Kisah Hati Anak Manusia (bagian 2) ; 24 Nov 2010
Lebih dari dua puluh sudah aku bersemayam di sini. Di dalam tubuh anak manusia. Sebelah kiri, dada kiri. Bila dibelah dada kiri itu, tak akan kau temui aku. Melainkan hanya seonggok organ sebesar kepalan tangan yang berdenyut mengiramakan dentum kehidupan.
Itu jantung. Dia bukan aku.
Aku hati. Aku adalah dia.
Aku berada di sana, tak kasat mata, tempat menyimpan segala rasa. Rumah hati, dan segala kamar kediaman para rasa. Kamar yang memiliki komplek sesuai dengan kedudukan mereka. Keluarga, sahabat dan cinta. Rasa itu pun terbagi lagi. Ada suka, bahagia, senang, perih, pedih, amarah, duka dan lara.
Oke cukup! Ini sudah dibahas dalam kisahku yang pertama. Aku tak ingin bercerita dua kali. Karena saat ini aku ingin bercerita tentang kisahku yang baru.
Oke, babak pertama dimulai.
Dulu, ada seorang cinta yang menetap begitu lama di rumahku. Ia tak pernah pergi, beranjak sedikit pun, bahkan niat pun tidak. Masih ingat? Ya, dialah yang pertama bagi majikanku. Cinta pertama.
Awalnya, kupikir tuanku tak kan menggantikan dia dengan orang lain. Hingga akhirnya ada seorang cinta lain yang membawa papan nama berbeda di tangannya. Tapi sama terang dengan yang pertama. Aku diperintah majikanku untuk melayani dia dengan sangat spesial, super istimewa.
Kau tahu? Kamar tempatnya menetap dipenuhi dengan puisi tuanku, penuh warna syair, melodi – melodi larik dan sajak yang bernyanyi. Rumahku indah karenanya. Tapi juga hancur karenanya.
Ya, hancur. Porak poranda!
Ia merobek puisi – puisi tuanku, mengekelabukan syair, mematahkan melodi, membungkam sajak yang bernyanyi. Dinding rumahku tak terbuat dari batu bata, apalagi baja. Hanya daging yang dihias sedemikian rupa hingga terlihat kuat bagai baja. Tapi tetap saja aku dan rumahku akan mudah terluka.
Ia menoreh pisau dan silet hampir di seluruh dinding. Disayat perlahan, diiris bagai daging kurban, bahkan dihujam, ditusuk secara frontal. Tak perlu kujelaskan sepertinya kau tahu bagaimana perih itu, bagaimana sakitnya aku. Apalagi majikanku. Aku tak akan tahan melihatnya terluka begitu dalam. Tulusnya hanya dibalas duka. Dan dia pergi meninggalkan luka.Cinta itu, cinta yang berhasil mengumpulkan segudang puisi majikanku.
Disaat aku dan rumahku begitu hancur, entah siapa dan rasa apa berkunjung kerumahku. Aku tak mengenalnya, tapi ia begitu bercahaya. Berbeda! Sangat berbeda!!
Di dalam kegelapan rumahku, aku menangis. Dan ia meneranginya. Tanpa berbicara, ia memugar kembali rumahku. Ia menutup luka, mengobati perih, memberikan tawa, menciptakan bahagia. Seketika rumahku kembali indah. Banyak para rasa seperti bahagia, senang, suka, ceria bermain – main di rumahku.
Saat kutanya, “Siapa kau? Rasa apakah kau? Cinta, sahabat, teman atau….”
Dia tak menjawab. Hanya senyum yang ia lempar, manis sekali. Entah. Aku tak mengerti siapa dan rasa apa dia. Aku hanya begitu berterima kasih padanya.
Saat kutanya tuanku, ia bercerita, “Dia adalah bidadari surga yang tinggal di bumi. Tuhan sengaja mengirimnya untuk mengobati lukaku yang tak terperi. Jaga ia baik – baik, perlakukan sebaik mungkin, jangan biarkan ia terluka walau secuil pun. Bahkan aku sendiri tak berani menyentuhnya. Dia terlalu indah, dan sangat tak pantas untuk disakiti.”
Aku terdiam. Tertegun mendengar ucapan majikanku. Tuanku, apakah kau sedang jatuh cinta?
Maaf, bukan aku sok mengajari. Tapi, coabalah untuk -Memberikan sepenuhnya, berharaplah tiada-
“Terima kasih, hati. Aku akan seperti itu. Tapii… darimana kau bisa bicara seperti itu? Siapa yang mengajarimu?”
“Agamamu, Tuan.”
“Oh ya? Apa namanya itu?”
“Ikhlas.”
Hari terakhir Mei 2010
Jakarta
Labels: sepenggal kisah (cerpen)