Untuk Puisi yang Telah Mati ; 31 Dec 2010

24 Oktober, aku pertama kali berbicara dengannya. Tak ada cahaya seperti bintang yang kulihat dari dirinya. Matahari tenggelam pun tak ia miliki, apalagi pelangi. Mungkin hanya satu darinya yang membuatku tidak mampu melihatnya seperti aku menantang matahari di 12 pas. Bukan, bukan karena sinar dari matanya seperti sinar raja tata surya. Justru sebaliknya, ia hanya berpijar semu seperti bulan. Yang memantulkan cahaya lembut yang ia pinjam dari matahari. Jika saja kau melihatnya, di matanya seperti ada kaca tipis yang menyelimutinya kala diterpa cahaya. Bak putri malam yang tengah berkaca pada telaga. Mungkin hanya itu yang membuat aku takut. Takut jatuh tenggelam lebih dalam pada rasa cinta.

Sampai pada 29 Oktober aku melakukan hal yang fatal. Membuatkan puisi untuknya. Itu terlarang bila kau tidak ingin terjerembab lebih dalam pada rasa yang telah melahirkanmu. Tapi aku melakukannya. Memang, aku sembunyikan arti dalam – dalam pada tumpukan sajak itu. Kubalut rahasia besar dengan larik – larik yang tidak lebih indah dari apa yang terukir dalam kitab suciku. Namun disitulah kesalahanku. Sedalam magma bersemayam dalam perut bumi sekali pun aku mengubur sebuah arti itu, tetap ia akan menemukannya. Seindah ayat suci pun aku menghiasi rahasia itu dalam balutan larik, tetap ia akan memecahkannya. Aku tidak tahu dia seorang detektif.

Matahari terbit dan tenggelam melangkahi langit seperti biasa setiap harinya. Pun hari – hariku, kulalui sebagaimana mestinya bersama orang – orang yang hidup dalam kehidupanku. Yang bertindak sebagai matahari, sebagai Mars, sebagai satelit, sebagai Venus, sebagai Nebula, sebagai Sirius, sebagai Regulus, sebgai Crux, sebagai Sagitta, sebagai Supermassive Blackhole, bahkan sebagai sampah seperti asteroid yang melayang – layang tak punya tujuan hidup. Dan dia, saat itu adalah bintang baru dalam hidupku. Terlahir dari rahim Nebula yang berupa gas dan debu kemerahan.

Selama perjalanan Bumi mengelilingi matahari, aku banyak berbagi hal dengannya, mengenal dirinya. Tapi tidak untuk urusan pribadi. Dibalik keseharian itu, aku terus membuatkannya puisi. Dan ia, [siapa yang tahu kerja seorang detektif] menyelidiki kasus – kasus puisi yang kubuat. Tahu Detektif Conan? Ia memiliki kesamaan di satu hal : kecil. Mungkin bukan Conan, ia seorang wanita. Ai Haibara mungkin lebih cocok untuknya. Tentu tidak dengan sikap salju yang tertempel di tubuh Ai, ia tidak dingin. Sedikit periang, tentu saja.

Dan bertemulah aku dengan hari yang menjadi ujung dari kesalahan fatal yang kubuat. Ia menculik salah seorang sajak dari puisi yang kucipta. Sajak itu diintrogasi olehnya. Diberondong berbagai pertanyaan kenapa ia dicipta untuk sang detektif itu. Tapi sajak tetap menggembok mulutnya. Ia tidak mau membongkar rahasia yang tertanam dalam dirinya. Ia dipukul, dianiaya, dihujam, sampai akhirnya sang sajak tak tahan dengan penyiksaan itu. Ia menyerah.

Dengan luka lebam di tiap kata, darah yang mengalir dari huruf - huruf, peluh membanjir di tiap pekatnya tinta, sajak menatap sang detektif tak bertenaga.

Ia berkata : Penulisku mencintaimu. Ia mencintaimu.
Kemudian sajak itu mati di bangku introgasi sang detektif.

Maaf sajak, andai aku tahu ia seorang detektif. Tak akan kuukir kau di atas kertas, lalu hidup kemudian mati hanya untuk menyampaikan pesan. Biar kusimpan rasa ini dalam – dalam, tanpa harus kau mati dalam penyiksaan. Biar aku berlari menjauh dari hidupnya, walau hatiku yang harus terbunuh seperti kau. Aku hanya tak ingin ia terusik, tak ingin ia tersakiti, apalagi terluka begitu perih dalam penderitaan. Aku ikhlas merelakan ia bersama orang lain yang benar – benar ia cintai. Agar ia benar – benar mendapatkan kebahagiaan yang hakiki. Seperti aku yang merasa tak membutuhkan lagi adanya surga, ketika ia tepat berada di sisiku. Alangkah indah pasti senyum melengkung di bibirnya, saat ia berada di sisi orang yang amat ia cintai.

Aku tak lagi berhasrat untuk memilikinya, karena semata aku hanya ingin menjaganya. Tuhan, aku berjanji padamu. Sebelum ia mendapatkan perlindungan dari laki - laki yang berhak melindunginya dan berani mati untuk menyelamatkan hati dan tubuhnya. Aku yang akan menjaganya, selagi ia masih mempersilakan aku hidup dalam kehidupannya. Aku yang akan membasuh lukanya ketika seseorang menyakitinya, aku yang akan tersenyum untuknya saat dunia enggan tersenyum padanya, aku yang akan menyemangatinya saat tak ada lagi seorang pun yang memperdulikan keterpurukannya, dan…. Aku yang akan mencintainya walau seperti apa pun dia.

Gusti, Kau telah menanamkan cinta seperti ini dua kali dalam hatiku. Dan aku ingin Kau memberikan satu lagi untukku. Yang akan kuberikan hanya pada satu wanita yang membuatku rela mati untuk menjaganya, istriku kelak.



Untuk puisi 29 Oktober 2009, yang telah mati bersama sajak

Labels:

permalink | 0 comments (+)

« BACK FORWARD »