Ibuku = Malaikatku ; 29 Sept 2010

Alasan aku begitu menghargai dan mencintai wanita adalah ibuku.
Kalau Tuhan telah menciptakan malaikat dari cahaya tanpa kelamin, bukan pria atau wanita. Aku memilih malaikat berwujud seorang perempuan andai saja aku bisa. Kenapa? Karena aku melihat sepasang sayap tak kasat mata di punggung ibu.
Dia wanita terbaikku. Pribadi yang aku tak percaya akan ada di orang lain selain seorang ibu. Wanita nomor satu dihidupku.

Ibu, tak hanya malaikat bagiku. Tapi ia juga pahlawan bagi orang lain, bagi murid - murid kecilnya yang nakal di sekolah. Ia seorang guru. Pahlawan tanpa tanda jasa yang sudah lebih dari 25 tahun mengabdi pada negara, untuk anak - anak bangsa. Dari tangannya yang kotor dengan kapur tulis terlahir para sarjana. Dari suara lantangnya di depan kelas terlahir tulang punggung bangsa. Ibuku terkenal galak saat mengajar di kelas. Aku mengetahui itu dari saudara kecilku yang menjadi muridnya. Tapi tahukah kawan? Aku kaget mendengar hal itu. Dia yang begitu lembut pada saudara - saudara kecilku ternyata disegani di kelas. Tapi andai saja kalian menjadi saudara kecilku yang juga menjadi muridnya di sekolah, mungkin kalian tahu betapa kental perbedaan itu terasa. Atau mungkin ibuku memiliki kepribadian ganda? Alter Ego? Tentu saja bukan. Ia memiliki caranya sendiri untuk mendidik murid - muridnya. Sikap lembut dan galak itu selalu ia posisikan dalam situasi yang tepat. Hasilnya? Tiap tahun aku selalu membuka kado berisi tas, pakaian atau sepatu yang dihadiahkan para murid untuk ibuku. Asal kalian tahu, ibuku salah satu guru yang kebagian kado paling banyak saat kenaikan kelas tiba.

Ia sungguh lembut, seperti halnya wanita pada umumnya. Tapi tak jarang juga ia mengomel, sama seperti kebanyakan ibu lainnya. Apalagi yang berurusan dengan Tuhan. Allah.... dia lebih berisik dari kicau burung di pagi hari. Dan lebih mengesalkan dari nyamuk pengganggu tidur di malam hari. Menurutmu, ibuku yang terlalu bawel atau salah aku yang suka menunda sholat? Jelas teriakan huuu akan tertuju padaku. Bahkan ayam jantan pun pasti menertawaiku yang bangun terlambat untuk sholat subuh. Tahukah kau? Meski sebal tapi hatiku tersenyum mendengar celoteh ibu yang menggerutu. Itulah cara dia mengungkapkan sayang, mengomeliku lebih baik daripada ia harus melihat anaknya dihukum Tuhan. Bila saja aku sempat, aku ingin rekam tiap omelan ibu untukku. Kusimpan kaset itu baik - baik untuk kudengarkan nanti saat ibu sudah lebih dulu menemui Tuhan. Aku pasti merindukan suara itu.

Di rumah, mungkin aku adalah anak yang tak sungkan - sungkan mengungkapkan rasa sayang untuknya. Walau adikku terkadang manja, tapi ia pernah membuat ibuku merajuk mengancam pergi dari rumah. Kakakku yang hatinya masih dimenangi ego ketimbang rasa sayangnya pada ibu terkadang hampir membuat ibu menangis. Mungkin hanya aku yang paling sering mencium pipi ibu, menenangkan hatinya saat ia merasa perih. Jika aku pulang kuiah dan melihat ibu sedang berada di dapur bersama api dan kepul asap masakannya, kuhampiri dia dan kucium pipinya. Sekedar bertanya "Mama masak apa? Wah, enak tuhh!" itu akan melengkungkan senyum di bibirnya. Pujian untuk masakannya pasti akan membuat hatinya senang, kawan. Juga sebaliknya, bila masakannya aku tak suka dan tak ada yang menyantap. Ia akan merajuk dan mengancam besok tak akan mau masak lagi. Lucu kan?

Menaruh kasih sayang di pipi ibuku juga kerap kulakukan saat ia sudah terlelap. Ya, memandang wajah ibu yang lelah seharian bekerja dan begitu nyenyak ia dalam lelapnya, selalu memunculkan pikiran di kepalaku: begitu tulus ia bekerja untukku, lalu apa yang sudah kulakukan untuknya. Mungkin dalam pikiran kalian ada yang bertanya mengapa aku sering mencium pipi ibu. Aku hanya tak ingin menyia - nyiakan waktu yang tak terbeli, kawan. Selagi aku masih bisa merasakan hangatnya pipi ibuku, aku akan selalu menciumnya. Karena aku tahu suatu saat aku akan kehilangannya dan tak akan lagi bisa merasakan pipi hangatnya.

Ibuku, dia terlihat sangat rapuh dari luar. Begitu lemah, membuat aku selalu ingin melindunginya. Tapi hatinya, bahkan aku yang seorang laki - laki pun belum tentu bisa sekuat ia. Ia seperti al Quran berumur ribuan tahun, rapuh bila disentuh tapi ayat di dalamnya tak akan hilang sucinya walau dibakar sekali pun. Karena keadaannya yang seperti itu membuat aku berjanji pada Tuhan akan selalu menjaganya bagaimana pun itu. Tak akan kubiarkan seorang pun menyakitinya. Aku akan berada pada garda depan untuk membela dirinya. Kalau perlu, nyawaku pun tak lebih berharga dari ibuku sendiri. Pernah dulu aku melawan seorang paman karena ia mengejek ibu. Aku berteriak, aku mengancam, bahkan telunjukku pun menunjuk batang hidungnya saat aku berbicara padanya. Dia diam seketika, kawan. Dan sejak saat itu pamanku yang satu ini segan denganku. Haha... Presiden sekali pun kan kulawan bila ia mengejek ibuku!

Hei, tahukah kau, ibuku pecinta Rhoma Irama. Ya, ia menggemari sekali raja dangdut itu. Lagu - lagunya, film - filmnya, ia hapal. Dari sejak dulu ia memang menggemari Kak Rhoma. Sampai pada akhirnya dirilis film terbaru Rhoma Irama saat lebaran kemarin, ia ingin sekali menonton film itu. Ia mengajak adik dan kakakku, tak ada yang mau. Dan aku satu - satunya yang mengajukan diri untuk menemaninya menonton Dawai 2 Asmara. Entah sudah berapa puluh tahun ia tidak ke bioskop. Ia terlalu sibuk bekerja. Yang kuingat saat aku kecil dulu aku diajak menonton film Saur Sepuh, entah dimana. Saat sampai di loket bioskop, ia hendak mengeluarkan uang untuk membeli tiket. Dengan segera aku menahannya dan mengeluarkan uangku sendiri. Coba pikir, apa kata dunia bila dengan wanita yang aku hanya sekedar suka atau sayang padanya aku mentraktir ia nonton film, sedangkan untuk wanita nomor satu dihidupku aku tak mau membelikan tiket nonton untuknya? Tuhan beserta malaikatnya mungkin akan menertawakan aku.

Yang lucu, ia heran dengan bioskop saat ini yang boleh memilih tempat duduk untuk nonton film. Aku pun terkaget dengan katanya, ia bilang "Dulu mah terserah duduknya dimana aja, yang penting beli tiket." Haha... Kalau kau tahu gedung yang sekarang menjadi Shoes City di Kota Depok, disitulah ia dulu sering menonton bioskop. Ia menggerutu saat kami hanya kebagian tempat duduk yang paling bawah, matanya yang sudah rusak membuatnya tak nyaman. Tapi tak sedikit senyum yang terulas di bibirnya. Andai saja aku bisa, aku ingin mencomot senyum itu lalu kumasukan pada dompetku. Atau andai saja hidup ini merupakan sebuah film, aku akan mencuri roll film bagian ini dari istana Tuhan untuk kuputar lagi saat - saat aku kehilangan semangat atau saat ibu sudah tiada.

Terserah kalian bilang ini curhatan labil atau apa. Aku juga tak peduli apa itu ruang publik apa itu ruang privasi. Masa bodoh aku ini tolol mengumbar masalah pribadi di ruang publik. Terserah beri julukan aku anak mama atau apa. Aku tak akan indahkan itu semua.
Aku hanya ingin menuliskan sesuatu tentang malaikatku. Aku hanya ingin berterima kasih pada surgaku. Walau pun ibu tak akan pernah baca tulisan ini, tapi setidaknya semua orang tahu kalau salah seorang anaknya begitu mencintainya.


Kalau ada orang yang mengatakan, "Ayah juara satu sedunia". Ayahnya hanya dinilai juara satu oleh mata dunia.
Tapi ibu,"Ia juara satu di mata Tuhan" Tiga derajat telak ia diberi kemuliaan langsung dari Tuhan.

Ibu,
Aku mencintainya, karena Tuhanku memerintahkan aku untuk berbakti padanya.

Untuk malaikatku...


Jakarta, 21 Sept 2010

Labels:

permalink | 0 comments (+)

« BACK FORWARD »