Fotografer Amatir ; 22 Nov 2010
Pernah dengar kisah fotografer perang yang mati bunuh diri? Atau kalau ia masih cukup kuat, ia hanya kehilangan jiwanya saja tanpa raga: Gila.
Fotografer yang memotret keadaan perang, daerah konflik, atau suatu negara entah dunia ke berapa yang diisi dengan orang - orang berperut buncit tak berdaging hanya tulang yang dilapisi kulit, tak jarang mereka memenangkan berbagai penghargaan (Pulitzer misalnya) atas karya fotonya dan tak jarang juga mereka mematikan diri sendiri juga karena karya fotonya. Tahu kenapa?
Tahu foto ini?

Kalau yang akrab dengan dunia fotografi pasti tahu. Ini salah satu foto pemenang Pulitzer Prize karya Kevin Carter. Menggambarkan seorang bocah di Sudan yang hampir mati menahan lapar, sedangkan dibelakangnya seekor burung Nasar bersiap memakan bocah malang itu.
Tahukah Anda kalau sang fotografer bunuh diri setelah tiga bulan ia mengambil gambar tersebut? Kenapa? Perasaan yang anda rasakan saat melihat foto ini tak ada apa - apanya ketimbang perasaan Kevin Carter saat memotret bocah dan burung itu. Rasa bersalah, mengutuk diri, menjadi orang paling bodoh sedunia dan ah, macam - macam. Rasanya seperti malaikat di belakangmu selalu berbisik "Bocah yang kau potret berpesan padaku, kalau ia membencimu."
Perasaan seperti itu yang membuat para fotografer menjadi gila bahkan bunuh diri sebagai penebus kesalahannya sendiri. Anda tak akan mengerti kalau belum merasakannya dengan hatimu sendiri.
Beberapa waktu lalu, saya mendapat tugas membuat foto Feature (foto yang memiliki unsur human interest) dari mata kuliah Fotografi Jurnalistik yang sedang saya ambil. Setengah hari saya berkeliling satu per empat Depok untuk mencari foto yang sebisa mungkin menyayat hati tiap orang yang melihatnya. Beberapa tempat, dan beberapa foto yang tidak bagus (maklum masih amatir) saya dapatkan, sampai malam turun di jalan Margonda Raya saya menemukan seorang bocah (mungkin seumuran dengan pelajar kelas 3 SD) memikul karung di pundaknya tengah menyusuri jalan yang tak ramah dengan kendaraan. Seketika saya langsung memarkir motor saya (kebetulan ada tempat untuk parikir: di depan toko foto copy) dan mengikuti bocah tersebut melangkah membawa karung.
Dengan karung dan pakaian lusuh, subjektif saya mengatakan ia seorang bocah pemulung. Tapi yang saya lihat ia tidak memulung sesuatu dari jalan, tapi mengemis uang pada orang - orang. Ia meminta pada tiap orang yang ada di pinggir jalan dengan wajah memelas. Sayang tak semua momen saya rekam di mata kamera karena tak ada cahaya sama sekali, beberapa lampu jalan sepertinya bersekongkol mati agar saya tak bisa mengabadikan ia meminta uang. Flash? Saya tidak suka memakai flash saat memotret, apalagi dalam situasi seperti ini. Flash tentu akan mengusik bocah si pembawa karung.
Sampai akhirnya ia menemukan sebuah warung tenda Nasi Uduk, dan kebetulan lampu jalan menyala di atasnya, ia terdiam sambil melihat ke dalam warung yang menyediakan nasi uduk, pecel ayam dan makanan lain yang tentu saja lezat. Matanya memelas, seakan retinanya yang kelaparan bukan perutnya. Dan, dengan ragu akhirnya ia memasuki warung nasi uduk itu. Di dalam pun ia terpaku pada bumi sambil menatap melas pada makanan. Tak ada yang pedulikannya. Ia berdiri lama di sana dengan karung lusuhnya. Sampai akhirnya ia tahu usahanya tak berhasil, ia memutuskan pergi dari warung itu. Saat saya mengambil gambar anak itu, terpikir ingin membelikan satu porsi nasi uduk untuknya, setelah saya kelar memotret dia dan kehidupannya untuk mendapatkan nilaiku di kampus.


Dan bocah itu keluar, kembali mengemis pada orang - orang yang berada di sekitarnya. Merasa sudah mendapatkan foto bagus yang sarat kepedihan hati, saya memutuskan menyudahi pengejarannya dan memberikan sesuatu untuknya. Tapi anak itu terlampau jauh berjalan, dan saya teringat sepeda motor yang terparkir jauh saya tinggalkan di belakang. Alhasil saya tinggalkan dia sementara saya mengambil motor. Kejar lagi! Dia kelaparan! Pikir saya setelah mendapatkan motor. Tapi niat saya mengejarnya tak lebih besar seperti saya mengejarnya untuk mendapatkan potretnya. Dan bocah itu menghilang, saya tak mendapatkannya lagi. Yang ada di pikiran bodoh saya waktu itu: Yasudahlah, toh gue sudah dapat fotonya. Dan saya melaju sepeda motor saya kencang untuk kembali pulang.
Namun seperti yang dirasakan para fotografer perang. Seperti ada seorang malaikat yang selalu berbisik di belakang saya. Dan hati saya penuh rasa gundah. Saya merasa menjadi orang paling jahat sedunia. Saya mengutuk diri saya sendiri dan meminta ampun kepada Tuhan. Merasa meminta ampun saja tak cukup, saya memutar balik di Jalan Margonda untuk mencari bocah itu lagi (walau margonda itu panjang dan putarannya jauh). Saya ngebut. Dan tetap saja anak itu tak terlihat.
Dan rasa bersalah itu terus menggerayangi hati saya sepulangnya.
Dan sejak saat itu saya mengerti bagaimana para fotografer perang bisa melakukan hal bodoh dan jadi gila karena karya fotonya sendiri. Saya merasakan apa yang mereka rasakan, walau cuma 1% rasa bersalah yang membuat Kevin Carter bunuh diri.
nb. balasan Tuhan untuk saya: foto paling bagus yang saya ambil dari kehidupan bocah itu hilang, tak sengaja terhapus. Foto berbentuk landscape (memanjang) justaxposition antara tulisan nasi uduk beserta menunya dengan bocah berwajah melas tengah memandang ke kamera.
Labels: Hanya Berbagi