Lelaki Tampan Hati ; 13 Dec 2011

Dia, satu-satunya lelaki yang pernah kutemui dengan hati paling putih. Dia, seseorang yang di dalam dada kirinya terdapat warna seperti dada merpati. Dia, yang memiliki hati paling bersih diantara ratusan orang yang segaris takdir denganku: Ahmad Fikri.

Ini hanya goresan tangan atas kekagumanku pada seseorang berpribadi. Seorang laki-laki yang benar-benar pria. Yang telah menurunkan ilmu beribu-ribu ayat kepadaku: guruku. Meski aku tahu, ia tak akan membaca tulisanku ini. Tapi aku tahu, Allah membacanya.

Ia anak betawi asli. Pemuda yang sudah menjadi ayah, yang belum mencapai usia lebih dari 33. Lelaki yang rendah hatinya serendah-rendahnya bumi. Pria yang tulus hatinya seikhlas ia menyerahkan segala sholat, ibadah, hidup dan matinya kepada Tuhannya. Laki-laki polos yang terkadang membuat senyum melengkung ikhlas di bibirku karena mengagumi betapa baik hatinya.

Aku memanggilnya Ustadz Fikri. Pria itu tak lebih tinggi dariku. Kulitnya sawo matang khas Indonesia. Air mukanya selalu cerah karena basah air wudhu. Wajahnya tegas, tatapannya terang seperti sebenar-benarnya pria. Kurang lebih, sama tampannya seperti Bambang Pamungkas. Tapi untuk apalah fisik semata? Di sini aku ingin membicarakan ketampanan hatinya. Dialah ‘serendah-rendahnya’ orang yang pernah kutemui dan ‘setinggi-tingginya’ orang yang juga pernah kujumpai. Tawadhu. Ia bak tanaman padi, semakin berisi semakin ia merunduk ke bumi. Ada suatu ketika saat ia sedang berbicara dengan seorang guru keturunan arab bernama Ali, yang biasa dipanggil Habib Ali. Guru ini adalah teman sekelas guruku semasa-masa mereka menuntut ilmu bersama. Guruku berbicara padanya hanya memanggil nama: Ali. Tanpa gelar habib di depannya. Kemudian ada seorang keturunan arab lain yang membentak guruku. Memarahinya karena dianggap tak sopan telah memanggil gurunya tanpa gelaran Habib. Ahmad Fikri hanya diam, mendengarkan omelan orang itu.

“Tak sopan kamu memanggil Habib Ali hanya dengan nama. Ustadz mana kamu? Belajar dari mana kamu?” katanya menanyakan asal-usul guruku menuntut ilmu.

Kemudian dijawab oleh guruku dengan senyum dan kerendahan hati, “Saya mah ustadz kampung. Belajarnya di kampung.”

Lalu Habib Ali menegur orang itu di belakang guruku. Berkata bahwa yang ditegurnya teman sekelasnya dulu sewaktu sama-sama belajar di Hadramaut, Yaman. Lantas orang tersebut mendatanginya kembali dan meminta maaf.

Ya, seperti itulah ia bila ditanya asal-usulnya. Dijawabnya dengan jawaban ‘ustadz kampung’. Padahal ilmu yang ada padanya begitu tinggi. Tamat SD ia belajar di pesantren Darrul Hadits, Malang, kemudian melanjutkan studinya di Rubat Tarim, Hadramaut, Yaman. Sama sekali tak ada rasa sombong dan ingin dikenal di hatinya. Tak jarang ia dihardik orang karena dianggap berbicara tak sopan –memanggil nama- pada guru-guru yang mereka panggil habib. Padahal guru-guru mereka adalah teman bahkan adik kelasnya sewaktu di Yaman. Ia selalu terima hardikkan itu dengan senyum. Bila menghadiri majelis, ia duduk di belakang. Tak mau di depan. Hanya bila dipaksa oleh yang sedang berbicara –yang biasanya banyak mengenalnya-, baru ia duduk di depan.

Kepada orang yang lebih tua, ia santun luar biasa. Ucapannya jauh, sangat jauh berbeda ketika berbicara pada yang lebih muda atau sebaya. Perkataannya lemah lembut, pelan dan selalu disertai senyum. Ia pasti mencium tangan orang tua itu walau ia bukan ulama, melainkan hanya renta biasa. Bila menyantap makanan, ia pasti memanggil muridnya untuk makan bersama. Tak sungkan meminum air dari gelas muridnya, menghabiskan sisa kue bekas muridnya. Pernah ia berkata, “Surga itu lebih luas dari langit dan bumi, saya gak akan tahan tinggal sendirian di sana, saya ingin bertetangga dengan murid-murid saya dan jamaah saya.”

Mengenai keikhlasan hatinya, sungguh semuanya ia serahkan pada Tuhannya. Pernah seusai mengajar di masjid sandalnya hilang, dicuri orang. Seorang sepuh yang ada di sebelahnya marah seraya memaki-maki. Dan kakakku yang ada di sebelahnya menawarkan sandalnya untuk dipakai Ustadz Fikri. Namun apa dia bilang?

“Gak usah, biarin. Biar nanti dibalas surga sama Allah.” kemudian ia berjalan tanpa sandal dan tanpa peduli. Seperti tak terjadi apa-apa.

Bahkan sejak awal-awal mengajar, ia tak pernah diberi sepeser pun imbalan dari perjalanannya Mampang-Depok untuk memberi ilmu. Pernah ia mengajar seorang pebisnis yang menanyakan berapa nominal pasti yang harus dibayarnya pada guruku. Dan ia jawab, “Gak usah mikirin bayaran. Yang penting ente mau belajar dulu. Biar Allah yang bayar saya.”

Guruku sering ditipu. Terutama dalam hal berbisnis atau jual beli. Ia begitu polos, percaya pada iklan-iklan jual beli motor di koran yang memintanya mentransfer uang lebih dulu tanpa ada bukti nyata. Tiga kali kejadian seperti itu dan untungnya Allah melindungi. Pernah pula ia membeli sapi untuk qurban, yang ternyata sapi tersebut sudah terjual dan menjadi milik orang lain. Juga royalti property yang tak kunjung ia dapatkan seperti yang dijanjikan. Padahal ia mencari rezeki bukan untuk dirinya sendiri, tapi untuk masjid. Ia ketua pengurus masjid yang sedang dibangun di dekat rumahnya. Ia yang mengajarkan pada muridnya untuk ikhlas bersedekah, tak menghitung-hitung berapa yang harus dikeluarkan berapa yang disimpan. “Jangan perhitungan pada Yang memiliki rezeky.”

Ia jarang marah. Suatu ketika saat berkendara ia ditabrak orang lain sehingga terjatuh dari motornya. Kakinya luka-luka, tapi ia sama sekali tidak marah. Yang menabraknya meminta maaf dan ia memberikannya serta-merta dengan cuma-cuma. Yang keluar dari mulutnya hanya nasihat, “Lain kali kalau naik motor hati-hati ya.”

Ia hanya marah soal ibadah. Terutama pada warga kampungnya yang tak mau bersedekah untuk menyumbang pembangunan masjid. Bahkan pernah ia berkata, “Siapa yang gak mau nyumbang buat masjid, nanti pas dia mati gak gue solatin!” dan setelah itu warganya ramai-ramai bersedekah untuk masjid. Ada-ada saja!

Hatinya polos. Benar-benar polos. Yang membuatku tertawa terbahak adalah saat ia bercerita tentang telepon genggamnya yang jatuh hingga tercelup pada kubangan banjir. Ponselnya mati seketika karena terendam habis di air banjir. Ia tahu air itu kotor dan mengandung najis. Dan tahukah apa yang ia lakukan? Telepon genggam itu ia cuci di kucuran air keran! Untuk menghilangkan najis, dan setelahnya ponsel itu kembali hidup seperti biasa.

Ia pernah berkata, “Carilah guru yang benar-benar mengamalkan ilmu, akhlak serta perilakunya. Dan cari asal-usul dari mana ia belajar.” Dari kalimat itu aku masih mendengar nadanya yang merendah.

Bagiku ialah guru sebenar-benarnya guru. Ia mengajarkan ilmu tak hanya syariat Islam. Tapi juga ilmu-ilmu kehidupan. Tentang bersikap, berakhlak, ikhlas, ketulusan dan kerendahan. Kata-katanya yang selalu kuingat adalah:

“Kalau kamu bertemu masalah, dan menganggap masalah itu besar, sebenarnya bukan masalah itu yang besar, tapi hatimu yang kecil.”


Teruntuk guruku, Ahmad Fikri, semoga Allah selalu melimpahkan rahmat dan kasih sayang kepadanya.

Labels: ,

permalink | 0 comments (+)

« BACK FORWARD »