Sang Penakluk Mimpi ; 30 Oct 2009

“Hahaha..kau pasti sudah tak ada di sini jika aku tidak menolongmu pagi tadi.”
“Heh…enak saja. Tanpa pertolonganmu, aku juga bisa lolos. Lariku lebih cepat dari Puma.” Cikal membantah membela diri.
“Hei..kalau larimu lebih cepat dari puma, kenapa tidak jadi atlet lari saja?” Adin yang mendegar ceritaku ikut meledek Cikal.
“Mauku juga begitu. Tapi nasib yang membuangku telantar di jalanan.” Gerutu Cikal. “Nasib bisa diubah kawan, tenang saja.” Aku menyemangati Cikal yang geram pada hidupnya.
“Dengan apa? Mimpi dan harapan?”
“Tepat sekali.” Aku membenarkannya yang disambut dengan wajah heran seakan berkata “Kau gila.”. “Tapi Ibum, kita hanya…gelandangan.” Adin juga ikut menyangkal pendapatku.
“Ya…gelandangan yang akan meraih mimpinya.” Cikal memutar matanya dan menyunggingkan senyum sinis meremehkan aku. Lalu ia masuk ke dalam tempat kediaman kami, tepatnya sebuah ruko kecil yang pengap dan usang berukuran 2x3 meter. Tentu saja kami tidak menyewanya. Kami hanya tiga orang anak yang menghabiskan setiap saat waktu kami di jalanan. Kami tinggal bertiga di ruko kecil di pinggir terminal. Ruko yang tak terurus, ditinggali pemiliknya karena lokasinya yang tak strategis, di belakang terminal yang tak dilewati pembeli. Karena itu kami berhasil menggergaji gemboknya dengan gergaji pinjaman milik supir angkot.
Aku duduk di teras ruko bersama Adin di sampingku. Aku melipat kakiku, menaruh daguku di atas lutut sambil memeluk kakiku. Adin pun melakukan hal yang serupa. Kami menatap langit yang dipenuhi bintang – bintang. Aku menengok ke arahnya, wajahnya sudah tak sekusam tadi siang. Tapi bajunya tetap saja dekil walau ia sudah mandi di tempat pemandian umum malam ini. Rambutnya bergelombang sampai dada. Matanya jeli, bibirnya tipis, kulitnya kuning langsat. Sebenarnya dia cantik menurutku. Hanya saja kecantikannya tertutupi oleh kotornya kehidupan kami. Ia teman mengamenku. Ya mengamen, agar bisa bertahan hidup di kota Jakarta yang seperti rimba di Afrika. Usiaku sama dengan Adin, seharusnya kami duduk di bangku SMA. Jika saja kami beruntung.
Aku menoleh ke belakang. Terlihat Cikal sudah tertidur pulas beralaskan kardus sebagai ranjangnya. Rambut keritingnya tak terurus berantakan, berwarna pirang matahari, kulitnya hitam kusam. Diantara kami dialah yang paling jarang mandi. Biarlah ia membuang lelahnya malam ini. Kehidupan keras menantinya esok hari. Ia tak mau ikut kami mengamen, ia hanya ingin mencopet. Karena itulah larinya cepat sekali. Hahh…sampai kapan kami hidup seperti ini. Aku ingin hidupku indah seperti sinar bulan di atas sana. Bukan seperti gelapnya langit malam ini.
“Sampai kapan kau mau melamun terus botak? Aku mau tidur.” Adin berdiri, masuk ke dalam ruko meninggalkanku. “Aku tidur di luar. Aku ingin melewati malamku bersama bulan penuh.” Jawabku. Adin memberikan selimut untukku. Aku membaringkan tubuhku di lantai teras ruko, menyelimutinya agar terlindung dari dinginnya angin malam ini. Aku terlentang melipat kedua tanganku di belakang kepalaku sebagai pengganti bantal. Aku menatap bulan yang melingkar sempurna, dan memejamkan mataku berharap sinar bulan menerangi mimpi dan hidupku nanti.

Hhhh…nikmat sekali meregangkan otot setelah seharian bekerja mengais rupiah di tengah keramaian kota. Aku merebahkan tubuhku di atas rumput lapangan sepak bola yang kering, tapi juga masih menampakan tanda – tanda kehidupan di warna hijaunya. Hidup segan mati tak mau. Heii..apa rumput ini menyindirku ya? Aku memasang posisi favoritku memandang langit. Terlentang sambil melipat kedua tangan di belakang kepala. Di sebelah kanan terbaring gitar butut penyambung hidupku. Dan Adin di sebelah kiri, yang duduk melipat kaki dan memeluknya sambil wajahnya ditengadahkan ke langit malam. Berharap bintang jatuh membawa kehidupan yang lebih baik.
Lapangan ini tidak jauh dari terminal, rumput – rumput hanya tumbuh di pinggir lapangan, dan sisanya adalah tanah kering yang berdebu. Dua gawang dari bambu terpasang di kedua ujung lapangan. Ini tempat favorit kami untuk melihat langit dan gemerlapnya kota di malam hari karena berdataran tinggi. Tak jarang juga cikal menyusul melepas sepinya dengan bergabung bersama kami.
“Apa impianmu Adinda?” Aku memecah kebisuan diantara kami. Adin menoleh padaku sebentar, lalu kembali menatap rasi bintang dua tiga dua, Orion. “Pergi ke Paris, melihat menara Eiffel. Seperti yang kulihat di poster – poster film bioskop.”
“Hah..kau menontonnya?” Kataku kaget sambil menoleh ke arahnya, tapi dia tak melepaskan pandangannya dari Orion. “Ahahaha..memangnya siapa diriku?” ia tertawa tanpa menoleh, Orion sangat memikatnya.
“Kau seorang Adinda Aya Alanys yang akan pergi ke Paris melihat menara Eiffel.” Adin tersenyum mendengar ucapanku. “Aku berjanji akan membawamu ke Paris tahun ini.”
“AHAHAHA…” tiba – tiba tawa keras Adin membuat jangkrik berhenti berderik. Entah apa yang lucu. “Kenapa kau tertawa?”
“Hahaha..aku tahu kau bohong besar tapi aku senang mendengarnya, terima kasih.” Jawabnya mencoba menghabiskan sisa tawa miliknya. “Hei, tak percayakah kamu hidup itu berawal dari mimpi?” Aku mencoba benar – benar serius kali ini.
“Iya, tapi kalau mimpi jangan terlalu tinggi.”
“Bila tidak bermimpi tinggi, bagaimana bisa kau raih sesuatu yang tinggi pula. Kau hanya akan mendapatkan hal – hal yang kecil yang membuatmu dilecehkan orang lain.”
“Ok..Ok..tapi hati – hati jika bermimpi terlalu tinggi. Kalau jatuh pasti sakit sekali.”
“Ya, benar. Aku setuju kalau jatuh dari ketinggian pasti akan sakit sekali. Tapi…anak balita juga tahu kalau kau terjatuh, harus bangkit lagi.” Dan akhirnya ia melepaskan pandangannya dari Orion, memandangku dengan senyum manisnya. “Entah darimana rasa ini muncul. Aku yakin seratus persen kau akan meraih impianmu, pemimpi.” Dan aku pun membalas senyumannya, ia menyulutkan api semangat di dadaku. Tak mungkinlah aku mengecewakan kepercayan sahabat seperti dia.
“Pemimpi itu hanya untuk pecundang.” Itu suara Cikal. Aku bangkit dari pembaringanku untuk melihat anak yang kepalanya sekeras batu. “Lihat aku bawa apa.” Serunya sambil memberiku sebuah gulungan, sepertinya poster. Kubuka gulungan itu, Adin merapat padaku ingin melihat juga. LOMBA ESTAFET MARATHON, begitulah bunyi tulisan paling besar yang ada di poster. Aku langsung memberikan poster itu pada Adin yang masih ingin membacanya, aku tak berminat. Kupandang Cikal yang berdiri sombong. “Untuk apa?”
“Kita ikut lomba itu.” Katanya. “Kita? Kau saja, aku tidak jago lari sepertimu.” Jawabku malas. “Heii, tidak kah kau lihat berapa jumlah hadiah pertamanya?’
“Dua puluh lima juta rupiah.” Aku menengok pada Adin, tak percaya dengan ucapannya. Aku merebut poster itu lagi, melihat pada bagian hadiah. Benar. “Banyak. Tapi percuma, aku dan Adin tak biasa lari, hanya kau yang paling cepat. Lagi pula, lomba ini dibuka untuk umum, dan se-Indonesia. Pasti banyak atlet – atlet yang ikut. Sedangkan kita…hanya gelandangan.”
“Gelandangan yang akan meraih mimpinya. Itu yang kau ucapkan kemarin. Tak malu kah kau pada dirimu sendiri? Menyerah sebelum bertanding.” Cikal membalikan kata – kataku. Tak mungkin aku menolak bila sudah seperti ini. “Ok..Ok..kita akan latihan setiap hari untuk memenangkan lomba itu.”
“Tapi..butuh dua ratus lima puluh ribu untuk biaya pendaftarannya. Tak cukup waktu kita mengumpulkan uang sebanyak itu sampai ditutupnya pendaftaran.” Adin membuatku tak percaya lagi. Aku merebut poster itu lagi untuk memastikan, dan sayangnya dia benar.
“Aku sudah tau cara kita dapatkan uang itu.” Cikal tersenyum licik. Aku sudah tahu apa yang ada di pikirannya. “Tidak! Aku tidak mau kalau mencuri. Tidak akan!” aku berdiri lalu berjalan meninggalkan mereka.
“Hei tak ada cara lain lagi kawan. Mencuri atau tidak sama sekali.” Cikal meneriaki aku, tapi tak kupedulikan, aku terus saja berjalan meninggalkan mereka. “Pergilah sana tidur! Mengkhayal sepuasmu! Nikmatilah impianmu hanya di alam mimpi, dasar pemimpi.”
Aku berhenti melangkah, berbalik “Hei..jangan sembarangan bicara. Hidupku berawal dari mimpi.” Kataku geram. “Sampai mati pun kau akan tersiksa dengan impianmu kalau kau hanya berani bermimpi tanpa berani bertindak!” sebuah tamparan keras menghantam pipiku, walaupun tak nyata. Ucapan Cikal menyadarkanku. Itu aku, aku yang selalu tersiksa dengan mimpi – mimpiku yang tak kunjung nyata. Mimpiku tinggi, yang selalu ada di dalam benakku tiap malam. Tapi sekali pun aku belum pernah berusaha mewujudkannya. Mungkin ini jalannya, tapi…aku tidak mau mencuri. Apa yang harus kulakukan?
“Kita meminjam, walaupun kita mencuri tapi kita akan mengembalikan uang itu dua kali lipat, bagaimana?” Adin berdiri dengan senyuman manisnya, sungguh memecahkan masalah.
“Hei Adin, jika kita di dera suatu masalah, kau selalu punya seratus solusi untuknya.” Kata Cikal tersenyum. “Itulah namanya sahabat.” Balas Adin lantang. Aku sungguh beruntung memiliki sahabat seperti mereka.

“Kami akan membayar dua kali lipat bila kami tidak berhasil jadi juara satu.” Cikal mencoba usahanya agar Adin boleh ikut dalam kejuaraan ini. Kami tengah melakukan pendaftaran, Adin seorang wanita, ia tak diperbolehkan ikut lomba oleh panitia gendut ini. “Menarik, tapi tidak. Begini saja…karena gadis itu yang jadi masalahnya, maka pertaruhkan dia. Dia cukup manis untukku, atau…untuk orang lain yang mau membayar padaku.” Si gendut brengsek itu sungguh melecehkan kami. Ingin sekali kuhajar wajahnya, kusundut pipinya dengan bara rokok yang dihisapnya.
“Tidak! Tak akan! Lupakan lomba ini.” Seru Cikal geram. Ia berjalan meninggalkan ruangan dan menyambar tangan Adin mengajaknya pergi. Tak ubahnya Cikal, wajah Adin tak sama geramnya. Tapi aku tak bisa biarkan ini.
“Oke..kau ambil dia jika kami tidak bisa jadi juara pertama.” Cikal dan Adin menghentikan langkahnya, menoleh padaku dengan wajah yang lebih marah dari yang barusan.
“Baiklah kalian boleh ikut. SELANJUTNYA!! Hei cepat keluar.” Si gendut memerintahkan kami keluar. Aku berjalan tanpa menghiraukan Cikal dan Adin, mereka mengejarku. Cikal menarik bahuku hingga membuat tubuhku memutar. “Apa yang kau lakukan Tolol?” Cikal membentakku. “Meraih impian kita.” Jawabku tenang.
“Tapi tidak dengan mengorbankan teman kita.” Ia tambah geram, matanya membelalak. Kulihat Adin, matanya berair penuh kekecewaan. “Kita tidak akan kehilangan Adin kalau kita juara pertama. Lagipula Adin mempercayaiku seratus persen aku akan berhasil meraih mimpi – mimpiku.”
“Tapi apa kita sudah pasti jadi juara pertama? Apa jaminannya? Hah?”
“Hei...kemana semangatmu yang kemarin? Untuk apa kita mencuri? Apa tujuan kita ikut ini? Lebih baik kau ambil kembali uang itu bila hanya ingin jadi yang kedua. Jadi yang pertama, atau mati!”
“Ibum benar. Jadi yang pertama, atau mati. Lebih baik aku melacur daripada hidup dupecundangi mimpi.” Adin menatapku tajam dari bola matanya yang berair. Penuh kepercayaan, semangat, atau bisa juga dibilang penuh dendam. Dendam pada hidup, dendam pada mimpi, dendam pada orang – orang yang melecehkan kami. Cikal meredam amarahnya, menatapku menaruh kepercayaan di bola mataku. “Baiklah. Jadi yang pertama, atau mati.”

“Cikal, berhentilah mencopet. Itu akan menghambat doaku dikabulkan oleh Tuhan.” Kataku terengah – engah. Kami sedang duduk istirahat di trotoar di sela – sela latihan lari kami. “Baiklah, demi kalian dan mimpi kita, aku berjanji tidak akan mencopet lagi.”
“Ya, aku percaya seorang pemula yang memiliki mimpi tinggi seperti kita mampu mematahkan teori – teori masuk akalnya para ahli. Karena para ahli berteori didampingi oleh guru besarnya, sedangkan pemula yang memiliki mimpi tinggi bertindak didampingi oleh Tuhan-nya.” Adin dan Cikal tersenyum mendengar kata – kataku.
Hhhh…sudah cukup istirahatnya. Aku mengambil sebongkah batu, lalu kulempar pada anjing besar yang melintas. PLAAKK..tepat sasaran. “LARII!! Anjing ngamuk!” aku berlari secepat kilat, Adin dan Cikal menoleh ke arah anjing lalu ikut lari bersamaku. Wajah mereka sangat panik, hahaha..aku berhasil. Aku tak mau digigit anjing. Aku benci anjing. Aku lari sekuat tenagaku. Begitu juga Adin dan Cikal. Kami bertiga berteriak katakutan, tapi Adin paling keras. Ia sangat takut dengan anjing. Hahaha..mengerikan tapi menyenangkan.
Entah berapa jauh kami lari, yang pasti kami lolos dari kejaran anjing itu. “TOLOL! Kau hampir membuatku mati. Aku paling takut anjing.” Adin meneriaki aku penuh amarah. “Hahaha..betulkah? Tapi kau lari paling cepat, bahkan lebih cepat dari Cikal.” Tawaku tercampur oleh nafasku yang hampir habis.
“Hei lihatlah, tiga orang gelandangan yang ingin memenangkan kejuaran estafet marathon hanya dengan berbekal mimpi.” Tiba – tiba kami menerima ejekan dari orang yang melecehkan kami saat pendaftaran. Ingin cari masalah rupanya. Aku berdiri menentangnya “Mimpi yang tinggi dan kepercayaan kepada Tuhan dengan sangat, disertai sebuah tindakan nyata. Akan mampu mengalahkan ucapan – ucapan merendahkan dan membungkam mulut besar orang – orang yang meremehkan kami seperti kalian.”
“Hei..sejak kapan gelandangan busuk berubah menjadi pujangga yang berani menentangku, lawan aku.” Ia menarik kerah bajuku. Memancing emosiku untuk menghajarnya. “Aku memang gelandangan, tapi aku bukan seorang yang bersikap sok jagoan yang sebenarnya kampungan. Lawan aku di lintasan!” dengan wajah sangat kesal ia melepaskan tangannya lalu pergi bersama dua temannya dengan rasa kesal. “Hahaha…kata – katamu hebat. Dasar pujangga jalanan.” Cikal tertawa lantang, menepuk bahuku keras dengan rasa puas yang sangat.

Berlari, berlari dan berlari. Hanya itu yang kulakukan selama dua bulan terakhir. Kami tak akan menyerah. Walau harus berpeluhan, walau harus terjatuh, walau harus terluka, kami tidak peduli. Menjadi yang pertama, atau mati. Terlalu banyak hal berharga yang dipertaruhkan pada lomba ini. Termasuk Adin, teman terbaik. Hal yang tak mungkin membuat kami menyerah menjadi yang kedua. Kami terus berlatih dengan dikejar anjing. Pernah Cikal meneriaki aku sebagai copet yang membuatku lari terbirit – birit. Katanya itu bagian dari latihan.
Aku duduk di teras ruko bersama Adin, membicarakan pertandingan esok. Tapi tiba – tiba Cikal mengejutkan kami. Ia jalan terhuyung – huyung tak berdaya. “Maaf aku ketauan mencopet.” Ia jatuhkan tubuhnya di teras ruko. “Maaf sungguh aku menyesal.”
“Apa yang kau lakukan Tolol! Lihat dirimu, bagaimana bisa kau ikut lomba besok dengan luka seperti ini.” Cikal tak menimpali, hanya kata maaf yang keluar dari mulutnya. “Kau menghancurkan mimpi kita! Perbuatanmu membuat Tuhan marah, melunturkan doaku, menghempaskan harapan kita.” Ia berdiri. Aku sungguh kesal padanya.
“HEH! Aku memang keras kepala, aku pencopet, aku tidak berkelakuan baik sepertimu. Tapi bukan kau yang hanya punya Tuhan. Aku menyesal, aku mengaku salah, aku meminta maaf. Tapi kenapa kau tidak memaafkanku. Sedangkan Tuhan saja mau mengampuni dosa hambanya. Apa kau lebih hebat dari Tuhan? Apa kau pikir bisa meraih mimpimu seorang diri?”
“Jangan sembarangan bicara!” aku mendaratkan kepalanku di pipi Cikal yang sudah membiru hingga ia terjatuh. “Cukup!!” kata Adin, tapi kami tak peduli. Ia bangkit, mengambil sebuah papan lalu menghantamkannya ke bahuku. BRAAKK..papan itu terbelah dua, bahuku sakit sekali. Tak tahan, aku tendang perut Cikal hingga ia membentur pintu geser ruko, lalu terjatuh. “SUDAH CUKUUPP!!” teriakan Adin menghentikan perkelahian kami. Kami menegok ke arahnya, air mata membanjiri pipinya. “Untuk apa kalian berkelahi? Apa perkelahian ini bisa membuat kita menang besok?” kami berdua terdiam.
“Kau Ibum!! Kau janji mau membawaku ke Paris. Bisakah dengan mengalahkan Cikal dan kau jadi pemenangnya bisa membawaku ke Paris? Kau pernah bilang akan mengalahkan lawanmu di lintasan, bukan mengalahkan temanmu sendiri dengan sok jagoan yang sebenarnya kampungan.”
“Kau Cikal!! Kau mengingkari janjimu untuk tidak mencopet. Yang akhirnya membuat kau babak belur seperti ini. Masih bisakah kau berlari mengejar mimpi esok hari? Di pertandingan? Hidupku dipertaruhkan disini Cikal, harga diriku! Dengan sikapmu seperti itu sama saja kau menjualku!!” Adin menangis histeris, meraung – raung. Aku dan Cikal hanya bisa diam dalam penyesalan. Lidah ini terasa kelu untuk berkata – kata. Cikal mencoba bangkit dengan susah payah lalu berjalan meninggalkan kami tanpa bicara. “Cikal! Cikal!! Mau kemana kau pengecut? Lari kah jawaban dari semua ini jagoan? Hah? SAMPAH!!” emosi Adin sangat tidak terkontrol, ia sangat kacau, air matanya terus mengalir deras. Aku mencoba mendekatinya, mencoba menghiburnya. “PERGI KAU!! Kau juga Sampah!! Pemimpi!! Makan semua khayalmu!! Kau telah menjualku, tak bertanggung jawab! PERGII!!!”
Aku pun meninggalkan Adin yang sangat kacau, menangis sendirian di ruko kesayangan kami. Aku tak tega melihatnya. Hancur, semua hancur berantakan. Hidupku, persahabatanku, mimpiku. Tak ada yang tersisa. Tak ada gunanya lagi aku hidup, lebih baik aku mati, tak ada lagi yang pertama. Aku pergi ke lapangan favoritku, sendiri. Biasanya disini aku menatap langit bersama Adin, disini juga pertengkaran kecil awal mimpi kami dimulai. Tapi semuanya telah berakhir. Tak ada lagi Adin, tak ada lagi Cikal, tak ada pertandingan, tak ada mimpi, tak ada hidup. Aku membaringkan tubuhku di atas rumput, memejamkan mataku berharap tak bangun lagi.
Aku membuka mata, sial aku masih hidup. Lonceng pagi yang berkokok membangunkanku. Hari ini pertandingan dimulai, tepat jam tujuh. Aku bergegas ke tempat lomba. Entah angin apa yang membawaku kesana. Sampai disana ramai sekali. Semua peserta hadir dengan berpakaian olah raga rapi, tidak pakaian gembel sepertiku. Aku menengok kesana kemari. Berharap melihat teman – temanku. Ah tidak mungkin mereka kesini. “IBUMM” itu suara Adin. Dia datang menghampiriku. Dia berpakaian rapi tak sekacau tadi malam. Lengkap dengan pakaian dan sepatu olah raga. “Pakai ini, cepat tak ada waktu.” Ia menyerahkan pakaian dan sepatu olah raga yang entah ia dapat dari mana. “Adin..kau…datang? dimana Cikal?”
“Tentu saja, tak mungkin aku menghancurkan mimpi, hidup dan persahabatan yang kita rangkai bertahun – tahun hanya dalam semalam. Cepat ganti pakaianmu, Cikal sedang ganti pakaian.” Aku bergegas ganti pakaian di toilet. Setelah selesai aku kembali pada Adin. Sudah ada Cikal dan satu orang wanita dewasa yang tak kukenal, sepertinya ia yang memberikan semua ini. Cikal tersenyum padaku.
“Maafkan aku. Aku salah tentang mimpi hanya untuk pecundang. Tapi menyerah yang hanya untuk pecundang.”
“Aku baru sadar, kawan. Seberapa pun kuat usahaku tak akan mungkin aku menggapai mimpi sendirian. Aku butuh kalian.” Kataku. “Simpan obrolan kalian, bersiaplah di posisimu masing – masing. Jangan lepas tongkat ini, anggap ini persahabatan kita.” Adin memberikan tongkat estafet pada Cikal. Ia pelari pertama, Adin di posisi kedua dan aku akan mengakhirinya sampai garis finis. Aku bersiap pada posisiku, melihat para sainganku, huff orang itu lagi. Kami bertatapan, saling mengalahkan lewat tatapan. Aku akan mengalahkannya. Yaa.. pertandingan sudah dimulai. Aku bisa memantaunya dari layar yang terpampang disini. Bagus Cikal, kau memang seperti Puma. Walaupun terluka ia tetap berlari cepat. Terlihat dibelakang tertinggal jauh musuh – musuhnya. Bagus kawan, lari terus.
Tongkat sudah berpindah tangan pada Adin. Lari Adin, kau orang pertama yang berlari. Larilah seakan anjing mengejar di belakangmu. Larilah secepat kilat. Tapi…musuhnya mulai menyusul. Adin satu – satunya pelari wanita di pertandingan ini. Tidak kemana Adin? Layar itu tak menampilkan gambar Adin. Hanya pelari terdepan yang terlihat. Aku bersiap – siap di lintasan sambil terus menatap layar. Ayo Adin. Pelari pertama memberikan tongkat estafetnya pada orang terakhir. Dua, tiga, empat orang sudah berlari. Ayo Adin. Itu dia…lari Adin, terus. Dan akhirnya ia memberikan tongkat itu padaku. “Maaf” katanya. “Simpan untuk pidato kemenangan!” aku berlari secepat kilat. Aku tertinggal empat orang di depanku. Aku harus menyusulnya. Baiklah Ibum, berlarilah, larii. Pikirkan Adin, ia akan kau jual jika tidak jadi yang pertama. Apa kau setega itu dengan sahabatmu? Lariii..
Yaa..aku berhasil melewati orang ke-empat dan ke-tiga sekaligus. Tinggal dua lagi, lari Ibum. Ingat kejadian tadi malam. Perkelahian itu, pertengkaran itu, kau berhasil melewati malam terburukmu. Masa tidak bisa melewati dua orang lagi. Larii…dan yak..berhasil. tinggal satu lagi Ibum. Ya, hampir sampai, hampir menyamai. Lihat musuhmu, ahh tidak orang itu lagi. Baguslah akan kubuktikan ucapanku. Lari Ibum, lari. Untuk sahabat dan mimpimu. Kau yang menentukan disini. Dan ya,,aku sejajar, tinggal melewatinya. Garis finis sudah di depan mata, lewati dia. Lari Ibum, larii…AHH…tidak…GUBRAAKK…apa ini? Aku terjatuh? Tak mungkin!! Aku tak terima ini. Bangun Ibum, bangun! Terus bangkit walau nanti akan terjatuh lagi. Aku berlari lagi. Orang ketiga hampir menyusulku. Tapi..aku yang kedua..yang pertama? Di depan? Tidak mungkin lari Ibum lariiii. Tak mungkin jadi yang kedua, pertama atau mati. Orang itu tiga meter dariku. Tapi hampir finis…lari Ibum..pertama atau mati….dua meter….lariii…Adin di pertaruhkan di pertandingan ini….satu meter….mimpi…mimpi…pertama atau mati………..
“Yaa,,juara pertama adalah nomor 99, kedua 111, ketiga 14, keempat 200, kelima 72…” suara dari pengeras itu…pertama adalah 99…berapa nomorku? Di dada..di dada..nomornya di dada…99…Tidak…ini 111…aku kedua?? Tidak…tidak mungkin...aku berlutut tak percaya..tidakkk…aku berlutut menundukan kepalaku. Air mata menetes di pipiku. Adin…Adin…tak mungkin aku menjualnya..dia sahabatku. Seharusnya tak kupertaruhkan dia, dia sahabatku. Air mata terus mengalir. Tiba – tiba ada yang menepuk bahuku, aku menatapnya. Cikal….dengan wajah penuh kekecewaan. Dan Adin…ia tersenyum tapi air mata mengalir di pipinya. Senyum penuh kekecewaan. “Aku rela..aku ikhlas..” kata Adin sambil menahan tangis. Mimpi…ini mimpi…aku tak tahan melihat akhir drama seperti ini. Ini mimpi…bangunkan aku…
“Maaf, ada kekeliruan. Salah satu juri kami melihat kecurangan. Nmor 99 di diskualifikasi. Ia melakukan kecurangan dengan menjegal kaki nomor 111 hingga terjatuh. Maka, nomor 111 menjadi juara pertrama, diikuti yang lain naik satu peringkat.”
“Itu?” wajah Adin berubah senang, begitu juga Cikal. “Benarkah?” kataku. “Ya, kita pertama.” Kata Adin bersorak. Aku Adin dan Cikal merayakan kemenangan. Tak terasa air mata kami menetes di pelukan.

“Menara yang menjulang itu…bukan Monas kan?” tanyaku pada Adin yang duduk melipat kaki di sampingku. “Hahaha..memangnya di Jakarta. Itu Eiffel.” Kata Adin tanpa melepas pandangan dari Eiffel.
“Hei pemimpi!” Cikal berteriak. “Maksudku, Sang Penakluk Mimpi. Apa hanya dengan memandangi Eiffel bisa membuat kita memenangi kejuaraan ini, atas nama Indonesia?”
“Tentu saja tidak. Ayo kita latihan, bekerja keras untuk meraih mimpi yang belum kita taklukan.”

Akankah aku bisa jadi pemenang seperti ini seandainya sahabatku bukanlah kamu? Mungkin tidak, karena kau adalah sahabat terbaik yang diciptakan Tuhan untukku.

Labels:

permalink | 0 comments (+)

« BACK FORWARD »