Catatan Harian Burung Gereja ; 26 Oct 2010

Minggu, 5 September 2010

Dear, diary

Umurku sekarang genap satu tahun. Tak ada yang spesial di hari lahirku ini. Tak ada ucapan selamat ulang tahun, tak ada kejutan, tak ada black forest, tak ada lilin berangka satu, tak ada kado, hanya nyanyian yang aku senandungkan sendiri. Kidung di Pucuk Akasia. Aku memberi judul laguku sendiri seperti itu. Entah orang lain senang mendengarnya atau tidak, entah para manusia itu tersenyum hatinya atau tidak. Suaraku memang tak seindah para burung lain. Tak seindah Kenari yang kicauan mereka sama seperti warna bulu - bulunya. Tak sepintar beo yang pandai berbicara meniru bahasa manusia. Atau kutilang yang dipelihara oleh manusia karena mereka senang dengan cericitnya.

Aku hanya burung yang tak diperhatikan. Hidup atau mati pun tak ada yang peduli. Bila aku adalah tumbuhan, mungkin sama halnya seperti rumput di lapangan sepak bola kampung. Cericitku asal bunyi. Irama, ritme, tempo atau apalah itu bahasanya aku tak peduli. Bulu – buluku tak cerah. Hanya ada coklat dan hitam yang mendominasi. Dan satu titik putih di pipi kanan dan kiri. Itu juga sepertinya Tuhan kasian denganku. Ia menambahkan bedak seadanya untuk mempercantik kedua pipiku. Meski itu tak banyak membantu. Rumahku adalah Akasia besar ini. Rerumputan kering, dahan – dahan dan sedikit bulu – bulu yang kurontokkan sendiri cukup membuat nyaman pembaringanku kala malam mulai turun.

Ini hari minggu. Sepertinya aku harus libur bernyanyi dulu hari ini. Pagi dan sore akan ada banyak manusia yang bernyanyi untuk Tuhannya. Di dalam gereja sebelah rumahku. Pagi, para manusia paruh baya yang berdatangan. Mereka semua berpakaian rapi, berkemeja, wangi dan membawa sebuah kitab di tangannya. Berjalan berdua, sendiri dan ada pula yang diantar. Dia, gadis berambut ikal sebahu yang selalu mengantarkan ibunya setiap pagi dengan skutermatic. Mencium pipi ibunya, lalu kembali pulang. Sorenya, aku melihat ia kembali. Cantik, memakai kemeja, rok dan… ah, wangi tubuhnya tak terlupakan saat aku terbang melintasinya. Dia, gadis yang selalu menebar senyum, tak pernah telat datang dan pulang paling akhir. Entahlah, menurtuku ia seorang gadis yang baik dan sangat mencintai Tuhannya.

****

Jumat, 10 September 2010

Dear diary,

Hari ini aku bosan bermain di sekeliling rumah. Walau daya jelajahku tak seperti elang, aku ingin berkeliling melangkahi langit. Tapi apa daya, aku hanya burung yang alakadarnya. Tak istimewa! Aku hanya bermain ke tempat yang tak jauh dari rumahku. Satu lagi, rumah Tuhan yang sering didatangi banyak manusia. Tapi mereka mendatanginya pada hari Jumat, bukan minggu. Juga saat matahari tengah meraja di 12, bukan pagi atau sore. Dan mereka semua laki – laki. Masjid.

Aku berkunjung ke rumah temanku, Erow. Ia membangun rumah di lubang ventilasi tepat di bawah genting masjid. Aku pikir ini lucu, ia burung gereja sama sepertiku tapi membangun rumah di masjid. Seharusnya ia mengganti nama jadi burung masjid. Dari sarangnya, kami bisa melihat apa saja yang mereka lakukan di dalam masjid. Mereka tak bernyanyi seperti umat Kristiani, mereka tak duduk di kursi, hanya khotbah yang sama diantara cara beribadah mereka.

Erow bilang, “Lihat Trees, manusia itu aneh ya. Mereka menyebut dirinya muslim, sedangkan mereka yang di dekat rumahmu menyebutnya kristiani. Cara beribadah mereka berbeda. Keyakinan mereka berbeda. Padahal Tuhan mereka adalah Tuhan kita juga. Tuhan yang menciptakan mereka adalah Tuhan yang menciptakan aku dan kamu.”

“Lalu kenapa kalau mereka berbeda?”

“Tak ada yang salah. Malah perbedaan itu membuatnya indah. Tapi aku heran kenapa masih saja ada manusia yang saling memusuhi karena mereka berbeda. Seharusnya mereka yang diberikan kemuliaan yang disebut akal budi tak seperti kita bisa belajar dari pelangi. Mungkin bila warnanya hanya merah saja ia tak seindah saat ini.“

Aku heran dengan Erow. Mungkinkah ada sedikit akal manusia yang tercecer di otak kecilnya?

****

Minggu, 12 September 2010

Dear diary,

Minggu lagi. Sepertinya hariku akan terus seperti ini, sampai aku mati. Hidup hanya untuk mencari makan dan bernyanyi. Meski tak ada yang peduli. Tapi aku yang selalu peduli dengan sesuatu merasakan hal aneh pada minggu ini. Apakah umat kristiani mulai fals bernyanyi? Ah, tidak. Suara mereka tetap indah melebihi nyanyianku. Oh, gadis itu. Ia datang terlambat. Tak seperti minggu biasanya. Ia terbirit – birit membawa al kitab di trotoar depan gereja. Wajahnya nampak cemas meski cantik tak bisa membohongi. Saat nyanyian dalam gereja mulai menggema ia baru masuk.

Kenapa gerangan kau terlambat hei gadis?

***

Minggu, 19 September 2010

Diary!

Hari ini aku melihatnya! Gadis itu terlambat lagi. Bahkan lebih telat dari minggu kemarin. Dan yang membuatku terkejut, ia bersama seorang laki – laki. Mereka berjalan berdua dan berhenti beberapa meter sebelum gerbang gereja. Aku tahu ada lisan yang bercakap diantara mereka. Karena itu langsung kulebarkan sayap dan melesat seketika menghampiri mereka.

“Bagaimana dengan dia?” gadis itu berkata. Aku belum ketinggalan percakapan mereka. Di pagar kayu pembatas antara halaman dan trotoar aku bertengger menjadi saksi.

“Sudahlah, aku sayang kamu. Pergilah, temui Tuhanmu.” Pria itu tersenyum ramah. Tapi aku menangkap sesuatu yang tersembunyi dari kata – katanya, meski mataku tak setajam elang.

Dan, pria itu mengecup kening sang gadis yang tertutup poni. Keduanya tersenyum. Kemudian gadis gereja itu pergi meninggalkan pria entah dengan bahagia melimpah di wajah. Kulihat lagi wajah pria itu. Benar, ia memang menyembunyikan sesuatu. Atau lebih tepatnya, sesuatu itu sedang merasuki pikirannya. Napas panjang keluar membawa kebenaran yang tak mungkin ia berbohong.

****

Minggu, 26 September 2010

Maaf Diary,

Hari ini aku melihat gadis itu. Aku senang ia tak terlambat. Datang dengan wajah cerah dan wangi seperti melati mekar. Dengan tenang ia membawa Al kitab berjalan menapaki trotoar, memasuki gerbang gereja yang di kira kanannya rimbun dengan warna – warni bunga. Sepintas aku melihat senyum kedamaian melengkung kecil di bibirnya.

Tapi, aku melihat pria itu lagi setelah beberapa lama gema lagu mulai bernyanyi dari dalam gereja. Ia berdiri di depan gerbang, mematung cukup lama sebelum akhirnya ia memasuki gerbang. Beringsut ke sisi gereja yang ditumbuhi Akasia rumahku dan semak yang kurang terurus. Ia mengeluarkan telepon genggam dari sakunya, mengetik entah disana. Tak berapa lama, aku melihat gadis itu keluar dari gereja. Ia terbirit dengan wajah seperti orang yang keluar gedung untuk menyelamatkan diri dari gempa. Menengok ke kanan kiri, kemudian tersenyum setelah mendapatkan seorang pria sedang berdiri tepat di bawah rumahku.

“ALIIIII…” teriaknya sedikit cemas. Ia berlari menghampiri pria bernama Ali itu lalu menubruknya dengan dekapan hangat. Aku tak perlu terbang, suara mereka cukup terdengar dari atas sini.

“Kenapa kamu kesini?”

“Entahlah, aku hanya ingin lari dari kehidupanku dan hadir dalam hidupmu. Yang aku tahu pasti aku rindu kamu.” Ali menyambar bibir gadis itu. Ia melumatnya seperti ia menikmati ice cream cone tiada habis.

Gadis itu menikmati ciuman basah yang diberikan Ali. Beberapa lama, dan ia melepaskan bibirnya, “Kau tahu Ali? Aku tak bisa membayangkan bagaimana perasaan gadis itu kalau saja ia tahu semua ini. Ia sangat mencintaimu.”

“Aku lebih mencintaimu Evangelin.”

“Kenapa?”

“Karena aku tak bisa menyentuhnya, sebelum dia benar – benar menjadi milikku. Paras bidadarinya tak bisa kukecup seperti aku menciummu.” dan mereka kembali berciuman. Saling melumat, tak pedulikan mereka yang bernyanyi memuji Tuhannya di dalam gereja. Sambil berepelukan erat, tak pedulikan dia yang hampir rubuh di depan gerbang gereja. Memegang dada kiri dan air mata yang serta merta mengalir melihat sepasang anak manusia berbeda keyakinan saling bercinta dalam ciuman. Dia, gadis berkerudung yang Ali pernah ceritakan betapa cantik hatinya kepada Evangelin. Yang sangat mencintai Ali dengan segala ketulusannya.

** TAMAT **



RT @AANMANSYUR: CATATAN HARIAN BURUNG GEREJA ~ SEPASANG REMAJA BERCIUMAN DI SAMPING GEREJA YANG CUMA BERISI GEMA DOA. MEREKA BERBEDA AGAMA.

Labels:

permalink | 0 comments (+)

« BACK FORWARD »