Saat Kebenaran Tak Bisa Dibeli Dengan Uang ; 15 Dec 2009
Keadilan memang tengah diperkosa di negeri ini, tapi kebenaran tidak pernah mati.
Mungkin kalimat itu dapat melukiskan apa yang tengah terjadi pada kasus Prita belakangan ini. Ya, RS Omni Internasional mencabut gugatannya. Gugatan yang ia layangkan kepada kepolisian atas tindak pencemaran nama baik yang dilakukan oleh Ibu Prita Mulyasari terhadap RS Omni Internasional. Pencemaran nama baik !? Entah tanda seru atau tanda tanya yang lebih tepat untuk mengakhiri kalimat itu. Dan Prita dikenakan sanksi denda sebesar 204 juta rupiah atas tindakannya itu.
Bila perseteruan antara KPK dan Polri dianalogikan dengan Cicak vs Buaya, maka kasus antara Omni dan Prita dianalogikan dengan Gajah vs Semut. Hiperbolkah? Mungkin, seperti halnya RS Omni Internasional yang juga melakukan tindakan hiperbol terhadap Prita.
Tapi apalah jadinya bila seekor Gajah dikeroyok oleh Semut satu negeri? Seluruh rakyat di segala penjuru negeri yang telah lama jengah dengan ketidakadilan ikut memberontak. Mendukung Ibu Prita Mulyasari! Berbagai lapisan masyarakat mengumpulkan keping demi keping koin untuk meringankan Ibu Prita membayar denda. Pejabat, karyawan, mahasiswa, guru, bocah SD bahkan pengamen jalanan pun ikut menyumbang walau sekeping. Janganlah dilihat jumlahnya, tapi lihatlah ketulusan hati mereka. Seperti yang juga dilakukan oleh beberapa warga daerah yang rela jauh - jauh datang ke Jakarta hanya untuk memberikan keping koin untuk Prita.
Namun kini, setelah angka 204 juta rupiah telah terlewati, setelah denda sudah siap dilunasi. "Dia" mencabut gugatan. Ada apa gerangan wahai Gajah? Malukah kau memungut tiap keping demi keping 204 juta rupiahmu? Malukah kau menelah harta dari tiap peluh ketulusan mereka? Malukah kau menerima uang sumbangan dari pengamen jalanan?
Tak perlu dijawab. Kami sudah tahu. Bahwa kebenaran yang sesungguhnya tidak dapat dibeli dengan "uang".
Labels: Feature