Kangen Ibu ; 14 Dec 2010
Elok sekali pemandangan ini, seorang gadis cantik berkacamata tengah tersenyum seraya menyuapi sesendok bubur pada wanita renta yang berusaha meraih sendok bubur tersebut.
KLIK!
Pemandangan itu abadi dalam kameraku. Dan ah, sesuatu mempercantik karya fotoku. Cahaya senja menyiram sebagian wajah mereka yang duduk di beranda. Bagaimana kalau kuberi judul ‘Wanita dan Senja’?
“Hayo, memotret kami ya? Coba aku lihat.” Carina menghampiriku dengan semangkuk bubur kosong di tangannya. Wanita ini memang terlalu sadar kamera untuk kupotret secara diam-diam.
Dia tersenyum, “Cantik. Terima kasih ya.”
Lalu mengecup keningku sebelum beranjak ke dalam rumah mengambil segelas air putih untuk ibundanya terkasih. Gadis itu, sejak aku mengenalnya tiga tahun lalu hingga detik tadi belum juga padam kelembutannya. Dan kuharap tak akan pernah hingga ia menirukan jejak cinta yang ditinggalkan di keningku kepada anak-anaknya nanti. Anak-anak kami.
“Jadi kapan kamu pertemukan aku dengan ibumu?” Carina kembali lagi padaku setelah meninggalkan ibundanya menikmati senja bersama air putih yang tinggal setengah gelas.
“Secepatnya.” Jawabku.
“Itu jawabanmu enam bulan lalu, saat kamu memberikanku ini.” Carina menunjukkan cincin perak bermata ruby. Pemberianku dulu, untuk mengikatnya agar tak lepas sebelum aku benar-benar melamarnya. Andai saja bisa, aku ingin mengikat cahaya indah dari mata bidadarinya untuk diikat pada cincin perak itu.
“Aku perlu waktu Carina. Tak semudah itu.”
“Satu semester tak cukup kah? Kamu sudah begitu mengenal keluargaku, ibuku, kakak-kakakku, saudaraku. Bahkan kamu juga sudah menemui ayahku walau hanya makamnya. Tapi aku hanya mengenal kamu, tanpa tahu seperti apa dan bagaimana keluargamu. Seperti apa pun mereka, aku akan menerimanya seperti aku menerimamu dengan segala baik burukmu, sayang.”
“Bukan itu masalahnya.”
“Lalu apa?!” suaranya meninggi. Carina tampak kesal dengan alasanku. Terlihat jelas di wajah dan nadanya seperti ditarik keras oleh amarah. Aku hanya menatapnya. Tak balas menjawab, apalagi membentak. Kutinggalkan dia, biar saja senja yang menghisap merahnya marah lalu meniupkan eloknya jingga pada hatinya. Aku beranjak pada ibunda Carina. Duduk di sebelahnya dan memperlihatkan hasil jepretanku sesaat tadi.
“Judulnya Wanita dan Senja, bu. Wanita adalah kalian berdua, Senja karena wajah kalian begitu cantik tersiram cahaya matahari senja. Lihat bu, disini ibu terlihat lebih cantik daripada Carina. Walau sudah senja, mata ibu tetap indah tanpa perlu kacamata seperti anakmu.”
***
Hari ini adalah hari pertama gadis kecilku masuk sekolah. Zahra, malaikat kecil yang sayapnya tak pernah lagi ia kenakan. Satu yang kanan untuk ayahnya di surga, dan yang kiri untuk ibunya sebagai balas jasa karena rela mati agar Zahra kecil bisa melihat dunia. Keponakan Carina itu begitu bersemangat menuntut ilmu. Walau di kelas pelajarannya hanya bernyanyi, menggambar dan bertepuk tangan, semangatnya tak kalah seperti mahasiswa demo meminta presiden turun. Sudah dari jam enam pagi ia siap dengan sepatu, seragam dan tas ranselnya. Padahal kelasnya baru dimulai pukul delapan pagi.
Aku yang mengantar Zahra, menungguinya hingga ia pulang. Sengaja kubawa serta kamera kesayanganku. Selain untuk memotret wajah tanpa salah milik Zahra yang memenuhi 50% memori kameraku, aku juga ingin memotret keadaan taman kanak-kanak. Pasti banyak anak kecil –tentu saja- dan ibunya yang juga mengantar. Seperti yang sudah kulakukan selama Zahra kecil meneriakkan lirik lagu Pelangi-pelangi, beberapa ekspresi kegembiraan dan beberapa wajah wanita paruh baya terekam sudah dalam Canon. Aku tersenyum-senyum sendiri saat melihatnya. Ibu-ibu yang ngerumpi sambil menunggu anaknya pulang sekolah, andai suara mereka juga abadi dalam foto, aku pasti tertawa kala mengingatnya. Tak hanya mereka, beberapa pahlawan tanpa tanda jasa juga abadi di dalam sini. Foto yang selalu membuat hatiku serasa seperti embun di pohon kaktus. Entah, aku selalu nyaman saat memandang foto-foto wanita paruh baya seperti mereka. Serasa aku berada di depan pintu surga di kaki mereka.
Tak berapa lama, kelas sudah bubar. Lagu sayonara sedang dinyanyikan di dalam kelas. Dan hei, itu Carina. Dari kejauhan, caranya berjalan begitu anggun seperti bulan melangkahi malam. Cantik. Lengkap sudah, malaikat kecilku ditambah bidadariku. Pagi yang menyenangkan.
“Kok gak bilang kalau mau jemput Zahra juga? Kan sudah ada aku.”
“Aku mau bicara sama kamu, sekalian kita langsung pergi.” Jawabannya tak seindah pagi ini. Tapi menyengat seperti tengah hari.
“Yuk, tuh Zahra sudah keluar. Kita langsung pergi.” Carina tergesa-gesa. Tak memberikanku jeda. Ia beringsut menghampiri Zahra yang berlari keluar dari dalam kelas. Memeluknya dan menggendongnya. Pipi tomat milik Zahra tak lepas dari sasaran bibir tipis Carina.
KLIK!
Indah sekali. Seperti ibu muda dan anaknya yang cantik. Tapi ekspresi tak seindah fotoku kudapati dari wajah Carina. Lagi-lagi jutek. Sadar betul wanita itu kalau di foto. Aku hanya tersenyum kecil. Dan mengikuti Carina melangkahkan kaki kemana dia pergi. Sambil sesekali kucium pipi merah malaikat kecilku.
“Kita mau kemana?” tanyaku membuka pembicaraan.
“Ke jalan Jalak Harupat no.23, Cijantung, Jakarta Timur.”
DEG! Seperti terkena serangan jantung namun tetap baik-baik saja. Itu alamatku. Apa yang harus kulakukan bila sudah seperti ini? Semua rahasiaku akan terbongkar!
“I..itu, kamu tahu dari mana?” aku mulai panik.
“Rumahmu kan? Dari teman kerjamu, Windy.”
“Tunggu, tunggu Carina. Maksud kamu apa?” aku mulai kewalahan dengan kepanikan ini.
“Ini sudah lewat enam bulan kamu berjanji ingin mempertemukan aku dengan ibumu. Aku hanya ingin bertemu ibumu, seperti kamu yang senang bisa berbincang-bincang dengan ibuku. Kedua, aku sudah tak tahan dengan sikapmu yang seperti ini. Selalu saja meninggalkan aku dengan kamera bagusmu itu. Iya, itu hobi kamu. Tapi ya tak sampai menyuruh aku pulang lebih dulu saat kamu sedang asik memotret. Dan yang kamu potret itu kebanyakan wanita paruh baya, bahkan sampai nenek-nenek. Oh, apa kamu Oedipus Complex?”
JLEB! Kali ini sepertinya benar aku akan mati.
“Yang terakhir aku bercanda.” Syukurlah. Walau klarifikasinya masih saja ketus dan pedas. Setidaknya aku tidak jadi mati.
“Oke, baiklah kalau memang itu maumu. Kita ke… sebenarnya itu bukan rumah, tempat kost.”
“Oh, kost. Ada ibumu di sana?”
“Entahlah, mudah-mudahan saja ada.”
Hanya tatapan polos. Tak mengerti apa-apa yang terjadi antara kami, dua manusia dewasa yang rumit permasalahannya. Zahra hanya memandang penuh tanda tanya dengan mata bulatnya. Di ujung jalan, kami melanjutkan perjalanan dengan naik angkutan umum.
***
Sampai di depan pintu, aku menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya. Memastikan diri aku siap dengan segalanya. Melihat ke wajah Carina yang masih saja jutek untuk memastikan, hingga akhirnya kubuka pintu kamar itu.
Aku masuk lebih dulu, lalu Carina. “Silakan masuk.”
Hanya ada kasur tanpa tempat tidur, televisi, dispenser, komputer dan sebuah lemari kecil. Tapi yang membuat Carina terus membuka mulutnya bukan itu, melainkan ratusan foto yang kutempel di ke empat dinding kamar yang ada. Ia memutar badanya untuk melihat foto-foto itu secara keseluruhan. Benar-benar terpana tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Di keempat dinding, salah satunya penuh dengan foto Carina. Ia tertawa, ia tersenyum, merajuk, bengong, dan semua ekspresinya kutangkap dan kucetak. Satu dinding lagi yang memiliki foto serupa ada di sebelahnya. Foto Zahra, aku sangat bahagia tiap kali melihat wajah malaikat kecil itu, walau hanya dalam selembar foto. Dan dua dinding sisanya adalah foto-foto wanita paruh baya yang kuambil secara diam-diam. Dengan kesibukan mereka masing-masing. Guru, pedagang sayur, wanita karir, ibu rumah tangga, penjaga toko, polwan, semua. Entah berapa jumlahnya, yang jelas foto itu menutupi setengahnya dari dua dinding kamarku. Dan bila aku rindu, dua dinding itu yang menghapuskan rinduku bertemu ibu. Foto-foto ini yang membuatku selalu merasa bahagia. Menciptakan senyumku saat pedih, membangunkan semangatku saat jatuh. Carina, Zahra dan mereka.
“Kamu mau bertemu ibuku? Aku sendiri belum pernah bertemu dengannya. Tapi jika kamu memaksa, lihat di dua dinding ini. Mungkin salah satu diantara mereka adalah ibuku.”
AKU KANGEN IBU - Kupandang foto wanita-wanita paruh baya yang kupotret diam-diam. Mungkin salah satu dari mereka adalah ibuku. ~ @rigeladitya
Labels: sepenggal kisah (cerpen)