Shanaz ; 24 Nov 2010
Aku tak pernah menyangka hidup di bawah langit sebegini cepat. Pun tak kusangka Tuhan merangkai cerita hidupku sebegitu indah. Entah. Rasanya seperti sekejap mataku terlelap dan terjaga, dari aku kecil hingga nyaris dewasa. Rasanya baru kemarin ayahku membelikan sepeda roda tiga, kini giliranku menghadiahi ayah sesuatu beroda empat. Walau usiaku belum menggapai dua puluh.
Dulu malamku begitu manis dengan ibu di samping tempat tidurku. Satu dari berbagai kisah yang ia punya tak pernah tidak berhasil menjatuhkan mataku dalam pangkuan kasihnya. Membuatku terlelap, dan menikmati mimpi indah yang sudah lebih dulu ia rajut untukku sebelum ia mendongeng. Namun pada malam yang turun hari ini, aku terpisah jauh dari mereka dengan hanya meninggalkan senyum dan bangga yang tersemat di hati keduanya. Meski beribu-ribu kilometer jarak kami, hatiku tetap bergetar setiap kali ibu berdoa untukku. Dan air mataku selalu tak jadi jatuh saat ayahku kembali berkata dalam kepala: “Laki-laki harus kuat. Nggak boleh cengeng.” walau rindu tak pernah bisa mengerti betapa aku ingin memeluk mereka saat ini.
Ayah bilang, air mata ini harus kusimpan dan kujatuhkan hanya disaat-saat diperlukan. Kecuali untuk ibu. Ayah tak mau melihat embun mataku jatuh untuknya, ia tak mau ditangisi dan selalu memintaku untuk selalu jadi pria yang tangguh. Seperti aku tak diperbolehkan menjatuhkan air mataku di depan istri dan anakku kelak.
“Nhaz, kita disuruh kumpul semua. Ditunggu di taman samping kolam renang.” Dion, atlet renang teman sekamarku kembali hanya untuk mengabarkan itu.
“Ngapain?”
“Gak tau. Mereka menyebutnya Malam Berbagi, mau dibagi-bagiin hadiah kali buat yang udah dapet emas.” tambah Dion seenaknya. Jelas matanya semacam menyindir atau iri dengan peraih medali emas di hadapannya. Dan aku hanya bisa tersenyum. Antara kemenangan dan jenaka.
“Duluan aja, nanti gue nyusul.” tanpa membalas kata ia hanya mengacungkan jempol padaku dan menutup pintu.
Lihat itu bu, yah, Dion cemburu ia hanya dapat perunggu. Entah bagaiamana Indonesia menyambutku nanti ketika aku kembali. Dengan sebuah medali logam mulia kukalungi, itu untuk Indonesia dan kalian. Aku ditunggu. Kutinggal dulu bingkai senyum kalian berdua dalam pigura. Percayalah, yang ada di kepalaku hanya bagaimana jadinya senyum kalian bila aku berhenti mengayuh sepedaku dan tak menjadi nomor satu.
Penghujung hari kali ini tak sekelam masa lalu. Puan malam sempurna bersolek di balik awan. Kuning dan bulat yang tak pernah habis diputari. Hei Luna, aku titip salam pada ayah dan ibuku. Tolong sampaikan pada mereka sebelum pagi merebut mimpi mereka paksa saat terjaga. Dan hei, beruntungnya aku. Bulan menjadi saksi kemenanganku di negeri para dewa dan dewi, Yunani.
“Ini dia jagoan gowes kita, Shanaz!” suara lantang pelatih Arie yang berlebihan disusul sorak lebay teman-teman membuat rembulan malas berpijar. Apalagi aku, sanjungan berlebihan hanya akan membuatku jatuh. Aku tak perlu itu. Cukup sekadarnya saja seperti ayah mencintai ibu dengan sederhana.
“Liat nggak kemarin gimana kaki Shanaz hampir putus saking cepetnya gowes tuh pedal. Gile meennn, putarannya kayak abang-abang becak di kampung gue lagi genjot di tanjakkan.” Lani si petarung Taekwondo yang tak menghadiahi Indonesia apa-apa tetap ceria meledekku.
“Pala lu ngebul, Shanaz disamain sama tukang becak kampung Bojong. Lu tuh, berantemnye kayak reman Pasar Minggu.” Andi, si peraih perak angkat besi membelaku. Dan kalimatnya itu pecahkan tawa yang sedari tadi diam melayang-layang di langit bersama para bintang. Mendadak malam di Yunani yang dingin menjadi hangat. Tawa bisa dijadikan sebagai pengganti kayu bakar rupanya.
“Hei, sudah-sudah. Acara kita malam ini adalah Malam Berbagi, bukan Malam Mencaci. Sebelum kita pulang besok, saya ingin rekan-rekan pejuang Indonesia di bidang olahraga saling berbagi malam ini. Ya, sekadar cerita-cerita penghangat suasana atau entah apa. Tapi yang saya inginkan disini, kalian menceritakan tentang pengalaman kalian yang paling berharga. Entah itu dalam Olimpiade kali ini atau di mana pun terserah kalian. Ceritakanlah tentang hal terbaik apa yang pernah kalian dapatkan sepanjang hidup kalian! Dimulai dari kamu, Lani.”
Seraut wajah malu kini melekat erat menjadi topeng Lani. Ia salah tingkah dipilih menjadi yang pertama oleh pelatih Arie. Tawa kembali terlepas dari sangkarnya masing-masing. Dengan ragu Lani beringsut maju. Berdiri di pinggir kolam tempat rembulan berkaca mempercantik diri, sementara kami duduk manis di kursi santai memperhatikan gelagatnya yang kikuk.
“Ehm… iya. Mungkin gua gak bisa meraih emas seperti Shanaz di Olimpiade Yunani 2025 ini. Tapi gua juga punya pengalaman menarik dan hal terbaik yang gua dapatkan sendiri. Gua, bisa sampai pada level internasional atas kerja keras sendiri. Dulunya, ehm.. maaf Ndi, gue emang reman pasar minggu. Gua sering gebukin orang, malakin pedagang, tapi seseorang ngingetin gua sama Tuhan. Istri gua. Karena istri gua, gua belajar Taekwondo. Dia juga petarung seperti gua, tapi lebih resmi gak dijalanan atau terminal Pasar Minggu. Gua satu perguruan sama dia, dan sampai akhirnya dia jadi istri gua. Gak punya kerjaan, luntang-lantung di jalanan, kerjaan cuma latihan, istri gua nyaranin gua ikut turnamen-turnamen. Dengan keahlian yang udah terasah di jalanan dan giatnya latihan gua banyak memenangkan turnamen. Hingga akhirnya sampai tingkat nasional dan gua ditarik jadi atlet nasional, siapa sangka seorang reman pasar minggu bisa menginjakkan kakinya di Yunani untuk membela negaranya, ya gak?”
Kalimat penutup Lani diakhiri dengan aplaus kagum atas perjuangan hidupnya. Beberapa teman menjabat tangan dan menepuk-nepuk punggung karena terharu atas kehidupan ciptaan Tuhan untuk Lani. Andi pun merangkul Lani dengan limpahan hangat persaudaraan. Siapa menyangka pria berkulit kelam dengan tubuh seperti Boris musuh Popeye persis reman Pasar Minggu bisa pergi ke Eropa. Tuhan memang punya cerita sendiri untuk hamba-hambanya. Dan percayalah, cerita Tuhan untuk kita akan berakhir manis kalau kau setia kepadaNya.
Yang kedua, Lani menarik Andi ke depan panggung ala kadarnya. Mungkin ia berpikir harus membalas dendam kecil pada masa lalu, beberapa detik yang baru saja terlewat. Lengan kekar Lani menarik paksa tangan yang tak kalah keras si pengangkat barbel. Juga dengan ragu dan sedikit malu Andi tampil di depan banyak teman seperjuangannya. Pria Papua ini menceritakan bagaimana perjuangannya meraih mimpi: Atlet Nasional (sepertinya sudah tak jadi mimpi ya?). Kerja kerasnya patut ditiru! Ia berjuang bukan dengan alat bantu, tapi keterbatasan. Rupanya julukan Si Penggotong Tebu bisa menjadikan ia menjadi Si Pengangkat Besi peraih perak. Dan satu per satu teman-teman yang lain pun maju. Menceritakan kisah mereka dari nol hingga jadi seperti ini. From zero to hero. Kalau dilihat-lihat, ternyata para pemenang ini sama seperti manusia biasa lainnya kawan. Awalnya mereka bukan siapa-siapa, tapi kerja keras dan doa mereka yang merubahnya jadi pemenang. Bakat? Itu hanya 5% membantu mereka dalam pertandingan. Semuanya menceritakan sesuatu tentang diri mereka yang paling hebat. Memenangkan berbagai macam pertandingan, dapat uang jutaan rupiah, medali, piala, pengakuan, popularitas dan hal lainnya yang bisa membuat dadamu membusung.
“Shanaz! Giliranmu.” seru Dion yang kembali ke tempat duduknya. Aku tak sadar sekejap ini bumi berputar. Kulihat ke langit, puan malam pun sudah beranjak dari tempat duduknya. Ia menari melangkahi langit, mempercantik malam bersama bintang-gemintang. Dengan mantap kulangkahkan kaik memijak bumi. Menuju panggung dengan meja rias rembulan menjadi latar belakangnya.
“Mungkin berbeda dengan teman-teman semua. Saya tak merasa telah mendapatkan hal terbaik dari medali emas Olimpiade ini melebih saya mendapatkan ayah terbaik yang pernah ada. Bagi saya kemenangan ini bukan apa-apa bila dibandingkan dengan kasih sayang orang tua saya. Mereka terbaik yang saya punya. Ehmm.. sebenarnya saya tak berdiri sebagai pemenang di atas podium paling tinggi kemarin kalau bukan karena seseorang, ayah saya. Ia yang mengenali saya dengan sepeda. Bagaimana mengasikannya berjalan-jalan ke sudut kota tanpa melukai alam. Dan ia pula yang menanamkan kemenangan itu dalam diri saya, di dalam jiwa. Saya hanya tinggal menjaga dan merawatnya sebelum ia benar-benar matang untuk dipetik. Ia yang mengajarkan saya perjuangan, kejujuran, kerja keras, kasih sayang dan tentang melepaskan sesuatu yang bukan milik kita, ikhlas. Pernah 15 tahun yang lalu, saat itu saya masih empat tahun. Baru bisa bersepeda. Ditantang oleh ayah saya untuk bermain di lintasan tempat ia biasa bermain. Bermodal sepeda, helm, sarung tangan, semangat, keberanian dan ayah saya yang selalu ada di belakang, saya bersepeda seperempat Depok. Kalau kalian tinggal di Depok pasti tahu rute dari Depok 2 rumah kami, ke hutan Ui, lalu kembali lagi ke Depok 2. Yaa, sekitar 15km. Saat itu saya yang baru bisa bersepeda, menyusuri pinggir jalan yang dipenuhi keegoisan para pengendara bermotor dan asap knalpotnya sepanjang 15km. Dan tahukah kalian, sepanjang 15km itu ayahku selalu ada di belakang untuk menjagaku. Ia membuntutiku sambil lari-lari kecil atau jalan cepat. Terus saja begitu sampai kembali ke rumah.”
“Ah gile Nhaz, 15 kilo ngikutin lu doang? Kenapa gak sepedaan juga saja sih?”
“Hal itu pernah ditanya oleh teman ayah saya, dan kalian tahu jawabannya apa? Agar ia bisa lebih cepat tanggap kalau terjadi apa-apa dengan saya. Mungkin saat itu saya tak peduli dan hanya ada rasa senang di hati. Tak mengerti betapa lelahnya ayah saya membuntuti sepanjang 15km dengan lari kecil. Haha, kalau kalian tahu ayah saya lebih lucu lagi. Badannya tak sebagus tubuhku kini. Ia pria gemuk, besar, tapi terlihat kekar. Kalau kalian ngefans sama Saykoji, ayah saya tak jauh beda dengan Igor si rapper gemuk itu. Tapi tentu lebih keren ayah saya. Bayangkan saja dengan tubuh sebesar itu ia jogging sepanjang 15km.” aku berhenti sebentar. Menikmati tawa teman-temanku yang entah bahagia entah bangga dengan ayahku.
“Tapi sehari itu percuma. Ayah saya tak kunjung kurus juga. Tubuhnya tetap besar seperti jiwanya. Tubuhnya tetap kekar seperti semangat dalam dada saya yang ia tanam 15 tahun lalu. Tubuhnya tetap besar seperti cintanya kepada saya dan ibu.” serentak semua menjadi biru seharu aku meneteskan air mata bangga dalam hati. Teman-teman seperti tersihir dengan ceritaku. Malam mereka seperti ingin jatuh. Sungguh itu terlihat pada wajah mereka. Tapi, seseorang mencengkram perhatianku. Lani. Matanya mengembun.
“Hei Lani, kata ayah saya jadi pria harus kuat. Bukan kuat seperti kekarnya tubuhmu itu, tapi kekuatan lain di dalam hati.”
nb. cerita fiksi ini terinspirasi dari kisah seorang kakak yang benar-benar menjadi seorang Abi untuk anaknya.
Labels: sepenggal kisah (cerpen)