Dreamer’s Love Triangle ; 8 Aug 2011

Jarak biasa menjadi pencipta rindu bagi sepasang manusia yang hatinya diliputi oleh cinta. Juga bisa menjadi hal yang dibenci oleh mereka yang dipisahkan olehnya. Namun bagiku, jarak adalah satu-satunya cara untuk diam-diam menaruh cinta. Diam-diam memperhatikan seseorang yang hanya bisa kulakukan dengan jarak pandang yang tak lagi cukup renggang, tapi jauh, tak tergapai. Hanya mata normal yang mampu merengkuhnya. Namun cukup bagiku untuk mengawasi bibir tipis yang sesekali tersenyum, bahkan tertawa pada entah apa yang ada di layar laptop di samping segelas Ice Chocolate yang setengah habis. Membaca blog seseorang, Facebook, Twitter atau mungkin tengah berchit-chat ria, entahlah. Aku cukup bahagia melihatnya tertawa.

Kopi hitam dan sebungkus rokok menjadi teman mengamati hari bahagia penuh tawa dari kedai kopi ini. Sengaja aku tak membawa kamera seperti biasa, tapi handycam. Bukannya aku bosan mencuri tawanya secara diam-diam. Dengan handycam aku bisa memperkecil jarak pandang tanpa harus terang-terangan terlihat sedang mengamati seseorang. Aku benci mata-mata yang tak punya urusan memperhatikanku seperti seorang sniper yang tengah membidik jantung presiden berpidato. Dengan alat rekam kecil ini aku tinggal memperhatikan gerak-gerik dia, wanita yang sangat kukenal wajah juga pribadinya, hanya lewat layar LCD mungil: praktis.

Ia perempuan yang sangat wanita. Anggun tiada cela. Juwita yang paling jelita. Cantiknya cantik. Duduk menikmati sore di rumah es krim, coklat, cupcakes dan teman-temannya. Cantik sederhana tanpa banyak polesan di wajah yang berkacamata. Tanpa sesuatu warna di rambutnya kecuali hitam seperti pualam. Lembut tanpa harus kuraba, halus walau hanya dilihat mata, dan lurus menjuntai seperti malaikat yang jatuh dari surga.

Pribadinya? Tak kalah elok dari wajahnya. Bahkan mungkin lebih indah dari apa yang bisa dilihat mata: hati berparas bidadari. Tiada cela? Atau mungkin aku sedang dibutakan cinta? Aku, dia atau mereka yang merasa sama, tetap bahagia walau cinta kami tak punya mata.

Dia indah seperti namanya, Cahaya. Bersinar tak hanya dalam gelap, namun juga pada terangnya siang. Wanita yang kukenal sudah sejak SMP dulu, hingga sekarang ia sudah bekerja. Ada yang bilang cinta pertama tak kan terlupakan. Bagiku adalah Cahaya, cinta pertama yang juga tak harus menjadi pacar pertama. Cinta pertama yang belum sempat kudapatkan. Cinta pertama yang tetap hidup setiap harinya, seperti namanya, Cahaya pada malam atau pun siang. Dan aku, aku adalah suara yang tak kuasa mengejar cahaya. Lafaz lirih yang pemalu saat di hadapannya, namun lebih lantang dari suara pesawat yang mengudara dibelakangnya.

Entah pengaruh kafein dalam kopi atau tar dalam rokok, pikiranku terbawa khayal yang tiba-tiba datang begitu saja. Kepada tempat dan waktu dimana aku berada di depannya. Berjarak hanya satu meja. Tak lagi pada kedai kopi dan rumah es krim yang berseberang-seberangan. Dan aku tak perlu lagi melihat senyumnya dari layar kecil pada kamera. Matanya bulat hitam terlihat jelas walau terhalang kacamata. Juga setitik lesung pipi kecil yang tak akan tumbuh menjadi dewasa. Tersenyum kepadaku, menggenggam tanganku dan… ia benar-benar menatapku!

Dia, Cahaya yang nyata. Bukan cahaya semu yang ada dalam khayalanku saja. Di seberang sana, dia menatap ke arahku lama. Memperhatikanku dengan sekulum senyuman di ujungnya. Kurasa ia mengenali wajahku yang tak banyak berubah sejak semasa SMP, SMA dan kuliah bersamanya, dewasa bersamanya. Ia kembali pada laptop yang sedari tadi membuatnya harinya tersenyum. Mengetik beberapa lalu melipatnya, memasukkan ke dalam tas. Ia beranjak dari meja setelah membayar bill. Berjalan sangat anggun dengan rambut hitam yang melambai-lambai. Keluar dari rumah es krim tempat ia menikmati ice chocolate, menengok ke kanan dan kiri terlebih dulu sebelum menyebrangi jalan yang tak besar. Dan ketika menyebrang jalan hampir sampai, ia menoleh ke arahku dan, tersenyum. Ah, dunia serasa runtuh tiba-tiba lalu berganti surga. Dengan bidadari yang tersenyum kepadaku cuma-cuma.

“Lafaz?” ucapnya setelah tepat berada di depan mejaku. Dan, ah… senyumnya membuat hati meleleh seperti es krim.

“Ah.. ng.. i.. iya Aya.” aku gugup. Tak ada kata yang mampu berdiri dengan tegak di hadapan senyum yang melelehkannya. Aku salah tingkah!

Ia lebih mendekat lagi kepadaku. Lebih dekat. Wajahnya yang masih terhias senyum menghampiriku lebih dekat. Dekat! Dan… ia mengecup pipiku.

“Kebiasaan melamun kamu itu harus dihilangkan, sayang. Atau kau sengaja, karena aku terpaksa membangunkanmu dengan kecupan?”

Cahaya tersenyum, manis sekali. Menarik tanganku untuk pergi dari kedai kopi itu setelah meninggalkan uang beserta kembaliannya di atas bill.

“Apa itu benar-benar sebuah penyakit, Aya? Lamunanku itu. Aku baru saja membayangkan jatuh cinta sangat dalam kepadamu.”

“Haha.. itu bukan lamunan, sayang. Aku pun mencintaimu sangat dalam.”

“Bukan. Maksudku, Aku mencintaimu sangat dalam, tapi aku hanya bisa memperhatikanmu tanpa menjadi kekasihmu. Seperti seorang pemuja dengan cinta yang rahasia. Cuma seorang, pecundang!” kataku dengan sejumput rasa stress di kepala.

“Tapi kau bukan. Sudahlah, aku cukup senang ketika melihat wajahmu terpaku pada sesuatu yang sebenarnya bukan di situ nyawamu. Dan pada saat itulah aku harus mengecupmu untuk membangunkanmu. Seperti sebuah permainan yang menyenangkan, bukan?”

Aya hanya tertawa riang tanpa suara. Berjalan terus tak memperdulikan lamunan yang sebenarnya bisa membuatku benar-benar menjadi pengkhayal paling gila. Aku pun berjalan, mengingiringi langkahnya namun serasa mengikutinya. Seperti suara yang tak mampu mengejar cahaya.

***

Sepertinya aku benar-benar butuh penyegaran otak. Menyegarkan pikiran dengan berjalan-jalan menghirup udara bersih tanpa polusi. Walau tanpa Cahaya menemani, aku masih bisa merasa segar dibawah pohon-pohon rindang Kebun Raya. Udara yang begitu segar karena baru saja disiram hujan. Bau hujan yang membasahi tanah, airnya yang menyangkut pada ranting dan daun-daun pepohonan begitu menyegarkan. Tiada suasana yang lebih segar dari udara sehabis hujan. Wangi air langit yang semerbak.

Sore ini Kebun Raya sepi. Mungkin karena hujan warga Bogor malas bepergian keluar rumah, apalagi berpiknik ria seperti minggu biasanya di Kebun Raya. Kanan kiriku tidak ada keluarga yang sedang berpiknik bahagia kecuali pohon dan tumbuh-tumbuhan yang basah. Namun masih ada saja pasangan muda-mudi yang kasih mengasihi. Berdua serasa dunia milik mereka. Duduk di kursi taman saling berangkulan, berbagi canda dan kebahagiaan, bahkan berciuman! Ah, kemana kau Cahaya? Harusnya kita tunjukkan pada mereka pasangan paling bahagia di dunia adalah kita. Dengan cinta yang tak lagi perlu diucapkan lewat lisan, tapi peluk dan cium yang tak lagi terbahasakan.

Sesekali, ada rasa ingin mengintip mereka yang berciuman. Sejauh mana kepandaiannya dan seerat apa urat malu mereka. Mata usilku tak tahan ingin mengintip. Sekaligus menyadarkan bahwa dunia tak lagi milik mereka berdu… “CAHAYA!”

Lumatan mereka berhenti, dengan tangan masih tertempel pada pipi-pipi. Keduanya menengok ke arahku. Si laki-laki terlihat marah permainannya diganggu. Sang wanita yang cantik tiada cela kaget melihatku.

Wajah cantik sederhana tanpa makeup, rambut sehitam pualam menjuntai seperti malaikat jatuh. Ia tergagap mengambil kacamata di pangkuan lalu menenggerkan di depan mata yang butuh bantuan penglihatan. Benar, dia Cahaya!

“Lafaz?” ucapnya lebih kaget dari matanya yang tadi tak berkacamata.

Hatiku remuk! Hancur bersamaan dengan dunia yang tiba-tiba saja menjadi gelap, Cahayaku hilang! Napasku mulai sesak, oksigen serasa hilang dari dunia, kepalaku berdenyut sakit sekali. Kepala? Kepala? Lamunan? Ini tidak nyata?

Dengan otak paling waras yang kumiliki aku mencoba mencerna dengan akal yang paling sehat. Aku di Kebun Raya, sedang Cahaya pergi menemani mamanya ke rumah sakit. Ini tidak nyata. Khayalan!

“Cahaya, ini tidak nyata kan? Ini lamunanku saja kan? Kamu tak berselingkuh! Jelaskan padaku kalau ini tidak nyata!!”

Kesadaranku mulai hilang. Aku berteriak seperti orang yang takut kehilangan nyawa. Dan Cahaya membalasnya tanpa teriakan, tapi suara halus penuh kelembutan.

“Ya. Ini tidak nyata, sayang. Ini tidak nyata. Aku tak pernah berselingkuh. Ini hanya ada dalam khayalanmu saja, Lafaz.”

Jawabnya sungguh menenangkan. Menghadirkan sepercik harapan bahagia. Dan sebelum aku membuka tawa, Cahaya melanjutkan berbicara, “Ini memang tidak nyata.” dan membentak, “LAGIPULA, SEJAK KAPAN AKU JADI KEKASIHMU?!!”

Semua mata tertuju pada meja di sebelahku. Sepasang suami istri yang bertengkar. Sang istri menggebrak meja hingga kopi hitamnya tumpah dan cangkirnya pecah. Dengan beringas ia pergi meninggalkan suaminya yang duduk tak berdaya. Mereka menjadi tontonan seisi kedai, juga orang—orang yang lewat di pinggir jalan.

Mataku kembali pada meja yang diatasnya terdapat kopi, kamera, puisi dan bunga. Setangkai bunga mawar yang tak lebih indah dari wanita di seberang sana, dan puisi yang didalamnya terdapat kalimat cinta. Hanya menunggu diantarkan menyebrang jalan.
Sedang di seberang sana, di rumah es krim, seorang wanita cantik sedang tertawa-tawa dengan pria di depannya. Di meja mereka hanya ada dua gelas ice chocolate dan bergelas-gelas bahagia.

“Sampai kapan kau mau tinggal di dunia khayal? Kapan kau akan kembali pada kenyataan, Bella?” Dia. Bagaimana bisa tiba-tiba ada di hadapanku? Pria ini.

“Kau tahu aku tak bisa, Kau yang paling mengerti aku sejak kecil!”

“Bellatrix Andromeda. Perempuan yang lebih kuat daripada aku. Wanita penyuka bintang yang lebih senang berteman dengan pria. Cewek tomboy sahabatku sejak kecil. Yang kau pun tahu aku mencintaimu sejak dulu.”

Air mataku mulai menggenang. Dan sedetik lagi ia akan jatuh seperti hujan. Atau mungkin badai.

“Aku sakit, Lafaz! Aku sakit!!”



CINTA SEGITIGA ~ Kau tahu sejak dulu aku mendambamu, dan kamu dengan ketidaknormalanmu tetap mencintai gadis itu.

Labels:

permalink | 0 comments (+)

« BACK FORWARD »