Sepandang Cinta Alami Tanpa Pengawet ; 21 Aug 2011
Sudah bisa kuhitung jari berapa kali aku mampir di tempat ini. Empat, lima, enam dan ini yang ketujuh. Ada sesuatu di rumah makan ini yang membuatku kembali lagi dan lagi. Makanannya lumayan tepat di lidah, tapi bukan itu yang menjadi alasan. Dari pertama kali mampir baru sekalinya aku memesan makan. Selebihnya hanya camilan dan secangkir Cappuccino, teman favoritku menumpang online di tempat ini. Hotspot gratisan adalah salah satu kelebihan yang membuatku betah berlama-lama dan kembali ke rumah makan ini. Tapi bukan itu pula alasanku untuk kembali. Sesuatu itu lebih manis dari secangkir Cappuccino yang hanya seujung kuku.
Rumah makan ini cukup nyaman dan unik menurutku. Perabotan, bahan bangunan dan hiasan di sini sebagian lebih dari barang-barang bekas yang didaur ulang. Sampah-sampah ini diolah dan kembali menjadi sesuatu yang berharga. Bahkan mungkin lebih cantik setelah didaur ulang daripada bentuk orisinilnya. Kreatif. Tepat seperti tangan-tangan orang Jepang. Entah barang-barang ini dibeli dari toko di Indonesia atau hasil perburuan sang pemilik rumah makan di negeri matahari sana. Atau malah semua perabot ini hasil karya sendiri? Bisa saja. Bila si pemilik mempunyai pola pikir seperti orang Jepang, atau setidaknya pernah tinggal beberapa lama di sana. Tapi masih bukan itu yang membuatku tertarik. Ada yang lebih unik.
Lain lagi hal yang kusuka, dan memiliki kesamaan denganku adalah foto. Tak ada dinding yang terlalu kosong untuk diisi sebuah bingkai foto. Dimana ada tembok tak terisi, disitu terpajang karya jepretan entah siapa yang seirama. Walau ada beberapa dinding yang tak terlalu kosong hanya untuk mengatur komposisi. Semua foto hitam putih. Dengan ukuran bermacam-macam, dengan bingkai yang seirama. Apa saja. Berbagai tema terpampang namun lebih banyak foto diam-diam. Tak ada foto panorama –tentu saja tidak, semua foto ini berwarna hitam putih-, tak ada foto yang direncanakan, semua foto ini bercerita. Seperti mata sang fotografer yang merekam hal-hal manis yang tak ingin ia lupakan. Dan lebih banyak foto manusia, lengkap dengan perasaan subjek foto yang ikut terrekam. Juga lebih banyak lagi tentang sepasang manusia, pria dan wanita. Kekasih mungkin. Tapi tak satu pun aku melihat pasangan muda-mudi. Hanya pria dan wanita paruh baya, kakek nenek dan anak laki-laki dan perempuan. Mungkin ia ingin bercerita tentang cinta yang muda dan senja. Lumayan.
Walau tak besar, rumah makan ini memiliki ruangan di luar bagi siapa saja yang ingin merokok. Aku tak merokok, tapi lebih suka menghabiskan Cappuccino dan waktuku di luar. Dari sini aku bisa melihat jelas keadaan di dalam dari kaca transparan itu. Orang-orang yang makan di dalam, tv flat siaran internasional, sang ibu pemilik yang selalu di meja kasir, dan terkadang suaminya duduk tak jauh dari meja kasir menghabiskan waktunya membaca buku sambil menunggu waktu shalat. Usia mereka sudah pasti lebih setengah abad, entah tepatnya berapa.
Seorang wanita datang. Kami beradu pandang dan ia lemparkan senyum padaku, kemudian masuk dengan terburu-buru. Menuju meja kasir dan meraih tangan ibu pemilik rumah makan, menciumnya. Dia Nadya, anak dari pemilik rumah makan. Wanita lumayan tomboy yang kupikir usianya tak ada beda denganku. Sepertinya sehabis pulang dari kantor yang aku belum berhasil menebak pekerjaannya. Ia memakai kaos putih dilapisi kemeja kotak-kotak yang dibiarkan tak terkancing. Lengan kemejanya digulung hingga siku. Jeans, sepatu kets dan ransel. Pasti bukan pegawai kantoran.
Ia duduk di tempat ayahnya biasa duduk. Mengeluarkan semua isi ranselnya seperti mencari sesuatu. Kamera, laptop, buku catatan, id card. Ah, wartawan! Kenapa baru terpikir olehku. Dan pasti dirinya juga sang fotografer yang sudah seperti memiliki galeri sendiri di sini. Ayahnya turun dari tangga di belakang meja kasir. Habis shalat kukira, lantai atas adalah mushala. Dyana meraih tangan ayahnya dan melakukan hal yang sama seperti yang ia lakukan pada ibunya. Mereka berbincang, entah apa. Kemudian ibu pemilik rumah makan juga ikut bergabung bersama mereka. Ah, Dahlia!
***
“Umar.”
“Hmm…”
“Kenapa kita selalu makan di tempat ini? Hari yang selalu sama, jam yang selalu sama?”
Aku tersenyum. Kemudian kupandangi wajah Dahlia lekat-lekat. Tenggelam di bola matanya dalam-dalam. Dan senyumku makin lebar memandang cantiknya.
PLAK!
Begitu saja. Semudah itu ia menjatuhkan telapak tangan di pipiku. Kemudian wajahnya, ah, wanita selalu nampak lebih cantik apabila sedang marah. Mampu membuatku tersenyum kembali.
PLAK!
“Jawab!” semudah itu pula ia mendaratkan telapak tangan di lain pipi!
“Hhh.. belum menyadarikah kamu maksud aku selalu mengajakmu makan di sini?”
Ia menggeleng.
“Kalau begitu kamu gak pantes jadi jurnalis investigasi.”
Tangannya mengambil ancang-ancang! “Eitt! Piss, iya! Masih ingat gak jawaban kamu waktu aku mencoba mengajakmu menikah? Kita masih terlalu muda, kamu masih perlu belajar apa itu cinta sebenarnya dan bagaimana seharusnya berumahtangga. Ya kan? Sekarang coba kamu lihat itu.”
Aku menunjuk ibu pemilik rumah makan yang sedang memakaikan jam pada tangan suaminya. Tangan lelaki itu masih basah dengan air wudhu. Kemudian sang istri pergi, dan kembali lagi dengan segelas air putih serta sepotong bolu pisang. Duduk di samping suaminya, menemani ia membaca buku walau hanya dengan diam.
“Pemandangan seperti ini tak akan kau dapatkan di rumah makan lain, Dahlia. Sesuatu yang membuatku kembali lagi dan lagi ke rumah makan ini. Lihat lagi mereka.”
Nadya turun dari lantai atas. Duduk dan berbincang bersama orang tuanya. Tawa tanpa suara yang kami dengar pecah di sana. Nadya cepat-cepat merogoh kamera lalu memotret ayah dan ibunya diam-diam. Ah, ayahnya terlalu sadar kamera. Ia meminta Nadya memotret mereka sekali lagi dengan pose siap difoto. Pria senja itu merangkul kekasihnya, lalu mencium keningnya sesaat sebelum jendela rana terbuka kemudian tertutup. KLIK! Kemudian mereka kembali tertawa.
“Jika rambutku sudah memutih seperti bapak itu, mungkin aku juga akan mencintaimu seperti ia mencintai isitrinya, bahkan lebih.” dan aku mencium kening kekasihku.
Labels: sepenggal kisah (cerpen)