Heavenless Theory ; 31 Dec 2010
Entah bagaimana caranya hukum itu bekerja. Sepertinya memang tak ada hukum alam seperti itu, rumus pasti yang mengkalkulasikan hasil seperti yang kudapat. Mungkinkah para ilmuwan terdahulu sudah meneliti tentang hal ini? Kuyakin mereka keburu mati sebelum dapat menyimpulkan hipotesis. Ini memang bukan untuk dihitung, bukan untuk dicari luas atau ditarik suatu kesimpulan. Ini tidak ditulis di dalam buku. Ini bukan untuk dipusingkan, didiskusikan dalam forum tiada akhir yang hanya menimbulkan debat kusir. Karena ini adalah pemberian langsung dari Tuhan. Bila ini diturunkan oleh Tuhan dalam hati seseorang, sama saja Ia menurunkan seorang bidadari dari surga untuk tinggal di bumi. Apalagi kalau bukan cinta? Suatu hal yang basi tapi tak akan pernah mati. Otak kiri tak akan pernah sampai untuk menjangkaunya.
Aku tak pernah mengerti bagaimana caranya. Dia selalu saja membuat duniaku hancur saat ada di dekatnya. Lalu menggantinya dengan surga. Aku memang tak pernah ke sana, tapi sepertinya tak kalah indah dengan dirinya. Dan dia telah menghasilkan suatu teori baru dalam hidupku. Teori itu bernama “Heavenless Theory”. Bila ingin tahu bagaimana bunyinya, seperti ini :
“Surga adalah taman paling indah seluas langit dan bumi. Dengan sungai susu yang mengalir di dalamnya, telaga madu, pohon – pohon yang rindang dan ranum buahnya, istana – istana megah yang terbuat dari emas dan batu mulia, pakaian sutra, bidadari – bidadari cantik bermata indah, penuh dengan bahagia, berlimpah cinta, tiada sesal, tanpa sakit hati. Namun aku merasa sudah tidak lagi memerlukannya, karena dunia dengan kau tepat berada di sisiku itu sudah lebih dari surga.”
Menatapnya dengan jarak tak lebih dari 25 senti seperti aku menatap langit dengan jutaan bintang di Galaksi Bimasakti, indah. Aku bisa melihat lapisan kaca tipis menyelimuti bola matanya yang jelita. Berkilat – kilat memantulkan cahaya membuat matanya bersinar. Mata itu seperti berbicara, “Untuk apa menyesal. Tak ada yang perlu disesali dalam hidup. Tersenyumlah dan bersemangatlah, buat duniamu indah dengan tawa yang ceria.”
Duduk tak sampai dua jengkal di sisinya seperti aku duduk menghadap barat menyaksikan kuning kemerahan menghantar tidur sang mentari dengan berat. Begitu nyaman sehingga aku tak mau beranjak, dan hanya bisa berharap agar ia juga tak ganti berpijak.
Entah dari mana datangnya rasa nyaman itu bersamaan dengan datangnya ia mendekat padaku. Ingin sekali kuborgol tangannya dengan tanganku agar ia tak beranjak pergi. Tenggelam lagi pada rasa nyaman genggaman mungilnya. Semata hanya meminta kepada rasa nyaman yang entah dari mana datangnya itu tidak cepat pergi.
Aku menyerah. Aku tak pernah bisa mengerti bagaimana caranya ia bekerja. Karena aku hanya merasakannya, aku hanya mencintainya.
Labels: Tarian Bebas Sebuah Pena