Untuk Kita, yang Menyebutnya Keluarga ; 8 Nov 2011

Sesungguhnya aku tidak menyukai politik. Benci terhadapnya. Namun seseorang pernah mengatakan, jangan membenci politiknya tetapi bencilah orang-orang di dalamnya. Dan aku, membencinya dengan sederhana. Bila dalam skala besar, politik terkadang lebih kejam dari pembantaian. Bahkan tak jarang pembantaian itu sendirilah politiknya. Dari mulai suara hingga nyawa, dipaksa tercabut demi suatu kuasa. Dan ada apa gerangan seseorang yang tidak mau menyebutkan dirinya saya karena keakuannya, yang mengaku tidak menyukai politik, berbicara tentang politik? Sesungguhnya ini bukan tentang kekuasaan, kawan. Ini tentang aku yang apatis terhadap politik, dan sesuatu yang hidup di dalam dada kiriku merasa terusik: karena bahtera keluarga yang tlah berlayar sedemikian jauh tengah melawan gelombang pasang.

Ada masanya seseorang menerima ujian, mendapatkan kegagalan, tak lain adalah pemantapan atas diri sendiri satu tingkat dari sebelumnya: inilah pembelajaran. Tak ubahnya seseorang, sebuah keluarga –kecil atau pun besar- juga mengalami pendewasaan.

Apa yang ada di pikiranmu tentang ketidakadilan? Apa gagasanmu tentang sebuah kecurangan? Tentang sebuah invisible hand yang mengotak-atik sesuatu untuk sebuah kekuasaan? Kiasan tangan yang tak terlihat itu, memang sangat halus, hingga tak terlihat, hingga kita tak merasa sesuatu sedang berusaha mengendalikan kita. Kau tahu setan? Tipu dayanya begitu memikat, berbisik di telingamu dengan halus, sangat halus, pelan-pelan menjebakmu pada sebuah kenistaan.

Kawan, kuberi tahu kau. Ketidakadilan itu diciptakan Tuhan, untuk menguji kemanusiaan tiap manusia. Penyair dan pemikir, Goenawan Muhammad, pernah bilang: Di negeriku, korupsi dan atap sekolah roboh sudah tak lagi menjadi berita. Salah satu jiwa kemanusiaan yang terusik. Mungkin ini yang disebut dengan perjuangan yang lebih sulit dari mengusir penjajah: melawan bangsa sendiri. Melihat koruptor bebas berlibur dari televisi, melihat maling ayam dipukuli sampai mati sedang mereka yang ucapannya tak bisa dipegang tertawa-tawa diatas kekayaannya sendiri. Dan yang mengerikan, aku melihat bibit-bibit anggota DPR masa depan yang sama saja dengan anggota DPR saat ini, dengan mata kepalaku sendiri. Beserta cara-cara berpolitiknya yang ia pelajari sebagai bekal saat perut mereka mulai membuncit kelak. Kata sahabatku: Hanya massa dan kekuatan, itulah yang mereka gunakan untuk meraih kekuasaan, tidak diimbangi dengan kualitas diri.

Klise memang. Sangat sangat sangat klise berbicara idealis seperti ini. Banyak orang bilang: idealisme mudamu itu akan habis terkikis seiring bertambahnya usia dan perjumpaanmu dengan kejamnya dunia yang disebut realita. Tapi kawan, semua itu tergantung pada iman. Relakah kau menggadaikan harga diri untuk sebuah materi, menanggalkan keyakinan untuk sebuah kekuasaan, mengkhianati hati untuk sebuah kepentingan pribadi? Kau yang tahu jawabanmu sendiri. Kalau sudah begitu pun kau masih mengelak membohongi diri sendiri, Tuhan Maha Mengetahui. Bahkan isi hatimu saat hati itu sama sekali belum terisi.

Umpama akademismu yang selalu mendapat nilai A kini mendapat nilai D, hatimu akan terguncang tentu saja. Akan ada dirimu-dirimu yang lain di dalam kepalamu yang mempertanyakan mengapa mendapat nilai buruk, mengapa bisa begini, mengapa bisa begitu. Dan jika kau bertanya pada orang tuamu tentang masalah itu, mungkin mereka akan menjawab: Semua orang pernah mengalami itu, jalani saja, inilah masa pendewasaanmu. Guru rohaniku, Pramoedya, bercerita dalam Bumi Manusia: Hidup bisa memberikan segalanya pada orang yang ingin dan pandai menerima.

Tidak ada manusia yang bodoh, kecuali mereka yang tidak mau belajar. Tidak ada orang yang gagal kecuali mereka yang tak lagi mau berusaha.


Dariku, pribadi yang apatis terhadap pemerintah, tapi tidak untuk keluarga.

Labels:

permalink | 0 comments (+)

« BACK FORWARD »