, buka surat ini, ia tulis tanpa menyampaikan pada siapa surat itu dialamatkan. Meski ia sangat tahu untuk siapa surat itu ia tuliskan. Di sini aku belajar, kawan, menjadi pria tulus yang mencintai diam-diam, tanpa dikatakan, ditanam dalam-dalam, namun dibuktikan dengan perbuatan.

Mungkin aku tak banyak tahu peran ia sebagai anak, tapi ia mengajarkan bagaimana menjadi ayah sekaligus sahabat bagi anak-anaknya. Ayah yang mencintai anak-anaknya sebagaimana ia mencintai wanita yang melahirkannya. Ia menjadi laki-laki paling pria bagi anak perempuannya. Dan ia menjadi pria paling bijaksana bagi anak lelakinya, meski sebenarnya, dalam hidup dan hatinya ia masih terus belajar. Ia Ayah yang tak bosan mendengar cerita anak-anaknya, yang tak segan menjawab pertanyaan menyulitkan dari anak-anaknya. Ia ayah yang berusaha hebat meski tidak hebat, yang bijak walau masih perlu belajar banyak. Barangkali selain cinta yang tak perlu lagi dikata, ia melakukan itu berharap anak-anaknya bercerita dengan seru dan berkata pada teman-temannya dengan bangga yang penuh sesak dalam dada: Dia ayahku!

Bila kau ingin mengenal pribadi seseorang, kawan, jangan lihat pada apa yang melekat di tubuhnya, tapi lihat isi kepala dan hatinya. Aku tak belajar untuk bersikap menyebalkan di depan orang-orang tapi berbuat hal mengagumkan saat tak ada orang lain yang melihat. Aku tak belajar menjadi pria yang tak tahu kapan pernah katakan cinta pada istrinya tapi selalu mengucap ‘i love u’ di tiap detik diam-diamnya. Aku tak belajar menjadi pria yang menjadikan cinta dan mesra hanya untuk milik berdua. Aku tak belajar menjadi ayah seperti dirinya. Aku tak belajar menjadi pria seperti dia. Melainkan aku belajar menjadi pribadi yang berbeda dengan menjadi diri sendiri. Belajar mencintai dengan caraku menjadi diri sendiri.

Sebenarnya aku gengsi menulis ini, seperti dirinya yang gengsi mengatakan kangen pada (at)kawanfun. Karena dalam bicaranya di depan orang-orang ia sibuk mencela, sedang dalam hatinya ia tulus mencinta.

Labels: ,

permalink | 0 comments (+)

« BACK FORWARD »