SCHIZOLOVIA ; 30 Oct 2009
Mata jeli Suci sembab dan berair, hidungnya memerah, kulit putih di pipinya basah dengan air matanya. Rambutnya yang bergelombang sebahu terlihat kusut. Merahnya darah menempel di bagian lengan dan dada pada kemeja lengan panjangnya yang berwarna putih. Kepalanya disandarkan pada bahu tante Vira, ibunda Rean Al Kanzha. Wanita paruh baya itu pun terlihat resah, wajahnya menampakan raut kecemasan. Ya, bagaimana bisa tidak cemas jikalau seorang anaknya tengah berada di ruang Unit Gawat Darurat untuk mendapatkan pertolongan pertama dari kecelakaan yang didapatinya.
Rean mengalami kecelakaan saat ia tengah menyebrang jalan. Ia mengalami benturan keras akibat tertabarak sepeda motor yang tengah melaju kencang. Tubuhnya terpental dan membentur aspal dengan keras, beruntung ada seorang bapak yang mau berbaik hati untuk melarikannya ke rumah sakit terdekat. Pak Arif telah pamit lebih dulu pada tante Vira, ada urusan yang harus diselesaikan, katanya. Ia lah yang menjadi saksi mata di kecelakaan tragis yang di dapati oleh Rean. Dan dia pula yang memacu pedal gas mobilnya dalam – dalam untuk menyelamatkan Rean.
Tak ada yang bisa dilakukan oleh tante Vira dan Suci kecuali menunggu. Dalam isakan tangisnya pikiran suci melayang entah kemana. Ia memikirkan Rean, menyalahkan dirinya, memaki – maki dirinya dalam hati. Ia berpikir ialah penyebab kecelakaan yang didapati sahabatnya, mungkin juga cintanya. Ia menyalahkan dirinya sepenuhnya atas kecelakaan ini, atas keputusan bodoh dan gila yang dibuat olehnya. Mereka berdua tidak berbicara sedikitpun. Hanya pelukan hangat tante Vira yang coba menenangkan Suci. Beberapa lama kemudian seorang dokter laki – laki keluar dari ruang UGD. Tante Vira dan Suci beranjak dari kursi dan menghampiri dokter yang tengah melepaskan masker hijaunya. Mereka bertanya secara bersamaan pada dokter tersebut dengan penuh kecemasan.
“Anak ibu mengalami cedera fatal, terutama pada bagian dada sebelah kanan dan kepala. Benturan yang sangat keras menyebabkan memar di dadanya, diperlukan hasil rontgen untuk mengetahui apakah tulang rusuknya baik – baik saja atau mengalami keretakan. Kepalanya bocor karena membentur aspal. Sampai saat ini ia koma dan belum sadarkan diri.”
Tangis Suci kembali pecah, air matanya mengalir kembali. Ia menundukan wajahnya, rambutnya yang hitam legam ikut menjuntai mengikuti wajahnya. Tante vira mengucapkan terima kasih pada dokter tersebut sebelum dokter itu pergi.
Siang berganti malam, matahari mengakhiri lintasannya di langit, namun tetap menampakan sinarnya melalui perantara bulan. Rean tak lagi di ruang UGD, ia telah dipindahkan ke kamar rawat inap. Tante Vira kembali kerumah untuk menyelesaikan pekerjaan rumahnya dan merawat Aluna, adik Rean. Rean terbaring di ranjang tanpa kesadaran, entah tengah berada dimana jiwanya saat ini. Atau, ia tengah bermimpi indah dalam tidurnya. Tak ada yang tahu selain dirinya dan Raja Penguasa Alam. Kepala Rean ditutupi perban dengan noda merah di kening bagian kanan. Hidungnya dikenakan selang oksigen, tubuhnya tak lagi mengenakan kaos putihnya yang tadi bersimbah darah. Ia bertelanjang dada dengan perban melilit di dadanya yang separuhnya ditutupi selimut. Tangan kirinya tertancap jarum infus, sementara yang kanan terdapat banyak luka yang mengoyak kulitnya. Hal yang telah membuat Suci menangis.
Suci tak lagi menangis kali ini. Wajahnya tampak cerah walaupun masih ada raut kesedihan terpampang. Rambutnya telah tersisir rapi, kemejanya tak lagi ada bercak darah. Ia duduk berdua dengan Anggrek, teman wanita terdekatnya di kampus. Mereka duduk di sofa yang biasanya dijadikan tempat duduk untuk orang yang menjenguk, tepat di ujung tempat tidur.
“Apa kau akan bermalam di sini?” Anggrek bertanya tanpa melihat Suci, matanya tertuju pada Rean di tempat tidur.
“Ya, aku tak akan pulang bila Rean belum pulang.”
“Suci…” kali ini Anggrek menatap Suci dalam. “Setelah semua ini terjadi, apa kau tetap tidak mau menceritakannya padaku?” Suci diam, menunduk. Anggrek diam sejenak menunggu jawaban Suci.
“Apa kau akan pergi ke luar kota?” Anggrek melihat koper di samping tempat tidur Rean. Suci tetap tidak mau menjawab.
Anggrek menarik nafas dalam – dalam lalu menghembuskannya panjang “Yasudah.”
Ia menyusuri pandangannya ke seluruh isi kamar, mengalihkan kekecewaannya pada Suci yang tetap tidak mau membuka mulut.
“Semua berasal dari keputusanku…” Anggrek langsung menoleh ke arah Suci yang mulai berbicara tanpa mau mengangkat wajahnya sedikitpun. “…yang ingin meninggalkan Rean pergi ke luar kota, Yogya, tempat ayahku.” Dan ia mengangkat wajahnya, beradu pandang dengan Anggrek.
“Kenapa?” Tanya Anggrek.
“Panjang ceritanya. Kau sudah tahu aku berteman dengan Rean sejak kecil. Dan kau juga sudah tahu aku mencintai Rean…..” Suci menoleh pada Rean sejenak “….sejak lama.” Dan kembali ia menundukan wajahnya.
“Aku berteman dengan Rean sejak aku kecil, hingga saat ini. Kami bermain bersama saat kecil dengan teman yang lain, kami berangkat sekolah bersama, kami tumbuh bersama. Anehnya kami seakan tak terpisahkan. Kami bersekolah di SMP yang sama, SMA yang sama, hingga kuliah dalam satu kampus yang sama. Yang membuatku bersahabat denganmu. Walaupun kami tidak selalu dalam kelas yang sama tapi kami tidak pernah jauh satu sama lain. Namun kebersamaanku dengan Rean dalam tempat tinggal tidak sama dengan kebersamaanku dalam pendidikan. Saat kelas satu SMP aku pindah rumah karena orang tuaku bercerai. Aku ikut ibuku, ayahku menjual rumah kami yang lama dan ia pulang ke Yogya. Tidak hanya aku yang hidup hanya dengan satu orang tua. Orang tua Rean juga berpisah, namun maut yang memisahkan mereka, bukan egoisme seperti orang tuaku.”
“Ayah Rean meninggal karena sakit saat ia kelas dua SMP. Dan disitulah aku pertama kali melihat Rean dalam keterpurukan. Aku yang menarik tangannya untuk bangkit, sangat ampuh, ia langsung bangkit. Karena aku menggunakan cara ia menarik tanganku saat aku terpuruk sangat dalam. Yaitu saat orang tuaku bercerai. Semakin kami tumbuh kami tambah mengerti arti persahabatan, dan kami mulai mengenal rasa cinta. Kami merasakan bagaimana indahnya jatuh cinta untuk pertama kalinya saat kami kelas tiga SMP.”
“Saat itu aku di beranda rumah Rean, duduk tanpa kursi bersamanya. Ia menceritakan siapa wanita itu….
“Jadi siapa?” Suci memulai pembicaraan.
“Dia seorang wanita.” Sekejap Suci langsung menampakan wajah jengkel terhadap sahabatnya. “Ya, dan dia pasti bukan laki – laki.” Rean tertawa mendengar ucapan Suci, namun ia hanya diam tanpa membalas tawa Rean.
“Ok ok, aku mulai…” Rean menghentikan tawanya yang tersisa dan mencoba serius.
“Dia teman kelasku, kulitnya putih, rambutnya bergelombang sebahu.” Suci tampak senang, tapi ia berusaha menepis bahwa yang dimaksud adalah dirinya, walaupun ia sangat mencintai Rean.
“Satu hal yang tak akan aku bisa lupakan dari dirinya. Senyumannya.” Suci tersenyum, manis sekali. Ia bisa merasakan detak jantungnya berpacu lebih cepat, dan tubuhnya dipenuhi rasa kebahagiaan yang entah datangnya dari mana. “Manis sekali, dengan hanya melihat senyumnya saja aku bisa mengenali kalau itu dia.” Rean melanjutkan.
“Siapa namanya?” Suci menyela.
Rean menatap Suci, jauh ke dalam matanya, menanamkan kebahagiaan dalam diri Suci. “Anggie…kau tahu.”
DUARRR….Sejuta harapan Suci meledak begitu saja, luluh lantak, hancur berkeping – keping. Bukan hanya harapan, tapi juga hatinya. Jantungnya terasa mengerenyit, pembuluh darahnya mengecil. Jantungnya seperti di genggam keras hingga mau pecah. Sesak, seperti oksigen menghilang sekejap disedot oleh jawaban Rean yang menyakitkan.
“Kalau kamu?” Tanya Rean memecah keterpakuan Suci.
“Eh..hah? apa?” Suci gugup, ia belum siap untuk bicara. Jantungnya masih berdetak hebat, namun bukan kebahagiaan yang menggelora di dalamnya, melainkan rasa perih yang menusuk – menusuk.
“Siapa dia? Yang kau sukai?”
“Ah,,,eh,,anu,,Iqbal.” Suci menjawab spontan, tak mungkin ia menjawab Rean. Sungguh hal yang tak mungkin, ia tak mau merusak suasana yang telah tercipta.
“Hah? Bocah berkaca mata tebal, berkulit putih, berambut pirang yang hampir seperti albino itu? Hahaha…seleramu aneh.” Suci tak mempedulikan tertawaan Rean, ia menunduk. “Hahaha…ia seorang yang beruntung, disukai sahabatku yang cantik.” Rean terus tertawa, entah itu senang karena apa. Lalu ia meredam tawanya dan menghentikannya “Eh..aku baru sadar sejak kau tersenyum tadi. Senyumanmu tak kalah manisnya dengan milik Anggie.” Suci tersenyum, namun terpaksa, karena di dalam hatinya teriris, perih sekali.
“Sejak saat itu aku mencoba menjaga perasaanku terhadap Rean. Walaupun sebenarnya pahit menerima kenyataan yang ada. Dan sejak saat itu pula Rean mencoba mengambil hati Anggie. Ia mencoba mengenal lebih dalam tentang Anggie. Tapi itu tak akan ia lakukan bila bukan aku yang menasehatinya. Aku tak mau ia kehilangan cintanya dan merasakan sakit yang menyiksa, seperti aku.”
“Tamat SMP aku dan Rean bersekolah di satu sekolah yang sama, kebetulan Anggie juga begitu. SMA 3, sekolah baru kami. Namun aku, Rean dan Anggie tidak tergabung dalam satu kelas yang sama. Rean dan Anggie sekelas di X.3, namun aku terpisah di X.6. Ya, seperti halnya hatiku, aku diasingkan. Kedekatan mereka satu sama lain semakin dalam, berbeda pada saat SMP. Hal yang membuatku tersiksa, yaitu ketika aku melihat mereka bahagia dengan canda dan tawa mereka dari kejauhan. Dan yang lebih menyakitkan lagi, ketika Rean bercerita tentang dirinya dan Anggie, entah itu tentang kisah bahagianya atau seputar masalahnya. Sebagai sahabat aku hanya bisa bahagia melihatnya bahagia, dan ikut berpikir mencarikan solusi dari timbunan masalah mereka.”
“Entah hatiku seperti apa saat itu, mungkin tercabik – cabik dan meninggalkan luka sayatan di mana – mana. Dan waktu pun terus berputar. Terus mengalir membawa kisah hubungan kami menjadi lebih sulit. Hidup Rean berubah, juga sikapnya. Sejak saat awal masuk kuliah.”
“Kau berpacaran dengannya kan?” Anggrek memotong.
“Tidak, bukan, dengarkan ceritaku sampai selesai.” Bantah Suci. Suci menarik nafas, memejamkan mata, dan menghembuskan karbondioksida ke udara sekitar. “Aku….ah, kau pernah melihat kan aku duduk berdua di lantai dan bersandar pada dinding depan kelas dengan……mesra.”
“Ya, sering. Kau layaknya seperti sepasang kekasih yang bercengkrama seakan dunia hanya milikmu dengannya saja.”
“Namun kadang aku melihat wajah sedihmu pada saat – saat seperti itu. Bahkan aku pernah melihatmu menitikan air mata. Tapi anehnya, Rean tak menampakan kesedihannya, ia tetap bahagia bersamamu walau saat itu kau tengah menangis.” Anggrek melanjutkan.
“Ya kau benar. Dan, pernahkah kau melihatku dengannya seperti sepasang sahabat. Yang apabila ada orang melihat kami dia akan langsung tahu kami bukan sepasang kekasih. Maksudku…tidak kah kau melihat perbedaan yang sangat?’
“Ya benar, itu yang baru saja ingin aku tanyakan. Kenapa bisa seperti itu?” Tanya Anggrek keheranan.
“Saat itu…..
Rean duduk di lantai dengan menekuk kakinya hingga lututnya sejajar dengan dada. Ia bersandar pada dinding kelas di belakangnya. Suci pun melakukan hal yang sama, tapi ia tidak menyandarkan kepalanya di dinding, melainkan bahu kiri Rean. Mereka bergenggaman tangan, erat. Saat itu lorong gedung sangat sepi hanya mereka berdua yang duduk, sesekali beberapa mahasiswa dan petugas kenersihan melintas, namun tak banyak.
“Aku punya sesuatu untukmu.” Seru Rean sambil menatap Suci yang bersandar di bahunya. Mata mereka beradu pandang sangat dekat.
“Sebentar…” Suci mengangkat kepalanya dari bahu Rean, ia duduk menyilangkan kaki dengan tegap. Sementara Rean merogoh sesuatu dari ranselnya. “Ini, sebagai bukti bahwa aku mencintaimu melebihi dari apa pun.” Terdapat sebuah kalung di telapak tangan Rean. Bukan kalung emas, itu hanya sebuah tali hitam yang melingkar dengan sebuah cincin perak di dalamnya. Di cincin tersebut terukir sebuah nama.
“A N G G I E ?” Suci bingung, mengerenyitkan dahi sesaat, namun keheranan itu sekejap menghilang. Ia seakan tersadar akan sesuatu. Wajah bingungnya berganti sedih, matanya berair. Seakan dia menerima saja kesalahan pada ukiran nama di cincin.
“Ya, siapa lagi yang ada di hatiku selain namamu, Anggie.” Air mata Suci menetes, mengalir membasahi pipinya mendengar ucapan Rean, namun ia tersenyum. “Kau tahu, dulu aku pernah berkata pada sahabatku Suci. Satu hal yang tak mungkin aku lupakan darimu,,,adalah senyumanmu.” Suci tak tahan, ia memeluk Rean sangat erat. Menyembunyikan tangisnya di belakang kepala Rean tanpa suara.
“HAH? KEPRIBADIAN GANDA?” Anggrek setengah berteriak mengatakan itu seakan tak percaya. Ia pun hampir lompat dari kursinya.
“Ya, semenjak awal kuliah ia mengidap penyakit kepribadian ganda atau disebut juga schizofernia. Kadang ia melihatku seperti aku apa adanya, dan kadang ia melihatku sebagai Anggie, satu – satunya wanita yang ada di hatinya.” Ujung mata Suci berair. Tak hanya saat ini, tapi juga di saat – saat ia menjalin kasih dengan Rean, berperan sebagai Anggie di mata Rean. Dan di saat – saat ia mengingat – ingat hal itu.
“Tapi kenapa dia menjadi seperti itu? Memangnya….kemana Anggie?”
“Anggie….ia meninggal karena demam berdarah di akhir tahun sekolah. Kembali, aku melihat Rean jatuh sangat dalam, ia benar – benar terpuruk. Aku tak bisa menarik tangannya untuk bangkit seperti dulu lagi. Ia stres berat hingga akhirnya, di suatu waktu ia melihatku, ia seakan melihat Anggie ada dalam diriku. Alasannya…….karena senyumanku.”
“Awalnya aku mengelak, aku mencoba menyadarkannya bahwa aku bukan Anggie. Tante Vira membawanya ke psikiater, dan dia divonis mengidap schizofernia. Aku dan tante Vira tak tahan melihat Rean yang stres berat, benar – benar depresi. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk berperan sebagai Anggie saat ia melihatku sebagai Anggie. Tante Vira mengakhawatirkan aku pada awalnya, lebih tepatnya mengkhawatirkan perasaanku. Namun sejalannya waktu, ia senang melihat anaknya membaik karena sandiwaraku. Sampai lulus kuliah aku memainkan sandiwara itu. Kadang aku adalah Anggie yang menjalin asmara dengan Rean. Kadang aku adalah Suci yang mendengarkan kisah asmara Rean dengan kekasihnya, yaitu diriku sendiri. Setelah sekian lama akhirnya aku mendapatkan balasan cinta dari Rean, walaupun hanya berpura – pura, walaupun ia menganggapku sebagai Anggie, walaupun di hatinya tak ada diriku.”
“Apa itu menyakitkan?” Tanya Anggrek.
Suci tersenyum memandang Anggrek, air matanya jatuh. “Ya..lebih menyakitkan dari sebelum – sebelumnya. Hatiku tersiksa sangat pedih. Namun di atas penderitaan itu aku bahagia, di atas penderitaan itu aku mendapatkan cintanya. Aku terjebak di antara persahabatan dan cinta.”
“Dan sampailah di ujung ceritaku, Rean ingin menikah denganku. Tidak, lebih tepatnya ia ingin menjadikanku Anggie dan menikahiku sebagai Anggie. Aku sungguh tak bisa. Tante Vira pun memohon padaku agar aku mau menuruti permintaan Rean, agar aku mau menjadi menantunya. Tapi aku sungguh tak bisa menerima hal gila ini. Maka aku memutuskan untuk pergi meninggalkan Rean, aku ingin pergi ke luar kota. Tapi Rean mengejarku, dan terjadilah hal buruk ini.” Anggrek merangkul Suci, menyandarkan kepala Suci di bahunya dan memberikannya pelukan hangat. Anggrek tahu Suci butuh tempat bersandar. Ia tak akan bisa menghadapi semua ini seorang diri. Ia berjanji akan menemani Suci sampai ia bisa berdiri sendiri kembali.
Malam beranjak semakin larut. Jarum pendek di jam dinding rumah sakit berada di tengah – tengah antara angka dua belas dan satu, jarum panjangnya tepat menunjuk angka enam. Suci tertidur di samping tempat tidur Rean. Ia duduk di kursi, kepalanya dan kedua tangannya direbahkan di kasur tempat Rean tertidur. Tangan kanannya menggenggam tangan Rean yang tanpa selang infus. Anggrek menyandarkan kepalanya di bahu tante Vira yang melipat kedua tangannya di dada. Malam benar – benar sunyi, tak ada suara sedikitpun.
Suci kini berada di tanah lapang yang ditumbuhi rumput halus. Tak banyak pohon, hanya dua, tiga pohon yang berdiri tegak. Pohon itu pun tidak besar. Terdapat gundukan di mana – mana dengan potongan batu atau kayu yang menancap pada gundukan tersebut. Nisan, ya ini sebuah pemakaman. Suci melihat ke sekeliling dengan heran kenapa ia ada di sini. Tiba – tiba ada sesosok pria yang muncul entah dari mana datangnya. Seperti muncul dari kabut asap. Suci tersentak, ia mengenali pria itu.
“Rean. Kenapa kau ada di sini? Seharusnya kau di rumah sakit.” Suci berlari memeluk Rean. “Maafkan aku. Seharusnya aku tidak menolak menikah denganmu sebagai Anggie.” Suci menangis dalam pelukan Rean. Rean melepaskan pelukan Suci, berdiri di depan sahabatnya itu. Rean mengenakan kemeja lengan panjang dan celana panjang berwarna putih bersih, tanpa alas kaki.
“Tidak, kau lah yang kucintai. Yang benar – benar kucintai, Suci Aisyifa Kumala.”
Tiba – tiba Suci merasakan sentuhan lembut di bahu kirinya. Itu tangan Anggie, entah dari mana datangnya. Ia mengenakan gamis putih, tersenyum manis sekali, seperti senyuman Suci. “Kau adalah cintanya. Terima kasih telah menemani dan membuatnya terus hidup setelah aku tiada.”
Dan lagi, Suci merasakan sentuhan hangat di bahu kanannya. Itu tangan ayah Rean, dia juga hadir secara tiba – tiba. “Kau adalah sahabatnya. Terima kasih kau selalu ada di setiap saat, seumur hidupnya.”
“Kau adalah sahabatku, kau ada di saat aku terpuruk dan kau menarik tanganku untuk bangkit. Kau adalah cintaku, yang membuatku terus hidup di saat aku tak bisa meneruskan hidup. Kau mencintaiku dengan tulus, tanpa mempedulikan betapa sakitnya hati yang kau korbankan. Dan aku membalas cinta tulusmu. Saat kau pergi, aku mengejar dan memanggil namamu, Suci, bukan yang lain. Kau adalah sahabat dan cintaku, dan kau pergi meninggalkanku. Tentu saja aku tak akan bisa hidup tanpamu, tanpa itu, sahabat dan cintaku.”
Lalu mereka bertiga berjalan mundur meninggalkan Suci. “Tunggu, mau kemana kalian? Rean! Rean!” mereka berbalik, berjalan membelakangi Suci namun Rean tetap menoleh ke arah Suci. “Rean!! Rean!! Jangan pergi!!” Suci menjerit sangat ketakutan. Air matanya mengalir deras. Ia ingin mengejar namun kakinya membatu. Ia terus mencoba melangkah tapi itu hanya membuatnya tersungkur. Suci terus menjerit meneriakan nama Rean. Tapi mereka bertiga terus berjalan memasuki kabut asap. Rean terus menoleh ke arah Suci, air matanya menetes, dan hilang di telan kabut asap.
“REAAANNN!!!” Suci berteriak memecah keheningan malam di rumah sakit. Anggrek dan tante Vira terbangun karena kaget. Mereka melihat Suci menangis meraung – raung di atas dada Rean yang terbaring. Mereka bingung, sangat bingung.
“Suci ada apa?” Tanya tante Vira panik. Tapi Suci tak menjawab, ia terus menangis histeris dengan menyebut – nyebut nama Rean. Anggrek bergegas menghampiri Rean di sisi yang lain. Ia memegang pergelangan tangan Rean yang terkepal terburu – buru, sangat panik. Ia mengecek denyut nadi Rean. Tante Vira menatap Anggrek yang belum selesai memeriksa denyut nadi anaknya, mengharapkan jawaban baik. Tanpa mempedulikan Suci yang terus menangis, Anggrek menatap tante Vira dengan mata berkaca – kaca dan raut wajah yang sangat tidak bisa menerima kenyataan.
“Dia telah tiada.”
“Sahabat dan cinta adalah teman terbaik. Jangan pernah coba untuk memisahkan keduanya. Kau tak akan bisa hidup tanpa keduanya. Bukan sahabat namanya bila ia tidak mencintaimu. Bukan cinta namanya bila ia tidak bisa menjadi sahabatmu. Aku mencintaimu, atas nama sahabat dan cinta.”
Suci terbangun dari mimpinya, terduduk di tempat tidur dengan selimut yang menutupi sebagian tubuhnya. Itu suara Rean, sudah tujuh hari sejak pemakaman Rean berlangsung Suci tak bisa tidak menteskan air matanya tiap malam. Hanya malam ini ia tidak meneteskannya, namun setelah mendengar suara Rean di mimpinya, air matanya mentes kembali dan tersenyum manis sekali, seperti senyuman Anggie.
Labels: sepenggal kisah (cerpen)