The Quran That Seldom Rest ; 15 Oct 2011
Aku sedang membuka-buka kenangan lama waktu itu. Di lantai teras belakang rumah. Aku dengan sekotak dus lumayan besar berisi buku-buku, membuka-buka masa lalu. Seperti halnya sebuah kenangan, ia sudah lusuh, berdebu, rapuh dan tak tersentuh.
Aku menemukan dus lumayan besar itu di kamar ibu. Di dalam lemari tempat menggantung kemeja, jas dan pakaian lainnya yang tak dilipat. Di bawahnya. Bersama dus-dus kotak sepatu yang isinya bukan sepatu dan tas-tas yang tak lagi dipakai ibu. Isinya, hanya buku-buku.
Ada yang tebal, tipis dan sedang. Buku pengembangan diri terkenal, novel dan kamus jepang. Satu buku yang menarik mataku lebih kuat dari gravitasi bumi adalah sebuah yang cantik. Berwarna ungu dengan motif kembang-kembang. Hard cover, berisi tak terlalu tipis juga tak begitu tebal dengan warna kertas yang menguning seperti perkamen tua. Dan yang terpenting dari daya tarik melebihi gravitasi, buku itu harum. Entah, yang kutahu pasti harum itu bukan dari parfum. Tak mungkin racikan wewangian tangan manusia bisa bertahan begitu lama selama bertahun-tahun. Ya, itu sebuah diary.
Naluri keingintahuan manusia membuatku mengangkat diary itu dari tempatnya dan menyapukan debu yang selama ini menyelimutinya. Tak di selatan tak di utara, manusia mana pun pasti tertarik pada sebuah diary seseorang yang dekat dengannya. Terlebih seseorang itu telah tiada.
Aku membolak-balikan catatan tua nan harum itu. Sekadar memeriksa sampulnya yang tiada cacat. Tak terlihat seperti buku puluhan tahun. Ingin rasanya segera membuka dan membaca lembar demi lembar, tapi kutahan keingintahuanku sejenak. Sekali tarikan napas, tak cukup. Dua kali, sampai tiga kali baru aku berani menyentuh pinggir buku itu. Hanya menyentuh. Meski aku ingin sekali mengetahui cerita tentang ibu yang tak pernah kukenal. Yang amat sangat dicintai ayah yang mungkin baru saja bertemu kembali dengan ibu di surga.
Akhirnya kubuka. Tapi entah, kebiasaanku membaca koran dari halaman terakhir turut andil dalam membaca diary ini. Aku membukanya dari halaman belakang. Dan tak kusangka, ibu telah sampai menulis pada halaman terakhir diary-nya. Awalnya kupikir ia rajin menulis, tapi ternyata ia melompat setengah buku hanya untuk menulis di halaman terakhir. Di sana tertulis:
Allah… lama aku tak membuka dan menulis lembaran hidupku. Kubaca, semua tentang putus cinta dan putus asa saat muda. Kekecewaanku saja. Yang kutangisi, bukan melulu tentang cerita dukaku. Tapi betapa aku tak pernah mensyukuri hidup yang Kau beri. Allah, ampuni aku… Sesuatu bergetar dalam dadaku. Melihat sebuah Asma yang menciptakanku dalam diary ibu, aku teringat sesuatu tentang cerita ayah yang selalu diulang dan tak ada habisnya. Mataku kembali pada dus lumayan besar itu lagi. Dan mendapatkan sesuatu yang memiliki gravitasi dua puluh kali dari bumi. Lebih dari tertarikku pada diary tua yang tetap muda: rapi, indah tiada cela. Sebuah Al Qur’an lusuh, berdebu, rapuh. Hard cover bertuliskan Allah dalam kaligrafi arab itu sudah hampir tak memiliki tenaga untuk melindungi. Robek di tepi, terkelupas di sana-sini. Kertasnya tak lagi kuning tapi kecoklatan berselimutkan debu tipis. Tak menempel, hampir semua halamannya copot dari pangkal cover. Lebih tepat disebut mushaf yang berupa lembaran-lembaran. Dan halamannya banyak yang keriting bekas tetesan-tetesan air. Aku meletakkan diary ibu dan menimang Qur’an itu sangat hati-hati. Menatapnya lekat-lekat dan dalam-dalam. Sampai tak sadar Al Qur’an itu kembali segar dengan setetes air mataku yang tak sengaja jatuh.
Jadi ini cerita ayah tentang Al Qur’an yang Jarang Istirahat?
Labels: sepenggal kisah (cerpen)