“Jika Kau Pintar Kau Akan Mengerti Isi Pesan Ini” ; 10 Oct 2011
“Jadi aku bodoh kalau aku tidak bisa membaca isi pesan ini?”
“Kau sendiri yang bilang begitu, bukan aku. Padahal belum tentu kau bodoh, bisa saja belum pintar, tidak terlalu pintar atau tidak begitu mengerti.”
Si pemuda bersemangat api memutar isi kepalanya. Berpikir mengenai makna dari kata yang baru saja terlontar untuknya. Ia merasa sudah cukup hebat sebelumnya, namun di hadapan orang tua itu ia bak pemuda kampung sombong yang belum mengenal eropa, afrika dan amerika.
“Kau ini, semangatmu boleh berapi-api, aksimu boleh kau perlihatkan dan dilihat orang-orang, pemikiranmu boleh mengkritisi sesuatu. Tapi tolong isi dulu itu semua dengan ilmu.”
“Sudah. Aku sudah punya cukup ilmu untuk mendebatmu!”
“Itu menurutmu, coba kau lihat dunia di luar sana. Yang tadi kau ucapkan kau sudah punya cukup ilmu akan berubah seperti kutu. Orang-orang bukan cuma di kampungmu saja, di kotamu saja, bukan cuma di negaramu saja.”
Pemuda itu merasa tertindas, terkucilkan. Ia terus memikirkan sesuatu, entah itu kata-kata, gagasan, ide atau bahkan kekuatan fisik kalau otaknya sudah tak mampu lagi bekerja. Namun ia tetap menahan emosinya.
“Lihat, aku sudah bisa membuat media!”
“Hah, kau cuma mencuri ilmu dari bom lain untuk membuat suatu bom. Sedang kau sendiri tak tahu itu bagaimana caranya membuatnya. Kau cuma bisa memerintah dan mengendalikan dengan kekuasaanmu. Berharap kau bisa mengubah sesuatu, tentu dengan motivasimu tersendiri di balik itu.”
Pemuda itu memandang sebuah bom canggih hasil ciptaannya. Lebih tepat dibilang hasil jiplakkannya. Ia mencuri bahan-bahan pembuat bom itu dari pencipta bom lain yang sudah lama diakui dan lebih pintar darinya. Bom luar biasa, sebuah media yang akan membantunya menghancurkan kekuasaan raja yang lalim.
“Tak bisa kah kau menghargai karyaku sedikit? Aku sudah membuatnya, beberapa langkah lebih di depan dari orang yang tidak bisa membuat media atau diam saja membiarkan hidup orang-orang dalam pengkhianatan diam-diam raja lalim itu!”
“Yah, kau cukup cerdik karena sudah bisa membuat media.”
“Nah!”
“Tapi, tidak di barat tidak di timur, seseorang yang ingin mendapatkan sesuatu memang selalu cerdik. Lihat saja koruptor, kalau mereka bodoh, mereka sudah ditangkap tanpa bisa ia nikmati harta haramnya itu.”
Ia kembali menundukkan kepala. Mengerutkan kening, menautkan alis. Kini otaknya tak lagi berputar, tapi terpelintir seperti pakaian basah diperas hingga kering. Masih memikirkan cara untuk bisa menaklukkan orang tua di hadapannya.
“Tapi lihat, aku tidak diam saja. Aku sudah berusaha membuat suatu media untuk menghancurkan raja lalim itu. Lihat! Sekali tembak binasalah mereka!”
“Hei, nak. Kau tahu orang pemberani itu hanya sedikit bedanya dengan orang bodoh? Tentara pemberani bisa maju kapan saja melawan musuh yang menyerangnya, meski ia tahu lawannya lebih banyak darinya, ia tetap maju. Tapi ia mati. Bodoh atau berani menurutmu? Perang itu tak hanya menggunakan otot, tapi juga otak! Kalau mau menyerang jangan grasak-grusuk, sangat terlihat kualitas dirimu sampai dimana bila seperti itu. Menyelinaplah dengan halus, dan bunuh diam-diam lawanmu bahkan ia sendiri pun tak tahu ia sedang dibunuh. Pintarlah, nak!”
Pemuda itu merasa sangat kecil, merasa sangat bodoh. Dia dan media yang dibuatnya dengan mencuri dari bahan-bahan media orang lain sedang diperolok oleh orang tua. Orang tua yang katanya bila seribu hanya bisa memindahkan gunung saja. Sedang sepuluh pemuda seperti dirinya bisa mengguncang dunia! Tapi si pengguncang dunia tak bisa apa-apa di hadapan pemindah gunung. Tentu saja, bila si pengguncang dunia tak berilmu.
“Lihat dirimu nak, tubuhmu, kulitmu, antenamu, gigi taringmu. Compang-camping tak berdaya. Semangatmu sudah terlalu banyak kau buang pada hal-hal yang tak berguna. Bagaimana orang lain mau percaya orang sepertimu bisa mengubah negeri, sedang untuk dirimu sendiri kau tak peduli!”
Pemuda itu tak bisa berbicara lagi. Hanya diam mendengarkan nasehat orang tua. Diam merenung.
“Tak usah terlalu jauh mengambil contoh, lihat seberapa pintar kau tak menyia-nyiakan penderitaan ratumu melahirkanmu. Kau diberi pendidikan untuk belajar mencari makan, tapi kau lalaikan dengan bermain-main tanpa merasa punya dosa. Semut seperti inikah yang dibilang berpikiran kritis untuk mengubah dunia dengan menghancurkan raja belalang yang lalim? Hah?”
Labels: sepenggal kisah (cerpen)